Hati-hati Memotret Konflik Israel-Palestina

KolomHati-hati Memotret Konflik Israel-Palestina

Dalam pemahaman arus utama masyarakat kita, ketegangan Israel-Palestina disimpulkan sebagai konflik agama, persisnya antara Yahudi dan Islam. Cara pandang demikian, selain berbahaya juga tidak sesuai dengan fakta empiris dalam tubuh Israel serta Palestina sendiri, yakni heterogenitas baik agama maupun suku. Perhelatan konflik menyejarah yang selalu menyita perhatian dunia ini perlu diurai dengan seksama untuk menghindari kesalahpahaman dan dampak kontraproduktif. Misi perdamaian dunia dan kerukunan yang didamba, menjadi mustahil jika perang agama masih dinarasikan sebagai tema besar konflik politik tersebut. Sebab emosi keagamaan adalah bahan bakar yang awet bagi suatu pertikaian.

Terlebih dahulu kita perlu membedakan antara Yahudi dengan Zionisme. Tidak semua Yahudi adalah seorang Zionis ataupun mendukung tindakan kejam mereka. Banyak kalangan Yahudi yang mengutuk kebiadaban Zionis Israel. Sebut saja Noam Chomsky, intelektual Yahudi kelas dunia ini adalah seorang anti-Zionisme. Ia salah satu tokoh yang berada di garis terdepan dalam membela bangsa Palestina. Seorang rabi dari Australia, Gedalya Lieberman bahkan mengatakan, Zionisme merupakan fenomena rasis chauvinis dan bertolak belakang dengan ajaran Yudaisme.

Lebih lanjut, Zionisme adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Israel sebagai national home kaum Yahudi di Tanah Suci yang dijanjikan, yang diyakininya wilayah Palestina kini. Gerakan tersebut diinisiasi oleh Theodor Herzl pada 1896. Zionisme sejatinya adalah ide yang melanggar Taurat. Para rabi Yahudi menolak gerakan tersebut, sebab yang diajarkan adalah, bahwa kemblinya mereka ke Tanah Suci hanya akan dipimpin oleh Messiah, sang Juru Selamat, bukan Zionisme.

Kekhawatiran utama ketika konflik Israel-Palestina dipotret sebagai perang antara umat Islam Palestina dan Yahudi Israel, adalah suburnya kebencian terhadap kaum Yahudi serta menguatnya anti-semitisme (sikap memusuhi dan menindas kaum Yahudi). Seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak semua Yahudi adalah Zionis. Selain itu, fokus perjuangan untuk mencapai perdamaian dunia dan umat manusia secara menyeluruh bisa bergeser menjadi nafsu balas dendam kepada yang lain keyakinan jika sentimen agama yang digemakan.

Mata rantai kebencian atas nama apapun haruslah diputus, karena perasaan benci akan selalu membentuk siklus tragedi yang berulang dan efek domino berkepanjangan. Untuk diketahui, salah satu pemicu lahirnya Zionisme adalah kuatnya gelombang anti-semitisme sekitar akhir abad ke-19. Perasaan sakit dan kebencian yang kaum Yahudi terima kala itu, kemudian bersenyawa dan menghasilkan tragedi baru yang diprakarsai oleh Zionis saat ini. Demikianlah cara kerja kebencian.

Syahdan, hal selanjutnya yang perlu dicerna adalah narasi perang agama yang marak itu sendiri. Pertama, saya tidak menafikan adanya unsur keagamaan. Memang ada aspek religiusitas dan keagamaan yang larut ke pusaran konflik Israel-Palestina yang dibawa oleh pihak Israel. Akan tetapi, agama bukanlah motif atau latar belakang dari konfrontasi kedua belah pihak. Narasi “tanah yang dijanjikan Tuhan” diklaim Yahudi sebagai legitimasi untuk menganeksasi wilayah-wilayah Palestina. Sebelumnya, Palestina baik-baik saja. Untuk itu, tidak tepat jika kemudian ini dipotret sebagai konflik agama. Israel adalah agresor yang penuh dalih dan paradoks di tengah modernitas.

Saat menyapa lapangan, melihat komposisi penduduk Israel serta Palestina, kita akan mendapati keragaman agama dan suku bangsa di kedua belah pihak. Palestina tidak hanya dihuni oleh Muslim dan suku bangsa Arab saja. Ada juga yang Yahudi, Druze, dan sejumlah suku bangsa minor lainnya. Nasrani juga eksis di Palestina. Secara statistik, Islam memang menjadi mayoritas di sana, kurang lebih 85 persen.

Baca Juga  Tips Menghidupkan Al-Quran di Bulan Ramadhan

Di samping itu, jangan kira bahwa Israel hanya didiami oleh orang Yahudi. Situs jewishvirtuallibrary.org mendata, masyarakat Israel terdiri dari 74,9 persen orang Yahudi, 21,1 persen orang Arab, dan selebihnya dari beragam suku bangsa lain. Agama yang dipeluk penduduk Israel pun tidak satu. Mayoritas penganut Yudaisme (78 persen). Umat Muslim sebanyak sekitar 18 persen. Kemudian umat Kristiani dan Druze masing-masing sebanyak 2 persen. Bahkan ada Muslim Arab yang menduduki jabatan penting dalam politik. Selain itu, ada pula Muslim yang tergabung dalam militer Israel.

Data ini penting kita kaitkan dengan peta korban dari konfrontasi senjata di sana. Zionis Israel melancarkan operasi militer yang membabi buta dan tidak sekadar menyasar kelompok militan Palestina. Begitu banyak warga sipil meregang nyawa, terluka, dan itu tentu bukan dari kalangan Muslim saja. Sebab masyarakat Yahudi pun juga menjadi korban. Rudal dan roket Israel telah membuat ratusan ribu warga Palestina menjadi pengungsi. Dalam hal kekejaman Israel ini, wajar jika kemudian kelompok militan Palestina merespons dengan menyerang balik Israel.

Reproduksi serangan brutal Zionis Israel selama ini menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, bukan perjuangan agama yang mereka upayakan. Minimal hal ini nampak dari ketidakpedulian mereka, apakah dari kalangan mereka sendiri (Yahudi) ada yang menjadi korban atau tidak. Yang terpenting tujuan perampasan tanah tercapai. Mereka menjelma menjadi pejahat kemanusiaan yang arogan dan menormalisasi kekerasan untuk menguasai Palestina.

Kenyataan ini mengingatkan kita agar jangan sampai terkecoh dengan isu perang agama. Nyatanya tidak sedikit kaum Yahudi dan agama lain yang juga menjadi korban. Lebih dari itu, yang terjadi adalah tragedi kemanusiaan. Siapapun pihak yang tertindas haruslah dibela, tanpa pandang suku bangsa serta agama.

Kedua, tidak ada nuansa spirit umat beragama yang tampak dari Zionis Israel, sementara itu mereka selalu menggandeng doktrin Taurat perihal “tanah yang dijanjikan”. Seorang beragama semestinya berwatak santun, peduli, dan tidak semena-mena. Dalam Yerusalem, Satu Kota Tiga Agama, Karen Amstrong menyebutkan, semua agama menekankan bahwa ujian spiritualitas sejati ialah pengamalan sikap welas asih.

Israel-Palestina bukanlah teater konflik antaragama, sekalipun ada unsur religiusitas yang dibawa serta. Seperti yang diurai di atas, Israel dan Palestina dihuni masyarakat yang heterogen. Bilamana isu Palestina dibingkai sebagai konfrontasi antara Yahudi dan Islam, hal itu hanya akan membuat masyarakat kita bereaksi penuh emosi dan memandangnya dengan kacamata biner; hitam putih. Akan sangat mungkin mereka berasumsi, jika Yahudi maka harus diperangi. Lebih jauh lagi, gelombang kebencian pada umat Yahudi bisa menjadi-jadi. Bagaimanapun, saya tidak sepakat dengan anti-semitisme.

Kita perlu hati-hati dalam membaca konflik ini. Jangan sampai terkecoh dengan aksi ataupun narasi yang membawa-bawa teks suci untuk menyudutkan kaum lintas keyakinan. Respons kita terhadap konflik Israel-Palestina semestinya tak didasari oleh sentimen agama, agar tidak kontraproduktif dengan misi perdamaian dan rekonsiliasi universal umat manusia. Bangsa Palestina jelas harus kita bela, sembari memperjuangkan kemanusian universal dan menumpas bola liar kebencian. Tak lupa, semoga konflik lintas masa ini segera menemukan oase jalan keluar. Jika tak sepakat dengan kekerasan, maka di manapun itu terjadi kita harus bersuara, tentunya sesuai kapasitas tiap kita. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.