Kafir adalah Kuasa Kepentingan, Keangkuhan, dan Kepongahan

KolomKafir adalah Kuasa Kepentingan, Keangkuhan, dan Kepongahan

Tuhan telah memberikan segala kebaikan kepada semua manusia. Baik yang bersifat material maupun immaterial. Wajar dan memang sudah seharusnya kita sebagai manusia diwajibkan untuk terus meningkatkan spiritualitas dengan memperbanyak rasa syukur dan ikhlas melakukan ritual ibadah kepada-Nya. Rasa syukur immaterial yang dimaksud merupakan elan vital atas pengakuan diri dengan penuh kesadaran batiniah bahwa keberlangsungan hidup manusia yang diciptakan oleh-Nya dalam bentuk kepasrahan. Dengan kata lain, rasa syukur manusia yang diimplementasikan melalui ekspresi formal peribadatan, bukanlah kekufuran—ingkar dan tidak bersyukur atas eksistensi Tuhan—karena memiliki pikiran dan perasaan untuk tumbuhnya keimanan. Keimanan seseorang akan terpancar sikap zuhud; tidak tinggi hati, tidak angkuh, dan tidak sombong.

Umat Islam menganggap orang yang tak beriman berarti kafir. Orang Indonesia—semestinya—orang-orang yang beriman, sebab negara mewajibkan rakyatnya berketuhanan. Apapun agama yang dianutnya. Karena itu, perumus Bahtsul Masail pada Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama pada Tahun 2019 di Kota Banjar, Jawa Barat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka—yang non-Muslim—tidak disebut kafir, melainkan sebut saja non-Muslim.

Non-Muslim Indonesia juga bukan termasuk di dalam kategori kafir dalam pengertian Islam, seperti dzimmi, harbi, mu’ahad, dan bukan pula musta’man. Di mata hukum negara, kita semua setara; tidak ada satu golongan pun yang lebih diunggulkan. Dengan demikian, penyebutan kafir kepada orang yang sebangsa dan se-Tanah Air dalam pengertian Islam Indonesia menjadi gugur. Pengafiran yang disuarakan oleh segelintir umat Islam yang pongah, sedang dalam upaya menciptakan kegaduhan dan pemecah-belahan masyarakat plural dan majemuk ini.

Dalam sejarah Islam, istilah teknis “kafir” itu berarti tidak bersyukur sebagaimana telah dijelaskan di atas. Artinya kaum Muslim masa itu merasa bahwa mereka yang tidak bersyukur kepada Tuhan adalah yang menolak Utusan-Nya—Nabi Muhammad SAW. Dalam al-Quran, kafir itu juga yang menonjolkan sikap tidak hirau terhadap rintangan, tidak peduli terhadap pertimbangan moral dan agama, dan sepenuhnya bersandar pada kemampuannya sendiri. Kata lainnya yang dipakai al-Quran untuk mengungkapkan pura-pura bersyukur kepada Tuhan secara kasar berarti berbangga diri dengan harta kekayaan, dan bebas dari keinginan (W. Montgomery Watt, dalam bukunya Muhammad: Melihat Sang Nabi Sebagai Negarawan, 2020: 55-56).

Pada masa pra-Islam, kultur sosial di gurun pasir Arabia membuat kaum badui nomad begitu keras sehingga kekayaan domba dan unta diperebutkan. Kadang-kadang suatu bani atau kabilah meminta bantuan dan bersandar dari suku lain untuk melindungi hartanya. Di Makkah, para konglomerat borjuis menganggap bahwa kekayaan dan harta yang dimiliki, mengokohkan kedudukan dan kekuasaan dengan sikap religiusitas peribadatan Ka’bah sekaligus. Bagi para saudagar Makkah, ritual ibadah bukan hanya bersifat batiniah. Spiritualitas juga mengandung unsur materil yang mengafirmasi publik perihal kuasa dan kedudukan.

Dengan kekuatan finansial kapital, mereka merasa dapat memengaruhi dan melakukan apa saja, menundukkan dan menaklukkan segala persoalan, dan membebaskan diri dari segala keperkasaan yang maha tinggi apa saja dan mana saja. Pengagungan manusia semacam itu mengakibatkan sikap angkuh, jemawa, congkak, takabur, sombong, dan seterusnya. Sikap demikian menunjukkan bukti bahwa sesungguhnya mereka tidak peduli sama sekali terhadap Sang Pencipta yang bertingkah pongah melebihi Tuhan itu sendiri.

Orang-orang tajir-melintir saudagar Makkah pada masa itu, tidak lagi menghargai sebuah kehormatan. Kehormatan, hanya bagi mereka yang memiliki kedudukan penting kesukuan kultur tradisional masyarakat gurun pasir. Bagi para juragan Makkah, menumpuk kekayaan itu berarti sebuah kekuasaan dan pengaruh. Harta dan tahta merupakan tujuan hidup yang saya kira bukan hanya mereka, melainkan siapapun yang dalam pandangan dan sikap hidup pada gemerlapnya dunia ini. Dan siapapun yang telah mencapai tujuan kemewahan hidup ini, bakal menjumpai perasaan bangga terhadap diri sendiri dengan kekuasaan materi yang dimiliki. Pada akhirnya, mereka akan merasakan sikap angkuh, jemawa, pongah, congkak, dan takabur yang melampaui batas.

Hal demikian inilah yang dimaksud kafir dalam al-Quran. Karena itu, al-Quran mengimbau dan menekankan manusia sebagai seorang hamba, untuk tunduk dan menggantungkan diri hanya kepada Tuhan. Sebab dari Tuhan mereka bisa memperoleh kekayaan, kemakmuran, dan kejayaan. Dan memang sudah sepantasnya upaya profetik Nabi Muhammad SAW. hadir di tengah-tengah manusia yang kehidupan kesehariannya sudah tidak relevan, dan bahkan berselimut keangkuhan dalam kapasitasnya sebagai manusia yang sudah berlebihan itu.

Baca Juga  Mengenal "Qasidah Muktamar" Kiai Afifuddin Muhajir

Tujuan utama manusia menjalani kehidupan ini bukan untuk mengejar kehormatan, menumpuk harta kekayaan, dan meraih kekuasaan. Hal ini yang semakin menjauhkan manusia pada ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Ketaatan dan ketakwaan pada Tuhan, akan menghasilkan sifat berkeadilan dengan menderma harta mereka, terutama bagi anak yatim, janda, fakir dan miskin, dan kaum tertindas. Maka, dakwah Nabi Muhammad SAW. mendapat perlawanan dan penolakan para pembesar bani-bani Makkah. Eksistensi sebagai penguasa ekonomi dunia akan ruang dewa-dewi di Ka’bah yang sesungguhnya bersifat profan itu, merasa dibahayakan oleh agama baru yang muncul dari keturunan Bani Hasyim. Kesucian berhala, akan dinodai oleh agama baru yang bisa mengakibatkan runtuhnya bisnis perdagangan mereka.

Dakwah masa awal Nabi Muhammad SAW. memang tidak begitu mendapatkan perlawanan sengit. Hanya sekadar serangan-serangan secara verbal berupa makian, cercaan, dan hinaan. Mengingat, sebuah aturan pada masa itu—hukum tidak tetap dan tidak tertulis—di antara suku apabila melukai seseorang dari bani yang lain secara fisik, akan mendapatkan balasan serupa. Begitu juga jika seseorang anggota dari suku tertentu membunuh, maka sebagai hukuman anggota yang membunuh itu harus dibunuh. Apalagi para pedagang kaya itu merasa diserang oleh ayat-ayat al-Quran perihal kafir yang berarti keangkuhan dan kepongahan akan kekuasaan.

Akhirnya para saudagar Makkah itu mencoba bernegosiasi. Mereka yang berpandangan serba materialistis menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW. bukanlah seorang yang diutus oleh Tuhan, karena tidak mampu menghadirkan mukjizat (keajaiban dengan mengirim malaikat turun ke bumi dan menampakkan diri) sebagai pembuktian itu. Para penentang Nabi beranggapan seperti halnya mereka, dakwahnya didasari kepentingan pribadi untuk berkuasa. Tuduhan itu tentu tidak benar.

Nabi Muhammad SAW. bukanlah manusia yang haus kekuasaan. Beliau sekadar memperingatkan bangsanya, akan sebuah hukum Tuhan yang abadi dan pahala karena amal kebaikan. Beliau tidak sama sekali mengharap ganjaran dari manusia, akan tetapi karena Tuhan semata, sebagaimana Para Nabi sebelumnya. Hasrat berkuasa dan ambisi politik bukan tujuan pergerakan dakwahnya. Meskipun kekuasaan itu datang kepadanya ketika di Madinah. Nabi Muhammad SAW. dalam kepemimpinan politik di Madinah menganggapnya sebagai sebuah amanat dari Tuhan yang harus beliau pikul.

Agak elusif kiranya jika dikatakan bahwa Islam sebagai agama yang hadir pada saat itu dilatarbelakangi politik, dan bukan sebagai teologi. Kemuliaan dalam Islam bukan terletak pada kehormatan suku berdasarkan keturunan, ataupun kekuasaan politik, melainkan kedekatan dan ketakwaan kepada-Nya. Islam justru hadir untuk mendekonstruksi secara total identitas lokal. Karena manusia diciptakan oleh Tuhan untuk memimpin dirinya sendiri (khalifah) di bumi, hanya bertujuan untuk mengelola alam ini sebaik-baiknya, dan bukan untuk merusaknya dengan mengeksploitasi. Menjaga Indonesia dari intoleransi dan radikalisme yang merusak eksistensi negara, juga berarti menjalankan misi khalifah sebagaimana yang telah digariskan Islam.

Kepentingan berkuasa yang berlebihan dalam pergulatan politik, akan semakin membuat seseorang kian bersikap angkuh, jemawa dan sombong yang dekat dengan kekafiran. Apalagi kita saat ini sedang berada pada masa sebagian umat yang gemar mengafirkan. Bukannya mengafirkan orang lain adalah bentuk kepongahan dirinya sendiri, bahwa dirinya bebas mencemooh orang lain lantaran dirinya sendiri adalah seorang Muslim? Dia bisa melihat kekafiran orang lain, sementara kafirnya sendiri—angkuh, jemawa, congkak, dan pongah karena merasa paling Islam—tak diperhatikan.

Sebagian pihak yang terbawa arus yang kian bersemangat membela Islam (biasanya karena faktor politik kekuasaan) tanpa perbekalan pengetahuan Islam yang cukup, akan menjerumuskannya pada sikap keangkuhan dan kepongahan yang juga berarti kafir. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.