Politik Islam dan Islamisme Politik

KolomPolitik Islam dan Islamisme Politik

Berbicara politik Islam, berarti kita juga sedang membicarakan proses islamisasi politik. Sejarah masa awal Islam, proses islamisasi politik bertujuan untuk membentuk sebuah kerajaan teokrasi sebagai basis penerapan ajaran-ajaran Islam dalam sistem sosial. Tampilnya kerajaan-kerajaan Islam dalam peradaban itu berarti tampilnya Islam sebagai kekuatan politik sekaligus budaya secara langsung. Islam mendorong konversi keagamaan yang berkaitan dengan sistem ekonomi maupun hukum positif berdasarkan nilai-nilai Islam. Namun, bagaimana dengan Islamisme Politik (pandangan politik serba Islami secara formal) dan politik Islam di zaman globalisasi seperti sekarang ini?

Untuk menjawab persoalan itu tentu diperlukan pengetahuan terkait kesejarahan secara mendalam. Karena banyak dari kaum Muslim sendiri belum memiliki pengetahuan sepenuhnya tentang sejarah pergolakan politik Islam. Sejarah politik Islam tidak melulu sempurna. Karena itu, Muslim perlu bersikap terbuka dan bersedia menaruh perhatian khusus kepada beberapa bagian “kabut hitam” dari sejarah politik Islam itu sendiri. Dengan begitu, kita tidak selalu kagum dan bereuforia tentang kejayaan Islam masa lalu. Tapi juga membaca masa kini untuk membangun Islam di masa depan.

Setidaknya ada tiga arus utama menurut Zuhairi Misrawi (Gus Mis) dalam Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alamin (2017), berkaitan perihal sejarah pembaharuan pemikiran maupun politik Islam yang muncul dengan dipenuhi polemik yang alot. Pertama, mengikuti masa lalu (al-ittiba bil madhi). Arus ini mengandaikan bahwa masa lalu merupakan solusi atas masa kini. Seluruh yang datang dari masa lalu dianggap sebuah kebenaran mutlak. Sebaliknya, hal-hal masa kini dianggap sebagai kesalahan dan penyimpangan.

Kedua, mengikuti masa kini (al-ittiba bil hadhir). Arus ini mengandaikan masa kini sebagai alternatif. Masa lalu dianggap sebagai aib dan kesalahan yang harus ditutup. Ketiga, menyambungkan antara masa lalu dan masa kini (al-tawashul bayn al-madhi wa al-hadhir). Pilihan pertama mengakibatkan sikap ekstrem terhadap masa lalu, sementara pilihan kedua menyebabkan sikap ekstrem terhadap masa kini. Karena itu, pilihan ketiga ini yang paling memungkinkan untuk mengakomodasi historiografi klasik sekaligus menyesuaikan zaman modern yang memiliki orientasi masa depan. Arus ini yang dinamakan moderat.

Sepanjang sejarah politik Islam, para ulama telah meletakkan fondasi dalam proses islamisasi masyarakat di wilayah hingga menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa kerajaan Islam yang cukup berpengaruh dalam pergolakan politik masa lalu. Hikayat Raja-raja Pasai, misalnya, banyak menceritakan proses islamisasi di kerajaan Islam paling tua di Nusantara, Kerajaan Samudera Pasai sejak abad ke-13 (lebih tepatnya berdiri pada Tahun 1267 M). Dalam teks tersebut, diceritakan bagaimana penguasa Samudera Pasai Bernama Meurah Silu sebelum ia memeluk Islam. Kemudian ia mengganti namanya menjadi Malik al-Shaleh setelah menjadi seorang Muslim. Sejak saat itulah, Samudera Pasai mulai berkembang dalam proses islamisasi sekaligus pusat politik Islam (Jajat Burhanudin, dalam buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017).

Di wilayah yang sama, perkembangan selanjutnya setelah Samudera Pasai adalah Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, sepeninggal Sultan Iskandar Muda (1608-1637), Kesultanan Aceh mulai mengalami kemunduran. Ada beberapa faktor yang membuat Kesultanan Aceh melemah hingga runtuhnya kerajaan Islam yang disegani pada waktu itu. Faktor pertama, generasi sultan selanjutnya tidak memiliki kecakapan dalam pemerintahan. Kedua, negeri taklukan seperti Minangkabau, Pahang, Johor, Siak, dan lainnya memberontak dan merdeka. Ketiga dan menjadi faktor paling utama adalah perpecahan internal kesultanan antara kaum agamawan dan aristokrat kerajaan (bangsawan).

Jauh ke Timur Indonesia, dua kesultanan Islam antara Ternate dan Tidore mengalami perseteruan serius. Masing-masing meminta bantuan kolonial dari Portugis, Spanyol, sampai era kolonialisme Belanda untuk saling menaruh pengaruh politik di kawasan. Dua kesultanan ini berakhir hingga semua di bawah kendali VOC dari Belanda. Bahkan abad ke-17 dan 18, kekuasaan Ternate dan Tidore dijalankan oleh pejabat pelaksana yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.

Kembali ke arah Barat, tepatnya di ujung Jawa bagian Barat terdapat Kerajaan Banten. Sultan Banten yang cukup masyhur adalah Sultan Ageng Tirtayasa atau Abu al-Fath Abdul Fattah yang menjabat dari Tahun 1651 sampai 1683 M. Sultan Ageng Tirtayasa begitu menentang pemerintahan Hindia Belanda. Ia bahkan menolak semua negoisasi dengan pihak penjajah hingga akhirnya Belanda menjalin hubungan politis dengan anaknya—Sultan Haji, disebut demikian karena sudah pergi haji ke Makkah—untuk menjadi sekutu sekaligus melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap ayahnya. Usaha Belanda terbukti berhasil dan Sultan Haji duduk dimana ayahnya bertahta.

Baca Juga  Gus Baha: Menolak Rukhsah adalah Wujud Kesombongan

Sejarah yang lebih modern pada abad ke-20 juga menandai pergolakan politik Islam yang ditandai oleh munculnya Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pemberontakan ini diinisiasi oleh Sekarmadji Kartosuwiryo di tanah pasundan. Senyatanya, cita-cita Kartosuwiryo untuk mendirikan negara Islam Indonesia dan menerapkan Islamisme Politik adalah buntut kekecewaannya terhadap pemerintahan saat itu, karena ia tidak ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Barat. Ia kemudian memberontak sehingga kelompoknya dihabisi oleh pemerintah.

Berbeda dengan Politik Islam yang dibawa oleh KH. A. Kahar Muzakar dari Pengurus Pusat Muhammadiyah dan KH. A. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama. Mereka mampu menyatukan kepingan komponen ideologi antara politik Islam dan Nasionalisme atas dasar pertimbangan geopolitik nasional maupun global. Perdebatan terus berlangsung, misalnya, mengenai penerapan syariat Islam untuk dicantumkan ke dalam konstitusi negara atau tidak. Pada akhirnya, semua menyepakati titik temu dari berbagai ideologi yang kemudian melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD Tahun 1945, dan Bhineka Tunggal Ika demi tujuan bersama.

Demikian Islamisme Politik memainkan peranan dalam ideologi politik bangsa Indonesia, hanya demi meraih kekuasaan pragmatis. Akibatnya banyak korban manusia berjatuhan karena berbagai ambisi dan rasa kecewa dalam hidup. Tapi itulah kebesaran sejarah yang terjadi dan harus kita gali terus menerus untuk lebih mengenal secara akurat tentang diri kita sendiri. Sebab tanpa pengetahuan sejarah yang lebih luas tentang Islamisme Politik atau formalisasi syariat, kita tidak disadarkan oleh langkah maju pihak bangsa lainnya. Dengan kata lain, kedewasaan mayoritas umat Islam di Indonesia dalam pandangan politik Islam telah berhasil mencapai sebuah bangsa yang merdeka dan terbuka (demokratis).

Namun dewasa ini, ketika krisis multidimensi (dalam beberapa bidang) beberapa kelompok Islamisme Politik yang jauh lebih ekstrem dan radikal menghendaki formalisasi syariat. Meski mereka hanya sebagian kecil, tapi kelompok-kelompok ini sedikit banyak terjadi polarisasi kelompok Islam dan pandangan politik. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor kehidupan. Salah satunya adalah krisis kepercayaan terhadap para pemimpin bangsa ini akibat kurangnya komunikasi dan sikap terbuka.

Banyak pemimpin kita tidak lagi jujur dengan bukti bahwa masih banyak para elite politik yang memiliki karakter orang miskin—mental korup dengan maling uang negara secara diam-diam—sehingga kesenjangan sosial terjadi di mana-mana dan ketidakadilan hukum yang belum sepenuhnya bisa tegak. Meski begitu, kita perlu optimisme tinggi bahwa di masa depan, sebagai generasi penerus bangsa kita mampu meletakkan nilai-nilai Islam dalam politik secara inklusif. Tidak perlu lagi Islam yang dilegalkan dalam hukum formal yang bersifat ornamen.

Dengan penuh dinamika sosial politik Islam, seharusnya umat Islam tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan yang inheren dari nilai dan ajaran Islam sebagai agama yang merahmati semesta (rahmatan lil alamin). Hal itu bisa dilakukan melalui berbagai strategi politik Islam yang benar. Misalnya, pembelaan umat Islam dalam politik bisa melalui pembelaan terhadap kaum minoritas yang tertindas atau dalam bahasa agama disebut mustadh’afin.

Memperjuangkan kesetaraan, menyeimbangkan kehidupan, dan memastikan hadirnya hak-hak yang proporsional. Itulah pemahaman yang benar tentang pembelaan kita terhadap Islam maupun bangsa Indonesia. Pemahaman keislaman yang diyakini, harus mampu mengubah diri kita untuk menjadi sosok yang memperjuangkan politik Islam secara substantif, bukan Islamisme Politik yang bertujuan menerapkan formalisasi syariat yang bersifat aksesoris belaka. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.