Amal Baik Tidak Menggugurkan Kewajiban Shalat

KhazanahHikmahAmal Baik Tidak Menggugurkan Kewajiban Shalat

Shalat lima waktu adalah ibadah wajib bagi setiap Muslim. Printah ini mutlak sebagai bukti pengabdian hamba kepada Tuhannya, tak bisa digugurkan dengan besar kecilnya amal baik apapun, kecuali ada ketentuan rukhsah (keringanan) syariat yang membolehkan. Sayangnya, tak sedikit orang-orang yang menilai asalkan banyak berbuat baik pada orang lain menurut kadarnya, shalat bisa dinanti-nanti. Ini krisis keimanan seorang Muslim yang tengah mengalami keruntuhan moral dan mulai lupa diri terhadap Tuhannya.

Allah SWT berfirman dalam kalam sucinya, aqimishalah (tegakkanlah shalat). Ayat tersebut tidak sulit dijumpai dalam setiap surat al-Quran dan disebutkan berulang-ulang. Memerintahkan hambanya beribadah agar mengingat Tuhan. Meski di lain sisi, ada segudang manfaat di balik kewajiban shalat, baik manfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani. Tak ada alasan yang lebih tepat dari alasan kewajiban shalat, selain rasa syukur dan tanggung jawab seorang hamba kepada Tuhan, menyembah dengan cara yang telah ditentukannya. Shalat juga yang menjadi identitas pembeda seorang Muslim dengan umat lainnya.

Dalam sabdanya, Rasulullah mengumpamakan, shalat itu tiang agama. Apabila seseorang mengerjakan shalat berarti ia menegakkan agamanya dan yang meninggalkan shalat telah meruntuhkan agamanya. Demikian kewajiban shalat mestinya dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut: 45). Oleh karena itu, amal baik sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam jiwanya. Senang membantu orang lain, rendah hati, bersabar, memiliki empati yang tinggi dalam memanusiakan manusia.

Shalat tanpa amal baik tiada artinya, begitu sebaliknya. Jika shalat adalah tanggung jawab individual terhadap sang Khalik, maka amal baik bagian dari tanggung jawab fitrahnya sebagai makhluk sosial. Kendati shalat itu ibadah privat, tetapi semakin banyak orang yang melalaikannya, ini bagian dari keruntuhan agama. Sedikit demi sedikit, agama menjadi terkikis. Tak heran bila kaum atheis yang sempat mencaci agama sebagai identik campuran, yang hanya buatan manusia belaka. Sebab tak murni lagi, agama kehilangan nilai-nilai religiusnya.

Jika ada yang bertanya mana yang lebih penting giat shalat, tetapi apatis terhadap orang lain atau berbuat baik meski tidak shalat? Pertanyaan seperti ini memiliki konsep yang jelas salah, seakan-akan salah satunya dapat digugurkan. Padahal, keduanya sama penting dan tidak bisa ditinggalkan atau terpisahkan.

Analoginya, amal baik itu ibarat jasad, sedangkan shalat ibarat ruhnya. Tanpa unsur keduanya, ibadah tanpa ada niatan amal baik hanya akan menjadi bumerang karena membuatnya pasif lingkungan sosial dan amal baik yang mengabaikan kewajiban shalat adalah melepas tanggung jawabnya sebagai makhluk yang memutus pengharapan pada Tuhannya, bahwa ia hidup atas dirinya sendiri, tidak ada andil rahmat Tuhan. Penyakit kedurhakaan masa klasik yang masih menjangkit hingga kini.

Baca Juga  Bulan Ramadhan Mempererat Tali Persaudaraan

Adapun kesadaran kewajiban shalat mendorong moralitas, mungkinkah? Tentu bisa. Alangkah naifnya, seorang yang shalat, tetapi lidahnya penuh kebohongan. Alangkah tak berharganya makna dalam shalat, bila tiada kesadaran menyantuni yang papa. Asal diperhatikan, bahwa terangkum dalam gerakan shalat yang dimulai dengan takbir untuk mengagungkan Allah SWT dan diakhiri dengan salam untuk menebar damai kepada manusia. Sejatinya sudah cukup memberi penegasan untuk apa manusia diperintahkan shalat selama hidupnya.

Mungkin karena terdapat hadis yang mengisahkan perempuan pelacur yang memberi minum pada anjing yang kehausan atas kebaikannya kemudian dimasukannya ia ke surga (HR. Abu Hurairah) sehingga hadis itu bisa menjadi alibinya. Padahal hadis tersebut bukan simbol amal baik yang dapat menggugurkan kewajiban shalat, melainkan dalam hal ini Islam sebagai agama yang pemurah tengah menekankan agar manusia tidak meninggalkan amal baik sekecil apapun, termasuk pada hewan anjing yang kerap dinilai rendah oleh sebagian orang.

Sementara untuk kewajiban shalat tidak ada tawar menawar di dalamnya. Kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu bertingkat-tingkat. Hendaknya kita tetap memprioritaskan pada kesalehan yang primer, misal shalat atau rukun Islam yang telah kita yakini. Terlepas bagaimana konsep waktu dan pelaksanaan shalat yang berbeda itu hak kepercayaan aliran yang diyakininya.

Dalam buku Belajar Jurnalistik Dari Harian Kompas (2019), pengalaman religius juga bisa bercampur dengan yang setani. Perasaan dilema seakan membangkitkan kesadaran bahwa tiba-tiba agama bisa menjadi amat palsu, karena semata-mata hanya berkaitan dengan kepentingan atau keresahan manusia. Sentimen terhadap manusia yang berjubah agama, tetapi mengimpresikan sosok yang keras lagi anarkis menjadi bualan sebagian kelompok yang mengantarkan pada keengganannya melakukan hal-hal ritual agama, tak terkecuali shalat yang wajib.

Maka dari itu, hendaknya kita melihat pandangan agama secara utuh, yakni dengan mencerminkan Rasulullah SAW sebagai teladan yang baik. Beliau sebagai model konkrit yang mampu melaksanakan kewajiban yang ada dalam agamanya tanpa meninggalkan amal baik, tidak memandang apa agama dan asalnya. Pada akhirnya, semoga kita senantiasa terjaga menjadi manusia yang taat pada perintah Allah SWT dan Rasulnya dengan tidak meninggalkan apa yang diwajibkan sekalian dapat memahami pentingnya beramal baik terhadap apa yang ada di alam semesta.

Artikel Populer
Artikel Terkait