Ramadhan dan Introspeksi Dakwah

KolomRamadhan dan Introspeksi Dakwah

Islam yang dibawa oleh para pendakwah ke Bumi Nusantara adalah Islam yang ramah, santun, dan kompromistis dengan cara mengakomodir kebudayaan dan tradisi kearifan lokal. Sebelum Islam datang, kebudayaan dan tradisi lokal di Nusantara, hampir tidak dapat digeser karena sudah mapan dan berperadaban. Kecerdasan strategi dakwah Islam dengan cara-cara persuasif inilah yang diwarisi oleh Nabi Muhammad SAW.

Sayangnya, banyak pendakwah yang tidak memahami esensi dari dakwah Islam (fiqhud dakwah). Fiqhud dakwah berarti menampilkan wajah Islam rahmatan lil alamin, sebagaimana keberhasilan dakwah para Wali Songo dahulu. Jadi, para pendakwah dulu terlebih dahulu memahami corak, karakter, dan kultur sosial masyarakat setempat yang akan didakwahi.

Secara harfiah, dakwah berarti mengajak. Pada tataran praktiknya, sebagian pendakwah kita hari ini bukan sedang berdakwah, tapi amar ma’ruf atau memerintah. Da’i, ustadz, atau mubaligh yang berdakwah berarti secara aktif terlibat dengan apa yang didakwahinya kepada orang lain. Misalnya, saya hendak pergi mencari takjil dengan menggunakan kendaraan bermotor untuk berbuka puasa atau sedang dalam perjalanan menuju tukang martabak, lalu tiba-tiba saya bertemu dengan saudara di tengah jalan, secara otomatis saya menawarkan jasa atau ‘mengajak’ dia. Berbeda dengan ‘memerintah’ atau ‘menyuruh’, boleh jadi saya tidak terlibat aktif dalam tindakan mencari takjil itu tadi.

Mengajak yang juga berbeda dengan memerintah berarti mengajak menempatkan diri kira-kira setara. Hubungan antara yang mengajak dengan yang diajak melalui pendekatan persuasif, dan bukan bersifat perintah atau instruksi. Karenanya sangat berbeda dengan memerintah atau menyuruh yang dalam istilah lain disebut juga ‘menyampaikan’ atau tabligh. Pendakwah dituntut melakukan hubungan dialogis. Pendakwah tidak bisa mendikte dan mendominasi para jamaahnya.

Dengan begitu, praktik para da’i, ustadz, dan mubaligh yang ceramah di tengah masyarakat, pada dasarnya masih jauh dari sifat dakwah atau ajakan. Masih banyak bersifat suruhan (amar) atau paling tidak penyampaian (tabligh). Bukan berarti tabligh dan amar tidak berarti, akan tetapi masing-masing memiliki pola dan pendekatan yang berbeda, yang tidak bisa dicampur aduk begitu saja.

Karena dakwah menurut al-Quran, harus menggunakan metode dakwah bi al-hikmah. Yakni, dengan kebijaksanaan, dengan melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga objek yang didakwahi berusaha melaksanakan dakwah bukan karena ada tekanan atau terpaksa, tapi karena kemauan yang muncul dalam diri.

Meski begitu, dakwah dengan pendekatan apapun, targetnya tetap membentuk kepribadian yang berbudi luhur atau al-akhlaq al-karimah. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, Innama bu’itstu li ‘utammima makarim al-akhlaq, yang berarti, Aku diutus oleh Allah tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak.

Baca Juga  Tokoh Intelektual NU: Pemikiran Moderat NU Harus Mendunia

Dalam membentuk karakter atau akhlak, menurut Kiai Masdar F. Masudi dalam bukunya Membumikan Agama Keadilan (2020), terbagi dua. Yang pertama bersifat pribadi atau individual dan yang kedua bersifat sosial, karena manusia adalah makhluk sosial. Bersifat individual disebut juga berakhlak mulia yang antara lain: jujur, berani membela kebenaran, teguh pada janji, suka menolong, menghargai sesama, pekerja keras, dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat sosial, mereka bercirikan demokratis, toleran, berkeadilan, transparan, memiliki kepedulian orang banyak, khususnya bagi yang lemah dan seterusnya.

Dengan demikian, kesalehan individual dan kesalehan sosial ini menjadi seimbang. Karena memang jika kita amati, sebagian pendakwah kita lebih fokus mengembangkan kesalehan individual, sehingga kesalehan sosial yang juga urgent dalam era yang modern sekarang ini. Dakwah untuk mengembangkan kesalehan dan solidaritas sosial yang lebih dibutuhkan, masih kurang dan belum banyak yang menyeru.

Atau bahkan justru kesalehan individual pun semakin terkikis, seperti kejujuran, berpegang teguh pada janji, suka menolong, dan seterusnya. Kita sudah jauh bergeser dari jalan dakwah yang seharusnya. Sebagian pendakwah kita justru lebih fokus pada dakwah formalistik yang bersifat kosmetik luaran dan simbolis. Yang tampak adalah atribut lahiriah yang semu. Sementara sikap dan perilakunya masih jauh. Atau malah justru sikap dan perilakunya cenderung mendikte, sinis, dan merendahkan orang lain, seolah-olah dia saja paling benar dan saleh sejagat raya. Malah dakwah seperti ini yang makin keblinger dalam beragama.

Semangat agama yang berkobar-kobar, dibimbing pendakwah yang kurang memiliki strategi dakwah yang bersifat persuasif, yang timbul hanya emosional keagamaan. Hasilnya adalah banyak orang yang beragama, tapi intoleran, radikal, dan tidak menghormati atau menghargai orang lain. Oleh sebab itu, pendakwah perlu memiliki pendekatan dan strategi dakwah yang lebih konkret untuk membuka kesadaran umat sekaligus membaca tantangan-tantangan masa depan.

Barangkali itulah fenomena dakwah kita hari ini. Momentum Ramadhan tahun ini, perlu kita introspeksi lagi makna dari dakwah. Sekali lagi, dakwah itu merangkul bukan memukul; dakwah itu mengajak, bukan menyuruh; dakwah itu membuat masyarakat berdaya, bukan terpedaya. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.