Meningkatkan Kecerdasan Sosial

KolomMeningkatkan Kecerdasan Sosial

Bulan Juni menyimpan banyak kenangan bersejarah yang patut terus diingat oleh masyarakat kita. Di antaranya ialah hari lahir lahir Bung Karno dan hari lahir Pancasila. Bung Karno merupakan salah satu pemimpin terbaik sepanjang sejarah di seluruh dunia. Satu hal yang menonjol ialah tingginya kecerdasan sosial yang dimilikinya, sehingga berhasil memimpin pergerakan kebangsaan dan menjadi pemikir paling berpengaruh bagi bangsa ini.

Sudah dipastikan, Bung Karno adalah teladan kita sepanjang berdirinya negeri ini. Nama Bung Karno akan selalu abadi dalam catatan sejarah, tetapi kita juga perlu melestarikan semangat Bung Karno dalam diri kita. Salah satunya tentang persatuan dan persaudaraan bangsa, yang dimulai dengan menjalin hubungan baik dengan sesama. Seperti pada tetangga, teman, guru, rekan kerja, teman online, dan dalam sekala luas, seluruh rakyat Indonesia. Tidak diragukan lagi, Bung Karno, sangat mahir menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, individu maupun kelompok masyarakat dari tingkatan dan latar belakang yang beragam. Hal itu mengantarkannya pada kesuksesan menjunjung kemanusiaan, memerdekakan bangsa, dan mewujudkan cita-cita bersama.

Kemampuan untuk memahami hubungan dengan orang lain, seperti membangun kepercayaan, ajakan, keanggotaan kelompok, dan kekuatan kolektif, disebut sebagai kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan kekuatan paling modern yang terkait dengan kemanusiaan. Pada puncaknya, kecerdasan sosial akan mendukung seseorang menjadi organisatoris yang handal dan pemimpin yang efektif. Dalam Leadership and Social Intelligence (1991: 334), kecerdasan sosial merupakan bagian integral dari kepemimpinan yang efektif. Maka dari itu dikatakan, pemimpin yang baik adalah ‘ahli sosial’.

Di dunia kita saat ini, kecerdasan sosial atau kemampuan untuk menjaga hubungan antar sesama manusia dengan baik itu amat penting. Kita patut memetik sebuah ayat dalam al-Quran yang berisi ajaran untuk mengembangkan kecerdasan sosial. Ayat itu berbunyi, Jadilah pemaaf, perintahlah orang-orang pada yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh (al-A’raf: 199). Dengan redaksi yang singkat, ayat ini mencakup semua sisi budi pekerti luhur yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Ayat ini diturunkan sebagai suatu pedoman perjuangan bagi Rasulullah SAW, dan secara umum bagi siapapun umatnya yang yang sedang mengemban tugas kemasyarakatan yang besar. Inilah tiga pokok ajaran yang diberikan Allah kepada Nabi SAW dalam memimpin umatnya, menyatu-padukan pengikutnya, mengantisipasi serangan, dan menegakkan kehidupan sosial yang berperadaban tinggi. Al-A’raf ayat 199 dikenal sebagai salah satu ayat al-Qur’an yang paling komprehensif yang mendorong peningkatan kecerdasan sosial.

Al-Quran mengajarkan banyak sekali akhlak baik dalam kehidupan sosial, tetapi ayat ini memilih tiga kualitas utama, yaitu pemaaf, mengerjakan yang baik-baik, dan mengabaikan gangguan orang-orang jahil. Itulah tiga unsur yang wajib diperhatikan dan dipegang teguh untuk memelihara hubungan kemanusiaan. Dalam tafsirnya, Buya Hamka mengutip Ja’far as-Shadiq RA yang berkata, “Tidak terdapat di dalam al-Quran sebuah ayat yang menghimpun budi yang luhur melebihi ini”. Jadi, mari kita refleksikan ayat ini ke dalam realitas kita!

Kita adalah bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Sikap pemaaf amat penting di tengah kompleksitas karakteristik masyarakat di negeri kita. Bagaimanapun, kita tidak mungkin mengharapkan semua orang dapat menjaga sikap baiknyanya, apa yang kita sukai belum tentu disukai orang lain, begitupun sebaliknya. Belum lagi standar adat dan budaya yang berbeda-beda serta tidak selalu cocok antara satu dan lainnya. Maka dari itu, ketersinggungan dan gesekan sosial sangat mudah terjadi. Sehingga, kunci emas untuk menghindari konflik ialah bersikap pemaaf, artinya mudah memaafkan dalam menghadapi perlakuan orang, dan tidak membalasnya. Kualitas ini mata penting bagi bangsa yang sangat menjunjung tinggi Kebhinekaan.

Baca Juga  Gus Mus: Nabi Memanusiakan Manusia

Mudah memaafkan orang yang bersikap kurang menyenangkan tidak akan sia-sia, justru sangat bermanfaat. Selain menghindarkan konflik yang tidak ada gunanya, memaafkan akan membantu kita mengusir perasaan negatif sehingga kita dapat terus fokus pada kebajikan yang sedang kita jalankan. Tidak heran, jika kualitas selanjutnya yang ditekankan dalam al-A’raf ayat 199, setelah sikap pemaaf, ialah wa’mur bil urf. Yakni, mengerjakan kebajikan dari tradisi yang baik sekaligus mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.

Dalam literatur tafsir al-Quran, al- ‘urf dalam ayat ini dimaknai sebagai tradisi yang baik, lazim, atau local wisdom. Dalam Madarik at-Tanzil wa Haqqiqat at-Ta’wil (1999:82), ‘urf ditafsirkan sebagai setiap perbuatan yang disukai akal dan diterima syariat. Selaras dengan itu, Syekh Wahbah al-Zuhaili (1996: 836) juga mengatakan bahwa, secara realistis, maksud ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi-tradisi yang baik yang sudah dikenal masyarakat luas”.

Pada dasarnya, ada banyak sekali kebajikan yang dapat kita serukan, tetapi dalam kata kunci al-’urf, kita diharapkan dapat mempromosikan kebajikan yang relevan dan sesuai dengan masyarakat. dengan kata lain, melestarikan tradisi baik yang sudah cocok dan sesuai dengan Islam dan kebutuhan masyarakat. Imam Ali Ibn ‘Aqil mengatakan kitab al-Funun (1974: 321), “tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang dilarang.”

Ulama salaf yang alim pun terkadang meninggalkan amalan yang sunnah, semata-mata demi menjaga kekompakkan, keharmonisan, dan kebersamaan dengan umatnya yang tidak menganggapnya sunnah. Hal ini telah menjadi praktik umum di kalangan para imam. Inilah wujud keramahan Islam terhadap budaya dan kondisi masyarakat yang beragam. Maka dari itu pula, menjaga toleransi, kohesi sosial di atas keragaman perbedaan daerah dan budaya, menjadi salah satu alasan dipilihnya Pancasila sebagai asas bersama. Inilah salah satu ikhtiar kita mengamalkan ajaran “…wa’mur bil ‘urf…”

Namun, dalam proses pengembangan kecerdasan sosial kita itu, tentu tidak akan lepas dari gangguan atau usaha pihak lain yang untuk menggagalkan usaha tersebut. Untuk itulah, bagian ketiga dari ayat ini berbunyi, …berpalinglah dari orang-orang bodoh. Yang dimaksud dengan ‘orang bodoh’ disini ialah orang yang selalu bersikap kasar, menyakiti, dan menimbulkan gangguan-gangguan. Dalam kehidupan sosial, orang jenis ini biasanya tidak dapat disadarkan, tidak benar-benar bodoh, namun hanya ingin kehancuran pihak yang dianggapnya sebagai lawan. Jadi, tanggapilah dengan mengabaikannya.

Penting untuk diingat bahwa, kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Jangan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan pula, sebab kita diajarkan untuk tidak memperdulikan dan cukup mengabaikannya saja. Dengan begitu, kita akan terus berputar, kembali pada kualitas pertama, yaitu sikap pemaaf, dan berlanjut untuk mengerjakan kebajikan sekaligus mengajak orang-orang untuk mengerjakannya, dan kemudian mengabaikan orang-orang jahil. Inilah siklus yang akan terus berputar untuk mengembangkan kecerdasan sosial kita, berdasarkan surat al-A’raf ayat 199.

Singkatnya, budi luhur merupakan modal utama dalam menciptakan hubungan sosial yang baik. sebab, kecerdasan pribadi dan kecerdasan emosional akan membentuk kecerdasan sosial. Sebagai bangsa Indonesia, kita wajib menjaga persatuan dan persaudaraan, sebagaimana amanat para pendiri bangsa. Jadi, mari tingkatkan hubungan baik dengan sesama manusia, melalui pengembangan kecerdasan sosial yang tersinspirasi al-A’raf ayat 199!

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.