Ramadhan Bulan Kebangsaan

KolomRamadhan Bulan Kebangsaan

Ramadhan bagi umat Islam merupakan bulan penting. Ramadhan mengajarkan kita bahwa kenikmatan dunia hanya kefanaan. Dari Ramadhan kita belajar tentang kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan, apalagi di tengah krisis pandemi.

Uniknya, Ramadhan tidak saja menjadi bulan refleksi umat Islam, tetapi juga kita sebagai rakyat Indonesia. Dalam konteks Indonesia, bulan Ramadhan memiliki makna penting bagi bangsa ini. Sebab, bulan Ramadhan merupakan bulan di mana hari Kemerdekaan NKRI diproklamirkan. Karena itu, tidak mengherankan jika Ramadhan memiliki tempat istimewa tersendiri dalam sanubari bangsa.

Bahkan, dipilihnya tanggal 17 Agustus bukan karena semata-mata waktunya tepat, tetapi lebih kepada bahwa tanggal tersebut merupakan titik di mana kitab suci al-Quran diturunkan. Diceritakan, sebelum membacakan proklamasi pada tanggal tersebut, Bung Karno telah meminta saran dari beberapa ulama yaitu K.H Abdoel Moekti dari Muhammadiyah dan K.H Hasyim Asy’ari dari Nahdlatul Ulama. Setelah mendapatkan kepastian dan restu dari ulama, Bung Karno dengan ketetapan hati memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Karena itu, makna puasa patut menjadi perenungan bagi kita semua. Ini tidak semata-mata soal menjalankan ibadah, tapi lebih dari itu. Teks proklamasi ditulis pada sahur Ramadhan, kemudian dibacakan Bung Karno ketika sedang menjalani ibadah puasa.

Makna puasa menjadi sangat besar. Selain sebagai ibadah yang wajib bagi umat Islam, juga karena momentum itu terkait dengan perjuangan rakyat dan bangsa ini untuk mencapai kemerdekaan. Sudah sepatutnya kita berbangga dengan bulan Ramadhan terutama untuk mengingatkan kita tentang arti perjuangan membawa negara kepada kemaslahatan umat.

Sentimen rakyat yang terus meluap dan berapi-api menjelang proklamasi di saat bulan Ramadhan waktu itu, sangat dipengaruhi terhadap sektor sosial dan spiritual, serta kemiskinan, penghinaan, kelaparan, dan penderitaan yang dialami selama masa pendudukan Jepang. Sentimen macam itu juga terbit lantaran meningkatnya krisis dan harapan.

Baca Juga  Penyalahgunaan Terminologi Islami

Dalam pengantarnya di buku Violence and the State in Suharto’s Indonesia (2001), Benedict Anderson mengatakan, penting diperhatikan bahwa revolusi Indonesia tidak muncul dari negara baru yang lemah, tetapi dari masyarakat yang sangat terpolitisasi, teradikalisasi, dan termiskinkan.

Sementara menurut Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2009), ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, ada keterikatan elite yang kokoh dengan gagasan negara yang merdeka. Akan tetapi, tidak ada kesepakatan yang jelas ihwal nilai-nilai apa yang diutamakan pada negara merdeka itu dan bagaimana negara itu akan menangani pelbagai pilihan ideologi.

Memang, terburu-buru dan belum tuntasnya pertimbangan tersebut terungkap pada pengakuan Sukarno bahwa Undang-Undang Dasar yang digunakan adalah undang-undang dasar kilat dan janjinya tentang konstitusi “yang lebih lengkap dan sempurna” di masa depan.

Namun, Proklamasi kemerdekaan RI yang terjadi pada 9 Ramadan 1334 Hijriah itu adalah titik kulminasi gagasan, tekad, dan perjuangan. Bahkan, proklamasi diikuti dengan pecahnya revolusi di berbagai daerah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Dari sini kita dapat melihat betapa perjuangan rakyat begitu gigih mempertahankan kedaulatan bangsa, apalagi hal ini terjadi di tengah bulan Ramadhan. Karena itu, tidak berlebihan jika Ramadhan dalam konteks Indonesia disebut pula bulan kebangsaan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.