Pernikahan Dini, No Way!

KolomPernikahan Dini, No Way!

Kasus bunuh diri di kalangan remaja kembali terjadi. Pasalnya, seorang siswi SMP di Sumenep, Madura tewas bunuh diri usai dipaksa menikah oleh orang tuanya. Hal ini tidak hanya menunjukkan praktik pernikahan dini yang masih marak di masyarakat. Melainkan juga menggambarkan, betapa fatal dan tragisnya akibat dari praktik tersebut.

Dilansir dari Kementrian PPN/Bappenas, bahwa 400-500 anak perempuan Tanah Air yang berusia 10-17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Di sisi lain, terdapat 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari-Juni 2020, di mana 97% di antaranya dikabulkan. Angka yang lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 23.126 dispensasi kawin.

Secara umum data tersebut menjelaskan, bahwa pernikahan dini di Tanah Air meningkat selama Covid-19 mewabah. Selama pandemi, sekurang-kurangnya terdapat dua hal yang memicu orang tua untuk segera menikahkan anaknya meskipun belum memasuki usia 19 tahun. Pertama, landainya perekonomian masyarakat. Kedua, penutupan sekolah-sekolah. Meskipun tidak sedikit pula yang menikah di bawah umur lantaran tradisi yang dianut.

Bagi beberapa orang tua, menikahkan anak yang masih di bawah umur adalah jalan keluar permasalahan ekonomi keluarga. Di sisi lain, ketidaksiapan orang tua dalam mendidik anaknya lantaran sekolah ditutup kerap kali berujung pernikahan. Maksudnya, anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian cukup dari kedua orang tuanya kemudian lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergaul secara bebas.

Kemudian, tidak sedikit dari pergaulan tanpa pengawasan tersebut yang menyebabkan hamil di luar nikah atau MBA (married by accident). Keadaan itulah yang kemudian memaksa orang tua untuk menikahkan anaknya. Ironisnya, pernikahan dini tersebut tak berumur panjang sebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang acap kali diterima salah satu pihak.

Tak ayal, pernikahan dini yang dianggap sebagian besar orang tua sebagai akhir masalah, justru merupakan awal dari timbulnya segudang permasalahan yang lebih kompleks. Belum matangnya orang reproduksi menyebabkan kesehatan anak terganggu. Ketidakmampuan mereka dalam mengatasi problematika rumah tangga juga memengaruhi kesehatan mentalnya. Tidak hanya itu, pernikahan dini juga kerap kali berujung perceraian yang sangat berdampak pada kualitas generasi bangsa Tanah Air ke depan. Dan, masih banyak permasalahan lain yang timbul.

Karenanya, kasus pernikahan dini siswi SMP di Sumenep hanyalah satu dari sekian banyak korban pernikahan dini. Mengapa korban? Sebab anak-anak yang menikah di bawah umur faktanya lebih banyak dirugikan daripada diuntungkan. Sejatinya mereka akan lebih banyak mengalami kemudharatan daripada kemaslahatan.

Baca Juga  Menyiapkan Perjalanan Baru

Hal tersebut tentu bertentangan dengan maqashid al-syariah atau tujuan-tujuan diberlakukannya syariah yakni kemaslahatan manusia. Sedangkan pernikahan dini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Lebih banyak kerugian yang didapatkan daripada keuntungan dan kebaikan. Mulai dari pelanggaran hak-hak anak, sampai dampak negatif secara biologis dan psikologis yang timbul pasca-pernikahan.

Adapun pemerintah tampaknya termasuk lambat dalam menyikapi fenomena pernikahan dini. Terlihat jelas dari batas usia minimal laki-laki dan perempuan yang baru direvisi pada tahun 2019 lalu. Perempuan dibolehkan menikah minimal 16 tahun, direvisi menjadi 19 tahun menyamai umur minimal laki-laki. Untuk itu, bertahun-tahun lamanya perempuan umur 16 sampai 18 tahun yang masih tergolong anak-anak, dapat melangsungkan pernikahan secara resmi.

Padahal, pernikahan merupakan ikatan sakral antara seorang laki-laki dan perempuan yang bertujuan menciptakan keluarga yang damai, baik, dan sejahtera (Sakinah, mawaddah, rahmah). Lebih dari itu, pernikahan juga bertujuan menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa. Di mana kualitas generasi ini harus kita jaga dan tingkatkan demi majunya Tanah Air di masa mendatang.

Untuk itu, pendidikan orang tua sangat penting bagi masa depan anak. Secara khusus perempuan, dalam hal ini seorang ibu, merupakan madrasah al-ula bagi anak-anaknya. Ibu adalah pendidik pertama. Tak terbayangkan, akan seperti apa generasi mendatang, jika anak-anak perempuan saat ini harus putus sekolah demi membesarkan anaknya.

Di samping pendidikan orang tua, pendidikan seks (sex education) untuk anak usia dini juga sangat penting, meskipun kerap kali dianggap tabu. Pendidikan ini bertujuan agar anak memahami kondisi tubuhnya dan kondisi lawan jenisnya. Salah satunya mempelajari bagaimana cara menutup dan menjaga anggota tubuhnya, termasuk organ reproduksinya. Dengan begitu, anak usia dini tidak akan rentan mengalami kekerasan seksual. Bahkan, menekan jumlah kasus hamil di luar nikah.

Oleh karena itu, pernikahan dini bukanlah solusi. Melainkan fatamorgana di tengah peliknya permasalahan. Terlihat menyegarkan dan menarik dari kejauhan, tetapi sejatinya kosong tak menyelesaikan. Ingatlah, bahwa generasi selanjutnya ditentukan oleh sikap yang kita ambil di masa sekarang. Pernikahan dini? No way![]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.