Convivencia, Teladan Pluralisme Islam

KolomConvivencia, Teladan Pluralisme Islam

Anatomi sejarah Islam sangatlah kaya. Dalam dunia berliput obsesi tak sehat untuk saling mengalahkan bahkan menindas yang liyan, kita butuh pengalaman manis pendahulu yang bisa dimanfaatkan sebagai inspirasi kehidupan kini. Riwayat Islam Andalusia pada abad pertengahan merupakan ornamen dunia yang patut dibanggakan. Era tersebut adalah koordinat kiblat keharmonisan umat manusia dengan identifikasi keragaman mereka, yang kemudian menciptakan teladan pluralisme Islam.

Saya berharap kita tidak curiga di awal saat mendengar istilah pluralisme karena khawatir akan menyoal perdebatan teologis. Yang karenanya, kita bisa melewatkan sejarah koeksistensi luar biasa umat manusia. Convivencia, secara sederhana adalah semangat untuk hidup bersama. Suatu konsep yang terbangun oleh keping-keping pengalaman manusia yang secara kolektif sadar untuk melampaui ego mereka. Demi meraih hidup yang damai secara berdampingan di tengah tantangan perbedaan.

Terma convivencia menggambarkan keadaan di Spanyol (Andalusia) selama kurang lebih tujuh abad, dalam rentang 711-1400 M. Periode ini secara umum menampilkan masyarakat Islam, Yahudi, dan Kristen yang hidup secara damai, aman, dan harmonis. Tentu dengan segala dinamika ketegangan yang tak bisa kita nafikan. Terkait koeksistensi di Andalusia ini, Karen Amstrong pun memberikan kesan manisnya, bahwa di bawah kekuasaan Islam, Yahudi menikmati masa keemasannya di Andalusia.

Yang diupayakan secara kolektif dalam pluralisme di sini adalah memahami dan memaklumi perbedaan, bukan menyeragamkan kemajemukan. Di bawah pemerintahan Islam Spanyol, masyarakat non-Muslim ikut terlibat aktif dalam membangun peradaban. Tidak menjadi warga kelas dua yang terpinggirkan. Terbangun koeksistensi di antara tiga agama samawi tersebut.

Pada pertengahan abad ke-8, Abdurrahman al-Dakhil (755-788) (seorang putra keturunan Dinasti Umayyah I yang lolos dari operasi pembunuhan Bani Abbas) berhasil memimpin wilayah semenanjung Iberia (Andalusia). Ini adalah periode kedua. Sebelumnya Spanyol Islam dikendalikan oleh para wali utusan Bani Umayyah dari Damaskus. Abdurrahman I (al-Dakhil) menjadi titik tolak berkembangnya Bani Umayyah II. Ia adalah sang pendobrak yang cerdas, kuat, dan pemberani, terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Di awal kekuasaannya, al-Dakhil berhasil meredam kerusuhan sosial politik yang ada di Andalusia.

Peningkatan pesat terjadi pada era Abdurrahman III yang berjuluk al-Nashir. Ia menata pemerintahan dengan semangat keterbukaan terhadap etnis dan agama guna meredam gejolak di masyarakat dan memersatukan wilayah. Tradisi seni dan intelektual juga didukung penuh. Dorongan untuk menggali potensi keilmuan dan budaya juga dialamatkan kepada minoritas. Periode al-Nashir bahkan disebut menyaingi kejayaan Daulah Abbasiyah di Baghdad.

Proyek-proyek penerjemahan karya Yunani ke dalam bahasa Arab banyak digalakkan. Sains, filsafat, studi sastra, dan cabang-cabang keilmuan lain amat berkembang. Geliat intelektualitas semacam ini kemudian melahirkan ilmuan, filsuf yang namanya bertahan hingga kini, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Masarrah, Ibnu Hazm, Ibnu ‘Arabi, dan sebagainya.

Semua itu tak lepas dari corak pemerintahan yang inklusif dan terbuka pada wawasan dunia luar. Ada keinginan yang logis dan wajar untuk menopang kepentingan secara kolektif. Sikap umat Muslim yang toleran, tidak rasialis, dan terbuka merupakan suatu capaian tertinggi convivencia. Pemerintahan Islam kala itu tak segan mengangkat pejabat dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Pemilihan pejabat didasarkan pada kapasitas dan kemampuan, bukan karena kedekatan afiliasi atau status terhormat. Suatu cermin pemerintahan yang meritokratis dan adil.

Baca Juga  Fakhruddin Faiz: Membangun Kesadaran Diri Menuju Puasa

Pada praktiknya, kelompok etnis dan agama diseleksi untuk menempati jabatan tinggi di pemerintahan. Sebuah strategi efektif, di mana orang-orang yang terpilih sekaligus menjadi perwakilan dari masing-masing kelompok untuk menyalurkan aspirasi dan keluhan mereka. Seorang Yahudi bernama Hasdai ibn Shaprut merupakan contoh minoritas yang dipercayai menjadi pengumpul pajak. Ia adalah seorang aristokrat Yahudi yang pandai dan dipercaya oleh komunitasnya.

Capaian perdamaian tersebut tentu tidak lepas dari ketegangan dan konflik. Itu wajar dan harus diakui. Justru di sinilah mutiara pelajaran tertinggi yang harus diambil. Yakni bagaimana teknik menaklukkan perbedaan agar keragaman itu tidak menjadi beban yang disesali, tapi kekayaan yang dirayakan dengan gembira dan lapang hati.

Pengalaman convivencia setidaknya memerlihatkan dua aspek yang memandu tercapainya kehidupan damai di tengah arus perbedaan. Pertama, pemimpin (pemerintahan) yang berwawasan luas, inklusif, dan menggandeng semua pihak, menjadi pondasi pembentuk kesepahaman masyarakatnya  yang plural. Ketika masing-masing dihargai dan diberi ruang, kerja sama dan stabilitas politik-sosial-ekonomi relatif lebih mudah terwujud.

Kedua, eksistensi kalangan di luar Islam tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sumber daya yang diajak bermitra. Suatu langkah cerdik yang saling menguntungkan. Keamanan dan pemberdayaan didapat minoritas, sedangkan pemerintah memiliki kekuatan tambahan untuk bersaing dengan dunia luar.

Menurut Anwar Ibrahim, convivencia telah menggambarkan bagaimana Islam diterjemahkan secara baik untuk konsumsi umat manusia. Suatu bentuk pluralisme Islam. Konsep tersebut menegaskan penghormatan pada apapun yang menjadi keyakinan manusia. Toleransi sangat dijunjung tinggi. Pluralisme ini tidak menjadikan perbedaan sebagai batu sandungan, melainkan dimanfaatkan untuk memperkaya peradaban dalam spirit kerja sama dan harmoni.

Sejarah unggul ini tidak untuk diromantisasi secara pasif, hingga terbuai dengan kenangan silam. Artinya, jangan sampai kita terjebak overproud. Yakni sekadar membanggakan pengalaman leluhur masa lalu tanpa upaya kritis dan aktif untuk mencari mutiara hitam yang menjadi kunci mereka berjaya. Karena tanpa upaya kritis, kita tak bisa membawa buah tangan masa lalu untuk disajikan di meja kehidupan saat ini.

Convivencia adalah prasasti sejarah yang layak menjadi rujukan untuk membangun kehidupan bersama yang damai di masa kini. Pengalaman koeksistensi tiga agama samawi di Andalusia mengajarkan spirit toleransi, keterbukaan, kesediaan dialog, dan pantang mendiskriminasi yang dianggap lain. Para pemangku keragaman di Andalusia tersebut, pada dasarnya saling memengaruhi dan saling pinjam secara kreatif. Itulah prototipe pluralisme Islam yang dicatat sejarah leluhur kita. Sebuah semangat hidup bersama yang khas dan padat keteladanan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.