Berhaji Tanpa ke Tanah Suci

KolomBerhaji Tanpa ke Tanah Suci

Hampir dapat dipastikan, pengumuman Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas pada Kamis (3/6/2021) lalu mengenai pembatalan pemberangkatan calon jemaah haji Indonesia menyisakan kekecewaan mendalam. Apalagi ini adalah kali kedua ritual tahunan tersebut ditangguhkan. Munculnya rasa kesal dan khawatir tak akan berkesempatan menginjakkan kaki di Tanah Suci adalah perihal yang wajar. Tapi jangan sampai meratap atau bertindak gegabah. Jangan pula naif dan berkomentar di luar kapasitas, seperti seorang publik figur yang mengatakan bahwa pintu surga bisa jadi tak dibuka bagi masyarakat Indonesia karena tak berhaji. Asumsi ini terlalu dangkal dan konyol. Haji bukan sekadar demonstrasi manasik secara fisik. Tercatat, bahkan ada hamba Allah yang mabrur tanpa berhaji.

Sosok yang terekam dalam sejarah tersebut adalah seorang tukang sol sepatu dari Damsyiq yang bernama Ali bin al-Muwaffaq. Suatu ketika saat sedang berhaji, Abdullah bin al-Mubarak, ulama besar yang masyhur dengan kezuhudannya ini sempat tertidur di Masjid al-Haram. Dalam lelapnya, ia bermimpi berjumpa dengan dua malaikat yang sedang bercakap-cakap tentang jumlah orang yang berhaji di tahun tersebut.

Singkatnya, dari hampir 600 ribu manusia yang menunaikan ibadah haji, diceritakan bahwa tak ada satupun orang yang hajinya diterima. Namun, terdapat satu orang yang tidak pergi ke Tanah Suci tetapi ia dianggap mabrur oleh Allah SWT. Ratusan ribu orang yang sebelumnya dinyatakan gagal dalam hajinya, kemudian Allah memabrurkan mereka tersebab tukang sepatu tadi.

Percakapan dua malaikat itu pun sontak membuat Ibnu al-Mubarak terhenyak. Selepas berhaji, ia bertekad menemui orang tersebut dengan mencarinya ke Damsyiq. Mimpi Ibnu al-Mubarak tadi pun ia ceritakan kepada al-Muwaffaq setelah berhasil menjumpainya. Tukang sol sepatu itu pun berkisah bahwa ia mengurungkan niatnya ke Tanah Suci karena di kampungnya terdapat janda miskin beserta anak-anaknya yang kelaparan hingga mereka mengonsumsi bangkai untuk mengganjal perut.

Tanpa banyak pertimbangan, uang tabungan yang selama 30 tahun dikumpulkannya untuk haji pun ia berikan kepada janda miskin tadi. Menurutnya, mengentaskan kesulitan mereka jauh lebih penting daripada hajinya. Ia hanya bermunajat agar diberi umur panjang supaya berkesempatan lagi menabung dan mengunjungi rumah Allah. Ibnu al-Mubarak pun larut dalam keharuan. Terkagum dan paham mengapa Allah menjadikannya mabrur betapapun tanpa ritual fisik sebagaimana mestinya.

Kita bisa lihat, kepedulian pada sesama, sikap welas asih, dan penanggalan egoisme pribadi telah membuat seorang tukang sol sepatu berhasil mencapai derajat yang diharapkan siapapun yang berhaji, yakni mabrur. Ia bahkan menjadi berkat bagi orang-orang yang dinilai tak lolos hajinya. Ridha Allah menyertai mereka yang berserah dan peduli pada sesama.

Tiap demonstrasi fisik yang diwajibkan dalam haji, mengandung pesan mendalam tentang tauhid, kepasrahan, rendah hati, usaha fisik, sikap mengasihi, serta kemauan berbaur dengan rotasi kemanusiaan. Dengan kata lain, haji bukan sekadar tentang dimensi fisik saja. Allah memproyeksikan amanat-amanat filosofis tadi agar dikumandangkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah haji yang dinilai mabrur merujuk pada perbaikan diri dan melanggengkan ketaatan pada Tuhan? Mabrur adalah dia yang sepulang dari Tanah Suci menjadi pribadi yang konsisten melaju pada rel kebaikan dan berkobar padanya spirit pengabdian kepada kemanusiaan.

Baca Juga  NU Benteng Moderasi Islam

Kisah tukang sepatu yang seolah tidak masuk akal tadi akan kita temukan legitimasinya dalam beberapa sabda Nabi. Di mana terdapat sejumlah hadis menjelaskan tentang amalan yang setara dengan ibadah haji. Dan perkara tersebut merupakan amalan yang lekat dengan dimensi sosial serta kepedulian pada sesama manusia.

Seperti sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, Tidakkah Allah memberikan kepadamu (pahala) shalat isya berjamaah sama dengan ibadah haji, dan shalat subuh berjamaah sama dengan umrah? (HR. Muslim). Jika dicermati, berjamaah menjadi titik tekan dari ibadah yang setara dengan kunjungan ke Tanah Suci. Tradisi berjamaah akan mengikat rasa kebersamaan dan menumbuhkan jalinan relasi sosial yang saling mendukung.

Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda, Bertakwalah kepada Allah dengan berbuat baik kepada ibumu. Jika engkai berbuat baik kepadanya, statusnya adalah seperti berhaji, berumrah, dan berjihad. (HR. Thabrani). Bersikap baik kepada sesama manusia dalam hadis ini menjadi salah satu indikator ketakwaan seseorang yang Nabi tekankan. Hadis ini bermula dari aduan seseorang kepada Nabi, di mana ia sangat ingin pergi berjihad namun tidak mampu. Lalu Nabi pun memerintah untuk berderma bakti pada orang tuanya sebagai pengganti keinginannya berjihad. Dan ganjaran dari kebaikan ini luar biasa.

Kedua riwayat di atas menyisipkan satu benang merah yang sama, yakni peduli dan melayani manusia. Allah mengundang hamba-Nya jauh-jauh untuk berkunjung ke rumah-Nya sebagai tamu pribadi. Dia menyuruh kita untuk menyatu dengan umat manusia, terus bertawaf, tetap bahu-membahu dengan umat. Demikian kehendak Tuhan. Maka dari itu, jelas mengapa tukang sol yang tak berhaji bisa diganjar pahala haji. Tiketnya adalah kepasrahan yang murni, memupus egoisme, dan peduli pada sesama.

Saya tidak menyuruh untuk sekonyong-konyong mendonasikan tabungan haji yang dimiliki. Kisah Muwaffaq mengajarkan kita bahwa perkenan Tuhan bisa ditempuh dengan banyak cara. Allah selalu memberikan jalan alternatif. Muwaffaq telah melampaui dimensi fisik. Betapapun haji adalah untuk menjawab panggilan rohani, tapi jelas buah dari ibadah tersebut selain upgrade spiritualitas juga praktik kebaikan dalam domain kemanusiaan. Ini yang harus kita perjuangkan.

Lebih dari itu, jangan sampai kita mentransfer emosi kekecewaan pada hal-hal yang tak wajar seperti halnya publik figur yang membuat pernyataan tak berdasar seperti tersebut di atas. Hal tersebut hanya akan membodohi dan memprovokasi masyarakat.

Mari selalu berusaha melihat peristiwa dari beragam sudut pandang. Dalam setiap kebaikan, ada potensi keburukan yang terselip di dalamnya. Begitupun sebaliknya, hal yang buruk dalam definisi kita, sangat mungkin ada kebaikan yang menyertainya. Demikianlah, sebab akibat terkadang tak berjalan linier. Keluasan cara pandang dan kepekaan untuk mencari hikmah dari suatu kejadian menjadi hal yang penting, agar kita tidak menjadi manusia yang mudah merutuki keadaan. Masih ada cara lain untuk menggapai pahala haji. Semoga ke depan kita sekalian benar-benar berkesempatan mengunjungi Tanah Suci. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.