Kebahagiaan Orang Berpuasa

KolomKebahagiaan Orang Berpuasa

Pasca sebelas bulan umat Muslim relatif mendapati kebebasan mengoperasikan alat inderanya, di bulan Ramadhan mereka diperintahkan untuk menjalankan puasa. Praktisnya kita harus mengendalikan dan mendidik segala macam hawa nafsu, baik lahir maupun batin di bulan suci ini. Bukan hal yang mudah memang menjinakkan nafsu setelah sebelumnya merasakan kelonggaran dalam waktu yang relatif lama. Sekalipun berat, tapi jangan pandang puasa sebagai sesuatu yang memberatkan hingga merasa terpaksa dalam menjalankannya. Sudah barang tentu ada kebaikan yang dijanjikan Allah SWT. Bagi yang tulus penuh keimanan dalam berpuasa, baginya kebahagiaan dari Tuhan.

Dalam penggalan suatu hadis qudsi Allah menyatakan bahwa, Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; saat berbuka ia gembira, ketika bertemu Tuhannya ia juga bergembira karena puasanya. (HR. Bukhari). Dua kegembiraan agung tersebut meliputi suka cita yang disegerakan di dunia dan yang ditangguhkan kelak di akhirat.

Kebahagiaan ketika tiba waktu berbuka mengandung dua makna. Pertama, secara alamiah seorang yang berpuasa memang akan merasa gembira ketika diperbolehkan kembali menikmati sesuatu yang disenangi, seperti makan, minum, dan yang sejenisnya. Dalam kondisi demikian, rasa bahagia yang hadir setelah kepayahan yang dialami, akan menyentil kesadaran kita untuk bersyukur dan memuji Allah. Rasa lapar, haus, dan keletihan fisik yang kita rasakan menyadarkan diri bahwa hanya Allah yang Maha Kuat dan Maha Pemberi Nikmat.

Singkat kata, rasa bahagia alamiah setelah menjalani proses menahan nafsu diharapkan dapat menjadikan kita hamba penuh syukur. Allah sangat senang pada hamba-Nya yang gemar bersyukur, seperti yang Nabi sabdakan, Sungguh Allah senang dengan hamba yang makan makanan, memuji-Nya untuk itu, meminum minuman, dan memuji-Nya untuk itu.

Kedua, kebahagiaan saat masuk waktu buka dimaknai sebagai rasa bahagia seorang mukmin karena ia telah menyempurnakan ketaatannya pada Allah dengan berpuasa. Dalam ketaatan sungguh terdapat kenikmatan. Mukmin yang menyadari keberadaan iman di kedalaman hatinya, kebahagiaan mereka karena ketaatan pada Tuhannya akan lebih besar, daripada kebahagiaan karena memperoleh harta dunia. Mereka tahu bahwa ganjaran ketaatan itu pasti, baik di dunia maupun akhirat. Oleh sebab itu, seseorang yang paling sempurna kebahagiaannya di momen berbuka adalah mereka yang betul menjaga puasanya dari hal yang bisa merusak puasa serta ganjarannya.

Puasa mengandung makna batiniah. Saat maghrib tiba, orang puasa mulai menghirup aroma kegembiraan. Ternyata, maghrib adalah waktu di mana Nabi Adam alaihissalam bertobat. Sekali lagi, buah ketaatan, kesadaran diri akan dosa, dan pertaubatan adalah kebahagiaan. Menurut seorang sufi, al-Qadhi Sa’id al-Qummi, perjalanan hidup manusia adalah cerminan dari apa yang terjadi pada Nabi Adam.

Setelah Nabi Adam melanggar aturan Allah, dampak dari dosa yang dilakukannya bertahan selama tiga puluh hari di dalam perut Adam, seperti yang disebut dalam suatu hadis. Sebab itulah, Tuhan mensyariatkan puasa selama satu bulan lamanya untuk menyucikan umat manusia dari kerak dosa-dosanya. Sebagaimana Adam yang bertobat di waktu maghrib, maka anak cucunya pun diizinkan untuk berbuka di waktu yang sama ketika Bapak umat manusia melangitkan doa pada Tuhannya. Itulah mengapa saat berbuka adalah waktu yang utama untuk berdoa.

Baca Juga  Syekh Abdul Qadir al-Jilani: Bencana Datang Untuk Menguji Keimanan

Kebahagiaan selanjutnya yang akan diperoleh orang puasa ialah kegembiraan ukhrawi kelak saat berjumpa dengan Tuhannya. Hal ini berkaitan erat dengan pahala puasa yang hanya menjadi hak Allah. Ganjaran itu tersimpan, terlindungi, dan tak berkurang, karena puasa memiliki keistimewaan. Tak seperti pahala ibadah lain, ganjaran puasa seseorang tak dapat dijadikan sebagai tebusan dosa atas kezaliman yang dilakukan pada orang lain kelak di hari kiamat. Seorang mukmin akan mendapati bahwa pahala puasa ini ia butuhkan, sebab ganjarann itu tetap, tersimpan dan akan mengantarkannya pada kebahagian di sisi Allah SWT.

Satu balasan kebahagiaan ukhrawi barangkali bisa kita cermati dari sabda Rasulullah SAW yang dicatat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya. Bahwasanya Allah menyediakan satu pintu surga khusus bagi orang-orang yang puasa. Sebagai wujud pemuliaan Allah terhadap hamba-Nya yang tulus dan taat menjalankan ibadah puasanya.

Adapun penggalan hadis tersebut ialah, Dalam surga ada satu pintu yang disebut al-Rayyan, di mana pada hari kiamat akan dilewati oleh orang-orang yang berpuasa, tidak akan ada seorang pun yang melewati pintu itu selain mereka. Apabila mereka telah masuk semuanya, maka pintu itu ditutup dan tidak akan ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.

Ditambahkan dalam riwayat lain, bahwa seseorang yang telah melewati pintu tadi ia akan dijamu minuman, yang mana setelah meminumnya ia tak akan merasa haus selamanya. Di antara keadaan orang yang berpuasa ialah menjauhkan diri dari segala yang dilarang Tuhan, menanggalkan perhiasan duniawi, mengingat kematian, serta mengharapkan kebaikan akhirat. Demikianlah sebenarnya hari raya dan kebahagiaan orang puasa di hari pertemuan dengan Tuhannya.

Pada dasarnya, kebahagiaan yang agung tersebut hanya dapat dicapai dengan ketaatan dan pendekatan diri pada Allah. Dengan berpuasa penuh keimanan pada Allah, ketulusan, serta penghayatan. Segala bentuk taufik untuk berlaku taat serta berbuat kebaikan adalah pertanda atas perkenan Tuhan pada hamba-Nya. Sebaliknya, seseorang yang bermaksiat dan jauh dari kepatuhan akan didera kesedihan, karena Tuhan sedang menghukumnya dengan mengambil jiwa keberagamaannya.

Dengan demikian, seseorang yang berhasil menikmati kegembiraan dalam berpuasa, dia telah mengantongi ridha Tuhannya. Karena dalam puasa, manusia diingatkan bahwa ia telah memilih Tuhan di atas hawa nafsunya demi mencapai tujuan di seberang wujud material, yakni kebahagiaan. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang dapat memetik suka cita puasa. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.