Pancasila, Konsep yang Kukuh, Rapuh dalam Perilaku

KolomPancasila, Konsep yang Kukuh, Rapuh dalam Perilaku

Membaca judul dari artikel ini, terlihat begitu pesimistis. Namun saya tidak bermaksud menulis ini untuk membuat kita semua menjadi tipis harapan. Justru tulisan ini bertujuan membangkitkan kembali spirit nilai-nilai Pancasila yang memang sudah menjadi landasan kokoh bangsa kita.

Pada abad ke-16 dan 17, Nusantara terdiri dari beberapa kerajaan dan negara-negara kecil. Dua negara paling besar pada saat itu adalah Majapahit dan Malaka. Masa akhir abad ke-17, Nusantara yang sangat dipengaruhi oleh negara Majapahit sedikit demi sedikit mulai berkurang. Di saat yang sama, berdiri sebuah negara perdagangan Melayu di bagian Barat Nusantara, Malaka. Tapi kali ini saya hanya fokus pada yang berada pada teritorial Indonesia saja.

Puncak kejayaan pemerintahan Majapahit adalah ketika Maharaja Hayam Wuruk (1350-1389) berkuasa, dan selama Mahapatih Gajah Mada (1334-1359) menjabat. Dalam berkeyakinan, perbedaan tidak menjadi persoalan serius. Identitas sosial dalam ruang ligkup lokalitas lebih diutamakan.

Hayam Wuruk sendiri beragama Shiwa-Hindu, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Bahkan dalam satu keluarga, istri dari Raden Wiyaya—pendiri kerajaan Majapahit—bernama Rajapatni menganut agama Buddha. Sementara cucunya, Hayam Wuruk, beragama Shiwa-Hindu. Hal itu membuktikan bahwa identitas bangsa kita memang berada pada keseimbangan yang harmoni. Suatu masyarakat Majapahit dengan toleransi tingkat tinggi dan berperadaban.

Mahapatih Gajah Mada yang beragama Buddha, tetap dipercaya oleh Hayam Wuruk sebagai patihnya. Meski saat itu penganut agama Buddha minoritas, kurang lebih hanya 30%. Pertanyaannya: Apa yang membuat masyarakat Majapahit di berbagai level—baik yang priayi (orang-orang kerajaan), maupun rakayat biasa—dapat bersatu menjadi sebuah negara yang kokoh dan berperadaban?

Beberapa faktor yang membuat masyarakat Majapahit sangat menjaga toleransi beragama. Pertama, nilai paling mendasar dalam masyarakat lokal, lebih mengutamakan harmonisasi sehingga tidak ada sikap fanatik agama tertentu. Yang kedua, agama tersambung paralel dengan nilai-nilai dasar lokal yang baik, yang membudaya lama dalam kultur-sosial masyarakat.

Ketiga, bersikap terbuka terhadap orang asing dengan penuh sikap keramahtamahan terhadap budaya dan agamanya masing-masing. Dan yang keempat, para penguasa dan elite kerajaan pandai mengelola segala perbedaan sekaligus persatuan yang ada sejak dulu. Sebagaimana dicontohkan oleh Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayam Wuruk sendiri.

Belakangan ini, intoleransi dan radikalisme agama kian menguat. Terlebih saat momentum politik pemilihan eksekutif dan legeslatif. Toleransi antar umat beragama pada era Majapahit, dapat menjadi batu landasan yang masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama saat ini. Jika memang betul-betul ingin kembali ke puncak keemasan, nilai yang terkandung dalam Pancasila—terutama sila pertama, kedua, dan ketiga—harus dijunjung tinggi dalam perilaku keseharian masyarakat kita.

Baca Juga  Lampu Hijau! Pemerintah Izinkan Tarawih Berjamaah dan Mudik Lebaran

Selain itu, Kejayaan Majapahit juga dengan melakukan pemanfaatan jalur perdagangan antara India dan China. Ekspor rempah-rempah—terutama beras ke Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Timur—menjadi kekuatan utama yang dapat menyejahterakan rakyatnya. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari para elite penguasa yang piawai dalam mengelola politik dan ekonomi dalam rangka mengokohkan keberpihakan.

Kejayaan Majapahit juga berkat tegaknya superemasi hukum. Tanpa keteraturan sosial yang baik, saya kira akan sulit para penguasa membawa negaranya pada era kejayaan. Selamet Mulyana dalam bukunya, Perundang-undangan Majapahit, menyebutkan tegaknya aturan juga karena kecakapan pejabat di Majapahit, terutama Mahapatih Gajah Mada dalam mengendalikan pemerintahan (Membaca Indonesia, Desk Polhuk Harian Kompas, 2018: 16).

Hukum saat ini tentu lebih baik dibandingkan era Majapahit dulu. Akan tetapi, tidak ada artinya sama sekali jika hukum tidak ditegakkan, dilanggar, diotak-atik, apalagi sampai dimanipulasi sedemikian rupa. Karena puncak kejayaan, salah satu kuncinya adalah kesejahteraan masyarakat dan penegakkan hukum, sehingga keadilan sosial dalam sila ke lima Pancasila tidak sekadar mutiara kata.

Elite penguasa sekarang ini sebaiknya kembali pada sila ke empat dalam Pancasila. Sadarlah bahwa musyawarah adalah jalan keluar segala permasalahan—tidak terus mengaduk-aduk emosi dengan mempertontonkan pertempuran politik tidak sehat yang, berakibat pada kebencian di tengah masyarakat—dan menjaga kepercayaan rakyat, serta membela kepentingannya.

Setelah Hayam Wuruk meninggal, penggantinya tidak sepiawai pendahulunya yang kuat dalam memimpin Majapahit yang besar. Perpecahan, konflik, dan peperangan internal Majapahit, membuat nilai-nilai persatuan, kesejahteraan masyarakat, dan penegakkan keadilan, tidak lagi berjalan. Hal itu boleh jadi yang mengakibatkan rapuh dan runtuhnya kerajaan Majapahit.

Keberagaman agama dan budaya dalam satu kesatuan, dapat hidup berdampingan yang memicu banyak kekaguman inilah identitas nasional bangsa kita. Kita banyak belajar dari nilai-nilai dasar pada era Majapahit, untuk kembali ke tampuk kejayaan, sekaligus menjadi peajaran berharga dari peristiwa perpecahan internal yang dapat menjerumuskan ke jurang kehancuran.

Jika Indonesia sungguh-sungguh ingin kembali ke puncak kejayaan, mulailah berperilaku Pancasila. Tidak sekadar suara membahana, melainkan tindakan nyata. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.