Nasionalisme Sepakbola Bung Karno

KolomNasionalisme Sepakbola Bung Karno

Pertandingan antara timnas sepakbola Indonesia melawan Vietnam dini hari tadi, menyisakan perih. Bagaimana tidak? Timnas kita dilucuti Vietnam dengan skor telak, 4-0. Padahal, jika melihat dari kebesaran bangsa kita, yang notabene negara terbesar di kawasan, tentu kekalahan tidak dapat diterima. Namun, apalah daya, memang begini nyatanya.

Menyaksikan permainan timnas kita, rasa-rasanya banyak sekali hal yang harus dievaluasi. Tidak saja struktur organisasi dan taktik bermain, tetapi juga semangat nasionalisme yang menggelora. Bung Karno mengatakan, bahwa sepakbola, olahraga yang sangat digemari oleh masyarakat, melibatkan banyak massa, adalah satu sarana yang tepat untuk mengekspresikan persatuan.

Menilik sejarah perkembangan sepakbola nasional, sebenarnya kita pernah berada di fase, di mana orang-orang menyebut kita, sebagai ‘Macan Asia’. Perkembangan sepakbola kita jauh di atas negara-negara kawasan, pun berbagai prestasi diraih. Uniknya, pencapaian itu tidak terlepas dari peran aktif Bung Karno, yang kala itu menjadi presiden. Dengan kecintaannya terhadap sepakbola dan negara, Bung Karno sukses membawa timnas berada di masa keemasan. Tidak saja di kawasan, tetapi juga Asia dalam keseluruhan.

Bahkan, Bung Karno menjadikan sepakbola sebagai instrumen persatuan bangsa-bangsa di dunia. Diakui oleh Bung Karno, bahwa olahraga sangat penting. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang sedang menjalankan “nation building”. Olahraga, di mata Bung Karno, adalah alat revolusi. Hal ini sebagaimana ia buktikan dengan mengeluarkan Kepres No 263/1963 untuk mencanangkan Indonesia jadi 10 besar dalam bidang olahraga. Tidak berhenti di situ, bahkan, Bung Karno juga menganggap olahraga sebagai proses pembangunan kembali martabat bangsa.

Melihat cita-cita dan harapan Bung Karno terhadap perkembangan timnas sepakbola kala itu, tentu dapat kita pahami. Pasalnya, di masa transisi kemerdekaan, sangat tidak mungkin Indonesia dapat menjadi negara besar dan dihargai di kancah dunia. Namun, hebatnya Bung Karno, ia dapat menerobos ketidakmungkinan itu.

Hal ini ia buktikan dengan membangun Istana Olahraga (Istora) pada tahun 1958, dengan anggaran sebesar US$ 12,5 juta atau Rp 117,6 miliar. Nilai yang sangat fantastis pada zamannya. Istora rampung dibangun pada 21 Mei 1961, yang di dalamnya terdapat beberapa fasilitas olahraga, seperti Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), serta Gedung Basket (Juni 1962) dan Stadion Utama (21 Juli 1962). Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), bahkan menjadi salah-satu stadion terbesar di dunia pada masanya.

Baca Juga  Refleksi Pemuda, Asa Hari Depan Bangsa

Memang, kala itu masyarakat kita sedang berada di fase krisis ekonomi, ketimpangan ekonomi dan kelaparan ada di mana-mana. Karena itu, banyak dari elemen masyarakat mengkritisi pembangun yang dipromotori Bung Karno itu. Namun, bukan Bung Karno namanya, jika tidak kontroversi, gagasan-gagasannya jauh melampaui zamannya. Dikatakan dalam sesekali pidatonya, bahwa “ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi makan kepada jiwa-jiwa yang telah diinjak-injak (kolonialisme) dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan mereka—inipun penting.”

Demikianlah Bung Karno dengan segala keunikannya, jika ia ingin membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan dapat diperhitungkan. Baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, maupun olahraganya. Terbukti, dengan kegigihannya membangkitkan gelora nasionalisme dengan infrastruktur olahraga, kita dapat menjadi satu-kesatuan dari bangsa-bangsa yang besar. Bahkan, negara sekelas Uni Soviet dan Amerika Serikat mengamini itu.

Menyaksikan pertandingan timnas sepakbola kita dini hari tadi, terasa ada yang hilang, jika kita kotenkstualisasikan dengan sepakbola zaman dulu. Zaman di mana nasionalisme Bung Karno tertanam dalam sendi-sendi para atlet kita. Tahun demi tahun, olahraga kita bukan malah menampakkan kegemilangannya di kancah dunia, malah sebaliknya. Jangankan di dunia, di kawasan saja kita tertinggal jauh, dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Bukan saya pesimis atau egosentris, hanya saja, harus dapat kita sadari bersama, bahwa harapan Bung Karno terhadap olahraga sangat besar. Ia ingin menjadikan olahraga, tidak saja sebagai instrumen membangkitkan martabat bangsa, tetapi juga persatuan bangsa-bangsa di dunia. Oleh karena itu, kesadaran kita dan para atlit olahraga, khususnya sepakbola dalam merenungi ajaran nasionalisme Bung Karno sangat penting.

Singkat kata, atas nama persatuan dan kesatuan, Bung Karno telah memulai saatnya kita melanjutkan. Kita rajut kembali nasionalisme Bung Karno dalam sepakbola, sehingga tidak saja kita menjadi sang juara, tetapi juga kembali menjadi ‘Macan Asia’.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.