Ironi Kebebasan Beragama di Kota Baja

KolomIroni Kebebasan Beragama di Kota Baja

Kesempatan perjalanan menyeberangi selat Sunda pada akhir tahun 2021 lalu memberi saya sepenggal memori visual tentang Kota Cilegon. Bangunan-bangunan luas dan besar menjadi rekaman menonjol yang saya ingat sepanjang jalan menuju pelabuhan Merak. Pinggiran jalan di dekat pelabuhan menjadi sentra ekonomi masyarakat. Banyak penjaja oleh-oleh, warung-warung, tukang tambal ban, dan berbagai pelaku ekonomi kecil lain yang memanfaatkan potensi Merak sebagai titik vital mobilisasi orang-orang menuju dan dari pulau Sumatera. Belakangan, saya tahu bahwa Cilegon populer sebagai kota industri, baja khususnya. Informasi ini seperti menjelaskan tangkapan mata saya atas keberadaan bangunan-bangunan besar di sisi jalan menuju pelabuhan itu. Perusahaan baja yang konon terbesar se-Asia Tenggara–Krakatau Steel–mungkin saja turut saya lewati tanpa sadar. 

Kurang lebih sepekan terakhir, kota baja tersebut ramai diperbincangkan warga di media digital. Bagaimana tidak? Serentak bersama jajarannya, pada Rabu (7/9/2022), Walikota Cilegon turut berpartisipasi menandatangani petisi penolakan pembangunan rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha di daerah Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon. Petisi yang diajukan oleh Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon ini menjadi ironi. Sebuah komite yang menamakan dirinya penyelamat kearifan justru bertindak merusak, meminggirkan sesama warga dari hak beribadah sesuai keyakinan mereka. Ironi yang lebih kronis adalah cap jempol sang walikota pada kain putih yang menjadi medium petisi penolakan dibangunnya gereja. Pejabat publik dengan predikat Cilegon I itu tanpa sungkan mendiskriminasi warga non-Muslim yang menjadi tanggung jawabnya.

Kelompok masyarakat yang melakukan aksi penolakan itu mengklaim Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975, yang disebut-sebut mengatur tentang Penutupan Gereja atau tempat jamaah bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang, sebagai dasar legitimasi yuridis untuk menghadang berdirinya gereja di kota baja tersebut. SK ini adalah alat legitimasi yang cacat karena jelas bertentangan dengan UUD 1945, di mana negara menjamin kemerdekaan berkeyakinan tiap penduduk dan mereka bebas untuk beribadah menurut kepercayaan masing-masing (Pasal 29 ayat 2). Pelajar sekolah menengah pertama juga tahu bahwa UUD 1945 menempati puncak hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Asas lex superiori derogat legi inferiori menegaskan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dan konstitusi 1945 adalah supremasi. Dengan sendirinya SK Bupati tersebut adalah produk inkonstitusional dan tak relevan.

Cilegon memang secara konsisten masuk dalam jajaran kota dengan indeks toleransi yang rendah, sedikitnya dalam lima kali riset yang dilakukan Setara Institute tentang Indeks Kota Toleran. Penolakan pembangunan rumah ibadah sudah terjadi bahkan sejak 1994. Dalam temuan Setara Institute tersebut, yang dikutip laman kemenag.go.id Jumat (9/9/2022, Mengurai Polemik Penolakan Pendirian Gereja di Cilegon), tercatat bahwa pada 2015 Cilegon berada di posisi 15 dari bawah, lalu menuju nomor empat dari bawah pada 2017 serta 2018, kemudian menempati posisi kedelapan dari bawah pada tahun 2020, dan kian kritis dengan urutan ketiga dari bawah pada 2021. Penelitian ini digarap dengan menggunakan basis kebijakan pemerintah serta ucapan pejabat setempat sebagai indikator toleran tidaknya sebuah kota. 

Dari data di atas, terlihat bahwa problematika intoleransi dan kuatnya sentimen SARA di Cilegon merupakan perkara tua yang menjadi penyakit sosial sekaligus struktural. Dengan kata lain, pemerintah daerah setempat adalah bagian dari pemain utama yang melestarikan intoleransi di tengah warganya sendiri. Secara apologetis, Walikota Cilegon mengatakan “hanya mengikuti kemauan massa” untuk turut menandatangani petisi penolakan pembangunan gereja HKPB Maranatha, seperti tertulis dalam laman regional.kompas.com Kamis (8/9/2022). Pernyataan tersebut bukan hanya menampilkan ketiadaan pendirian, tapi  juga menunjukkan afirmasinya pada tindakan intoleran dan diskriminatif. Dalam hal ini, Helldy Agustian, selaku Walikota Cilegon seharusnya berupaya maksimal untuk memenuhi hak sipil rakyatnya yang dijamin penuh konstitusi. Bukan malah tunduk pada arus massa yang intoleran.

Baca Juga  KH. Ali Yafie, Sang Pembawa Maslahat

Berkeyakinan adalah hak tiap manusia yang melekat secara kodrati yang tak bisa ditawar atau ditiadakan. Ada PBM 2 menteri, yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 yang sebetulnya bisa dirujuk oleh kepala daerah terkait pendirian rumah ibadah. Peraturan Bersama tersebut mengatur bahwa pembangunan rumah ibadah harus memenuhi syarat administratif dan persyaratan teknis bangunan. Apabila persyaratan pertama terpenuhi sedangkan syarat kedua yakni teknis bangunan belum terpenuhi, maka pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas untuk lokasi pembangunan rumah ibadah. Dengan demikian, tak ada alasan apapun untuk tidak memfasilitasi pembangunan rumah ibadah apalagi menolaknya manakala calon pengguna sudah mencapai 90 jiwa sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam PBM.

Keberagaman keyakinan masyarakat kota Cilegon adalah keniscayaan yang harus disikapi dengan bijak dan terbuka, alih-alih ditolak dan diintimidasi. Melansir dari bbc.com Kamis (8/9/2022), bahwa pada tahun 2019 masyarakat non-Muslim di Cilegon terdiri dari 6.740 warga Kristen, warga Katolik berjumlah 1.743 jiwa, Hindu 215 warga, Buddha berjumlah 215 warga, dan Konghucu 7 warga. Terlampau keterlaluan, membiarkan ribuan umat beragama terlantar tak memiliki rumah ibadah di kota yang mereka diami. Penolakan atas pendirian rumah ibadah bagi warga non-Muslim adalah kezaliman terstruktur yang disokong semangat mayoritanisme. Siapapun akan dengan mudah menemukan masjid atau mushala saat berada di kota Cilegon, di mana jumlah totalnya lebih dari enam ratus bangunan. Sementara itu, sampai sekarang, tak ada satu pun tempat ibadah bagi warga selain Muslim di kota Cilegon. 

Tiap Minggu pagi ribuan umat Nasrani mesti menempuh puluhan kilometer untuk menumpang ibadah di lain kota. Ada yang mengendarai mobil, dan tak sedikit yang berkendara roda dua berjibaku dengan jalanan yang panas dan penuh polusi residu industri. Beban pun kian terasa berat bagi mereka yang hidup pas-pasan, mereka mesti menyisihkan ongkos untuk akomodasi tiap pekan demi berkunjung ke rumah Tuhan.

Lepas dari segala persoalan administratif, kesadaran asasi akan kebutuhan menyalurkan dorongan spiritualitas tiap manusia sebetulnya amat cukup menjadi landasan moral-personal untuk tidak menolak praktik ibadah kaum lain keyakinan. Kita akan lebih berempati dengan mengimajinasikan diri kita berada di posisi minoritas untuk menghadirkan suasana batin yang tertindas. Tokoh masyarakat, para ulama, ormas, hingga tokoh pemuda setempat seharusnya menjadi katalis penggerak kerukunan antarumat, bukan malah memotori gerakan diskriminatif yang menyinggung SARA seperti yang terjadi selama ini. Sikap Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang bergegas mengajak Walikota Cilegon dan tokoh masyarakat setempat untuk berdiskusi membahas penolakan gereja tersebut harus didukung.

Susunan batu-bata berlapis semen dengan ornamen salib di dindingnya, yang berpadu bunyi lonceng dan gema kidung doa bukanlah ancaman keyakinan bagi umat Islam. Menolak keberadaan gereja sembari berteriak takbir adalah ilusi jihad. Jihad sesungguhnya adalah menekan egoisme, superioritas keyakinan, serta nafsu menindas. Walikota Cilegon beserta jajarannya tak hadir sebagai wali yang menjaga warganya, namun justru mengkorupsi kebebasan mereka beragama. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.