Membalas Kejahatan Dengan Keadilan

KolomMembalas Kejahatan Dengan Keadilan

Memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain sangat dianjurkan dalam Islam. Tetapi, pembalasan atas kejahatan dan pelanggaran juga diperbolehkan. Sayangnya, kerap terjadi pembalasan kejahatan yang jatuh lebih buruk dari kejahatan awalnya. Tidak dipungkiri, sebagian kalangan Muslim masih beranggapan, kesalahan atau kejahatan harus dibalas dengan kejahatan yang setimpal, bahkan layak untuk dibalas lebih. Tidak heran, tindakan main hakim sendiri yang berujung petaka masih sering terjadi. Hal demikian merupakan kebodohan yang menjadi polusi bagi nilai-nilai keadilan yang sedang kita perjuangkan.

Padahal dalam Islam, bolehnya membalas kejahatan berhubungan erat dengan keadilan yang tinggi. Hal itu sama sekali tidak sama sama dengan membalas kejahatan dengan kejahatan. Pada dasarnya, Allah mengizinkan hukum pembalasan. Tetapi Allah SWT senantiasa memperingatkan kita untuk berhati-hati, karena manusia memiliki kecenderungan untuk membalas dendam sampai melampaui batas. Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu (QS. Al-Baqarah: 194). Terang sekali bahwa, kejahatan harus dibalas dengan adil, sah, proporsional, dan tidak merembet kemana-mana melebihi porsi kesalahannya.

Selain itu, pembalasan kejahatan dilakukan semata-mata dalam rangka menegakkan keadilan, yaitu mengembalikan hak yang sesuai dengan kezaliman, mengembalikan harta yang hilang, memulihkan kehormatan yang telah dirampasnya, tidak boleh lebih sedikitpun. Dalam Al-Maidah ayat 45 dikatakan, …bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka pun ada qishashnya. Ungkapan ini walaupun berkenaan dengan hukum qishash, namun dapat ditangkap spirit keadilannya ke dalam konteks yang lebih luas. 

Ayat al-Maidah ayat 45 itu tidak harus dipahami secara literal, membalas perbuatan salah dengan perbuatan serupa. Ungkapan “mata dibalas mata” dan lain sebagainya itu, merupakan metafora yang bermakna bahwa pembalasan itu tidak boleh lebih dari kejahatannya. Pembalasan yang lebih, misalnya satu mata dibalas dua mata, termasuk melampaui batas keadilan dan menjadi tindakan penindasan yang lebih besar daripada kejahatan aslinya. 

Baca Juga  Adzan Hayya ‘ala al-Jihad Bukan Ajaran Islam

Pada prinsipnya, membalas kejahatan bukan untuk memberikan kejahatan setimpal, tetapi yang lebih penting ialah menciptakan keadilan. Kejahatan, dalam perinsip kita, harus dibalas dengan menegakkan keadilan, bukan memuaskan hasrat balas dendam dan melanggengkan kejahatan lanjutan seperti hukum. Oleh sebab itu, sah-sah saja, apabila di dunia modern saat ini berlaku hukuman penjara, bukan qishas. Keadilan merupakan esensi yang dapat melebur ke berbagai konteks, sedangkan qishash hanya salah satu metode untuk menuju keadilan itu. Yang penting untuk diperhatikan ialah keadilan dalam membalas kejahatan, pembalasan harus secara inheren halal menurut Islam, terbukti dapat mengembalikan hak-hak yang hilang, sah, dan legal sesuai hukum yang berlaku di  masyarakat, dalam konteks kita adalah Peraturan Perundang-undangan. 

Jadi, tindakan main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, sebab bisa berujung pada ketidakadilan dan kejahatan berkelanjutan yang lebih parah. Segala aspirasi, gugatan, maupun tuntutan keadilan harus dilakukan melalui jalur yang legal, sah, serta menghormati segala peraturan dan hukum yang perlaku. Islam tidak pernah menghalakan tindakan anarkis dan semena-mena.

Bagaimanapun, kita selalu diajarkan untuk lebih aware dengan dosa kita sendiri. Sekecil apa pun, dosa yang kita timbulkan akan lebih berbahaya bagi kita akhirat kita daripada kesalahahan atau dosa orang lain terhadap kita. Kejahatan dan bagaimana kita membalasnya, akan ditimbang pada hari kiamat. Tidak menutup kemungkinan, hanya karena memberikan pembalasan yang berlebihan dan tidak adil, pihak yang awalnya korban, bisa jatuh lebih jahat dari pelaku awal.

Singkatnya, pembalasan hukum memang diperbolehkan dalam Islam dengan syarat adil, sah, bukan kejahatan lanjutan, dan sebanding. Melanggar batas-batas keadilan dapat berpotensi menjadi bumerang bagi pihak korbannya. Meskipun demikian, sangat disarankan untuk memaafkan sebuah kesalahan, jika hal itu tidak membahayakan publik lebih lanjut. Mari, tinggalkan budaya main hakim sendiri. 

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.