Puasa Melatih Kejujuran dan Ketulusan

KolomPuasa Melatih Kejujuran dan Ketulusan

Puasa merupakan ibadah dengan rentan waktu yang paling lama dibandingkan dengan ibadah wajib lainnya, seperti shalat dan haji. Puasa juga merupakan ibadah paling privat atau rahasia (sirriyah). Hanya seseorang yang berpuasa dan Allah sajalah yang mengetahui benar-benar menahan hawa nafsu dari segala hal yang membatalkan atau tidak.

Allah mewajibkan hamba-Nya berpuasa demi kemaslahatan hamba-Nya, bukan kepentingan-Nya, agar bersih dan suci dari seluruh dosa akibat perbuatan tercela, termasuk tidak jujur, kepura-puraan, dan curang. Ritual ibadah yang dianjurkan pada bulan puasa seperti tadarus dan tarawih juga melatih kita untuk tulus dan ikhlas dalam rangka menyucikan jiwa.

Dengan demikian, ibadah puasa adalah salah satu medium paling efektif untuk bersikap jujur dan tulus. Dalam situasi dan kondisi apapun, kita tidak bisa melakukan makan dan minum secara sembunyi-sembunyi, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kita lakukan. Kita pun harus jujur bahkan kepada diri sendiri.

Islam sendiri sangat menghargai nilai-nilai kejujuran dalam perbuatan. Sesuai dengan pesan Nabi Muhammad SAW, “Hendaklah kamu sekalian selalu jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawa ke Surga.” (HR. Bukhari-Muslim). Keyakinan bahwa segala aktivitas gerak kehidupan kita senantiasa dalam pengawasan Allah SWT, bukan tidak mungkin, puasa yang dilakukan selama bulan Ramadhan akan membentuk pribadi yang jujur dan tulus.

Tanpa kejujuran, agama mungkin bisa runtuh. Jika seseorang sudah terbiasa jujur, maka kebaikan akan meliputi ruang sekitarnya, seperti tidak korupsi, pungli, suap-menyuap dan penyimpangan-penyimpangan lainnya. Tentu saja apapun yang perbuat, dilandasi penuh ketulusan dan keikhlasan.

Kita semua perlu sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat yang hidup dari nilai keteladanan, sesuai dengan karakter norma sosial yang diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia. Bila kita senantiasa berkata jujur dan tulus dalam segala aktivitas, banyak manfaat yang akan dihasilkan secara konkret dan nyata. Apalagi kita di posisi pemerintah dengan beban penuh tanggung jawab kepada rakyatnya.

Bila pemerintah—atau dalam hal pekerjaan sebagai atasan—juga jujur, rakyat pun akan melakukan hal yang sama, seiya-sekata. Namun bila kejujuran itu dikhianati, mereka akan kecewa, dan melakukan hal yang sama dengan pemerintah atau atasannya. Karena sudah banyak fakta yang memperlihatkan bahwa mereka yang berkuasa, paling berbakat dan pandai berkelit dalam mencari peluang-peluang untuk mengelabui rakyat demi kepentingan perutnya sendiri.

Baca Juga  Belajar Patuh Pancasila dari Santri dan Pesantren

Tak dimungkiri, mungkin dalam diri kita pun karena memiliki suatu kuasa dan sedikit memiliki otoritas kewibawaan, kiranya juga tak terkecualikan dari godaan untuk tidak jujur itu. Apa yang membuat kita dapat terhindar dari perbuatan bohong dan tidak jujur? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kiranya perlu kita kembali pada hakikat puasa, yakni penyucian dan kebersihan. Termasuk penyucian hati.

Dalam kitab Al-Hikam (2019) Ibnu Atha ‘Illah as-Sakandari, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bahwa ucapan dari hati yang bersih, akan menorehkan kesan yang mendalam. Dalam kitab itu juga tertulis, setiap ungkapan yang terucap akan dibungkus oleh pakaian hati. Jika hati bersinar oleh cahaya, setiap ucapan yang keluar akan dibungkus oleh cahaya itu sehingga semua pendengaran tidak akan menolaknya dan seluruh hati tidak mengingkarinya.

Tolok ukur keberhasilan orang yang memiliki kepribadian baik adalah keteguhan dalam memegang etika kejujuran. Keutamaan-keutamaan etis, seperti kejujuran dan ketulusan ini terkandung dalam hakikat diwajibkannya umat Islam berpuasa penuh pada bulan Ramadhan. Di tengah situasi orang tidak jujur, kita harus memiliki pola pikir terbalik dengan terus berusaha untuk menjalani komunikasi dan interaksi yang jujur. Di tengah situasi masyarakat yang tidak tulus, kita harus senantiasa berupaya menjalani hidup penuh keikhlasan dan ketulusan.

Karena itu, sangat disayangkan bila kita membuat puasa tahun ini hanya sekadar rutinitas atau tradisi tahunan. Setelah bulan Ramadhan berlalu, kita tidak dapat memetik apa-apa dari apa yang kita jalani selama satu bulan penuh itu. Amat sia-sia. Apalagi sampai kembali pada perbuatan lama, kembali bohong, tidak jujur, selalu mencari keuntungan dan kepentingan pribadi.

Jika berpuasa didasari oleh ketulusan, keikhlasan, tentu buahnya juga kejujuran. Menjalani hidup dengan jujur, amanah, tulus, dan ikhlas, dipastikan ketenangan dan kedamaian akan meliputinya. Menjalani puasa dengan penuh ketulusan, tidak terpaksa tradisi atau lingkungan, tapi semata-mata ikhlas lilahi taala. Buahnya adalah kebaikan dunia dan akhirat kelak. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.