Tahun 40 Hijriah tepatnya tanggal 21 Ramadhan, Ali bin Abi Thalib, sepupu, sahabat, sekaligus menantu tercinta Rasulullah SAW ini dijemput oleh syahidnya. Dua hari sebelum itu kepalanya ditebas pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam saat sedang menunaikan shalat subuh di masjid Jami’ Kufah. Ali sang putra Ka’bah, lahir di tempat suci, wafat pula dalam keadaan suci dan di bulan kudus penuh kemuliaan. Kalangan sejarawan Islam menyebut bahwa fragmen kesyahidan Imam Ali adalah wujud dari keimanan, cinta, keindahan, dan kerinduan yang tak terperikan pada Sang Pencipta. Jauh-jauh hari sebelum kejadian penyerangan itu, Imam Ali telah mengetahui detail akhir hayatanya, karena Rasulullah SAW sendiri yang langsung mengabarkan hal itu.
Alkisah, suatu hari Rasulullah SAW sedang berkhutbah tentang keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan. Dalam kesempatan itu Ali bin Abi Thalib menanyakan apa amalan terbaik di bulan suci tersebut. Dan dijawab oleh Rasulullah dengan perintah untuk bertakwa serta menjauhi maksiat. Tak diduga, seketika Rasulullah bersedih saat melihat wajah Ali bin Abi Thalib. Imam Ali yang menyadari perubahan gestur muka Nabi pun menanyakan sebab kesedihan beliau.
Sejurus kemudian Rasulullah SAW bersabda, Wahai Ali! Kesedihanku ialah karena penistaan dan kezaliman yang dilakukan orang lain terhadapmu di bulan (Ramadhan) ini. Aku seperti melihatmu sedang menunaikan shalat, lalu orang yang dilaknat masa lalu dan masa mendatang, yang tak lain saudara pembunuh unta Tsamud, menebaskan pedangnya mengenai kepalamu hingga mihrab dipenuhi darah.
Tak terlihat perasaan gusar ketika mengetahui kabar kesyahidannya. Yang Imam Ali khawatirkan adalah apakah ia dan agamanya akan selamat saat di akhir hayat. Rasulullah SAW pun mengatakan bahwa agama sang menantu sekaligus sepupunya tersebut akan terjaga dan selamat sembari menyatakan bahwa Ali adalah penerus beliau.
Ibarat pengantin yang menanti hari pernikahannya, demikianlah Imam Ali menunggu waktu kesyahidan menghampirinya. Saat Ramadhan 40 Hijriah tersebut, tiap harinya secara bergilir Imam Ali mendatangi kediaman putra-putrinya untuk berbuka dan sahur. Menjelang peristiwa tersebut putrinya, Ummu Kultsum mendapat giliran kunjungan dari sang ayah. Karena mengikuti Nabi, Imam Ali tak pernah makan sajian dalam dua nampan. Satu saja sudah cukup. Dan ketika itu, apa yang ia makan hanyalah sedikit dari roti kering yang disajikan putrinya untuk berbuka.
Ia paham betul kapan waktu syahid yang dijanjikan Rasulullah SAW. Malam itu Imam Ali begitu khidmat dan larut dalam munajat serta doanya sembari sesekali keluar untuk menatap langit, lain daripada hari biasanya. Seolah ia tengah berpamitan kepada semesta yang telah menjadi saksi pahit getir kehidupannya.
Prediksi Nabi itu pun terjadi. Setelah mata pedang mendarat di keningnya pada fajar 19 Ramadhan, Imam Ali berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, aku bahagia (berjaya)”. Ini merupakan rintihan kebahagiaan seseorang yang mendamba syahid serta perjumpaan dengan Tuhannya.
Abdurrahman bin Muljam, sang algojo, bukanlah orang asing. Keluarga Nabi telah lama mengenalnya, dan Imam Ali pun tahu bahwa ia yang kelak akan membunuhnya. Satu ketika, saat menyusuri lorong-lorong Kufah di malam hari, Kumayl bin Ziyad yang sedang menemani Imam Ali mendengar lantunan merdu ayat al-Quran dari masjid. Kemudian Imam Ali mengabarkan kepadanya bahwa pemilik suara merdu, fasih membaca ayat suci itulah yang akan menebas pedang di kepala Imam Ali saat shalat subuh.
Meskipun tahu persis siapa pelakunya, Imam Ali sadar betul bahwa suatu kejahatan yang belum dikerjakan, hukum tak dapat menindak. Sehingga ia tak bisa seenaknya menghakimi Ibnu Muljam. Yang kemudian dilakukan Imam Ali hanyalah menasihati dan mewanti-wanti Ibnu Muljam bahwa semestinya shalat yang ditegakkan seorang hamba bisa mencegahnya dari perbuatan fasik dan mungkar. Nasihat ini menyiratkan pesan, di mana tak semestinya seorang yang rukuk sujud apalagi fasih membaca al-Quran melakukan perbuatan nista, yakni membunuh saudaranya sendiri.
Dalam rukuk sujudnya yang panjang kala subuh itu, Abdurrahman bin Muljam mendekati Imam Ali. Baginya, Imam Ali adalah kafir karena dianggap tak berhukum dengan hukum Allah hingga layak dibunuh. Ia tahu persis bahwa ketika shalat Ali bin Abi Thalib tak pernah peduli pada apapun. Ia pun mulai mengayunkan pedang beracunnya ke kepala menantu Nabi tersebut. Dahi Imam Ali terkoyak. Darah deras mengalir. Bukannya berteriak pun mengerang, Imam Ali justru berucap Bismillah wa billah wa ‘ala millati Rasulillah.
Penduduk seantero Kufah berduyun-duyun mendatangi masjid Jami’ Kufah pasca mendengar kabar duka tersebut. Putra-putri Imam Ali pun tak kuasa menahan tangis melihat ayah tercintanya lemah bersimbah darah. Hati mereka remuk dan teramat sakit. Kepada anak-anaknya, Imam Ali mengatakan untuk jangan bersedih hati, meminta mereka untuk tetap tegar. Karena tak lain ia sedang menjemput bahagianya yang abadi. Rasulullah, Sayyidah Khadijah, serta Sayyidah Fathimah dan para bidadari tengah menyambut kedatangannya.
Dua hari setelah peristiwa nahas tersebut, pada 21 Ramadhan 40 Hijriah, Ali bin Abi Thalib seutuhnya meninggalkan dunia ini. Menyambut uluran tangan Rasulullah, kekasihnya tercinta. Setelah sebelumnya berpamitan pada keluarganya dengan berkata, “Astaudi’ukumullah jami’an. Aku mohon pamit pada kalian, semoga Allah menjaga kalian semua”. Kufah diliputi duka. Mereka kehilangan pemimpin dan sosok agung yang penuh cinta, ilmu, serta hikmah. Dalam beberapa malam, rumah-rumah keluarga Nabi gelap, karam dalam duka yang mendalam.
Meskipun telah dizalimi luar biasa, keadilan dan kasih tetap abadi dalam jiwanya. Imam Ali berwasiat pada putra-putri dan keluarganya untuk tidak menjadikan peristiwa pembunuhan dirinya sebagai alasan untuk menumpahkan darah kaum Muslimin. Yang layak menerima hukuman hanyalah pembunuhnya seorang. Itupun harus penuh dengan asas keadilan dan tanpa menyiksa.
Sebelum syahid, Amirul Mukminin menyampaikan, “Kematian bagiku bukanlah tamu yang tak diundang dan tidak dikenal. Antara diriku dengan kematian seperti orang yang kehausan mencari air, atau orang yang menemukan kembali barang bernilai yang pernah hilang.”
Ali bin Abi Thalib adalah manusia mulia. Akhlak Nabi terinterpretasi dalam dirinya. Sebagaimana Imam Ali yang tak gentar akan kematian, selaku umat Nabi Muhammad sudah semestinya kita selalu berupaya sebaik mungkin mempersiapkan diri untuk menunggu panggilan kematian, hingga tercipta konsep indah akan mati yang umumnya ditakuti.
Hal lain yang bisa dipetik ialah bahwa ahli ibadah, hafal al-Quran, dan semangat beragama yang tnggi saja tak cukup jika tidak dibarengi dengan penghayatan serat keterbukaan pemahaman akan ajaran Islam. Abdurrahman bin Muljam adalah contoh dari pembaca al-Quran yang bahkan tak sampai melewati kerongkongannya, seperti termaktub dalam hadis Nabi. Artinya, kalam Allah yang dibaca tak diresapinya sampai ke hati. Ia berpindah dari ayat ke ayat, tapi tetap tak mencegahnya dari perbuatan mungkar dan keji.
Sekali lagi, Ali telah lahir di Ka’bah suci, diasuh oleh tangan mulia Nabi, dan ribuan tahun lalu kesucian Ramadhan telah menjadi saksi kembalinya Imam Ali ke haribaan Tuhan. Shalawat dan salam semoga tercurah pada Rasulullah SAW dan keluarganya. Dengan penuh harap, semoga kita dapat senantiasa meneladani mereka. Wallahu a’lam. []