Puasa, Momentum Penyucian Hati

KolomPuasa, Momentum Penyucian Hati

Sudah datang lagi bulan Ramadhan, bulan mulia karena rahmat Allah dilipatgandakan. Ramadhan suci karena turunnya al-Quran pada suatu malam. Umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan puasa dengan menahan rasa lapar dan dahaga. Akan tetapi, saat itulah rohaniah manusia disucikan dengan nilai-nilai spiritual. Jiwa kemudian menjadi bersih.

Bulan yang suci bersih bertemu dengan jiwa yang suci dan hati yang bersih dari penyakit hati, akan membuahkan spiritual yang luar biasa. Maka hendaknya kita jadikan momentum bulan puasa untuk membersihkan jiwa, dan mensucikan hati. Karena puasa memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Hubungan kita menjadi sangat pribadi dan intim dengan Allah SWT.

Kita mengetahui bahwa amaliah lain sudah pasti dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Lain dengan puasa. Pahala puasa, Allah SWT sendiri yang akan memberikan ganjarannya. Tidak akan bisa kita bayangkan besarnya pahala yang diberikan Allah SWT pada orang-orang yang berpuasa. Karena itu, momentum penyucian hati dengan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT menjadi suatu keharusan bagi seluruh umat Islam pada bulan Ramadhan.

Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan kepada kaum Muslim agar mereka bertakwa. Dengan takwa, Allah akan memudahkan segala urusan kita, permasalahan jadi mudah untuk dipecahkan, dosa dan kesalahan kita akan diampuni, dan seterusnya. Ketenangan, kesabaran, dan kekhusyukan beribadah, akan membebaskan hati kita dari belenggu hawa nafsu.

Karena puasa tidak hanya sekadar menahan rasa lapar atau tidak makan dan haus tidak minum. Menahan rasa lapar dan dahaga hanya sebagai sarana latihan kita untuk menahan segala sesuatu yang tidak bermanfaat pada hal lain. Tentu menahan lapar dan dahaga ini diniatkan karena Allah, lillahi ta’ala. Itulah mengapa saya sebut puasa itu tengah menjalin hubungan sangat intim dengan Allah.

Kita bisa saja secara sembunyi-sembunyi pergi ke warung makan, makan dengan menu semur jengkol ditambah paha ayam dengan sambal terasinya. Minuman es teh manis atau es jeruk asem manis yang menambah kenikmatan dan kepuasaan saat semua orang tengah kelaparan dan kehausan karena puasa. Namun, puasa kita diniatkan karena Allah, maka hal itu tidak akan pernah terjadi, karena Allah selalu mengawasi kita, tanpa ruang dan waktu.

Orang beriman tidak akan berdusta, bahkan kepada diri sendiri. Dengan berpuasa, umat Islam dilatih untuk menjaga hati dan menjadi kuat dalam segala hal. Seorang Mukmin sejati, dapat mengatasi sifat dan nafsu kebinatangan dalam diri sehingga tidak akan mudah tergiur untuk memakan hak orang lain dan menindas mereka yang lemah.

Karena puasa tidak datang setiap waktu. Waktu istimewa hanya datang satu kali dalam satu tahun. Momentum ini jangan sampai kita lewati dengan kebiasaan yang biasa saja sebagaimana hari biasanya, Bulan Ramadhan menjadi medan latihan untuk belajar ikhlas, jujur, sabar, khusyu dan membersihkan hati dari hal-hal yang bersifat duniawi. Sederhananya, puasa harus mampu menahan sikap amarah kalau memang ada yang membuat kita marah, menahan mulut agar tidak berkata tidak baik, dan menahan syahwat jangan sampai lepas kendali.

Baca Juga  Piagam Madinah dan Kemaslahatannya

Jika pada hari biasanya, kita lebih fokus perhatian dan kepentingan pada hal-hal lain yang bersifat pribadi, maka pada saat berpuasa kita berusaha sekuat tenaga mencurahkan perhatian kepada Allah. Bukan untuk kepentingan Allah, melainkan untuk kita, untuk menyucikan hati kita sendiri. Proses berpuasa ini yang mengantarkan seorang Muslim yang dapat memiliki karakter ihsan.

Jika iman adalah landasan spiritual, Islam adalah bukti pengejewantahan terhadap keimanannya, maka martabat ihsan adalah martabat tertinggi yang menjadi puncak pengabdian kepada Allah (Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, 2017: 237). Demikianlah seseorang dengan dasar sucinya hati dan spiritual sejati. Semua doanya akan terkabul. Permintaan apapun akan segera terpenuhi.

Imam al-Ghazali membagi beberapa tahapan maqam seorang Mukmin dalam penyucian hati dan pembinaan akhlak. Terdapat tujuh tahapan yang populer itu, yakni maqam tobat, warak, zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan ridha. Tobat dalam pengertian ilmu tasawuf, bukan sekadar meninggalkan perbuatan dari dosa. Lebih dari itu, ia lebih banyak lupa atau lalai mengingat Allah. Inilah yang menjadi sumber dari dosa. Jadi, tobat adalah kehidupan lama yang terlena dan lalai mengingat Allah beralih ke kehidupan baru yang senantiasa mengingat-Nya dan dekat hatinya dengan Tuhan.

Kemudian warak, yakni mencari sesuatu yang jelas kehalalannya (thalabul halal), dan menjauhkan diri dari hal-hal syubhat (samar antara halal atau haramnya). Selanjutnya zuhud, yakni tidak tertarik terhadap duniawi, meski hal itu jelas kehalalannya. Kemudian meningkat ke maqam fakir, yakni selain tidak menginginkan dunia, dan siap menerima jika harus tidak memiliki apa-apa.

Dari maqam fakir yang telah mengalami cobaan penderitaan dan tidak memiliki apa-apa, sehingga ia akan meningkat menuju maqam sabar dan menerima apapun. Pada tahap ini, ia akan terus bertawakal dan selalu dekat dengan Allah, pasrah dan berserah diri sepenuhnya, bagaikan jenazah dihadapan orang yang memandikan dan mengkafani. Setelah maqam tawakal, seseorang berusaha untuk meningkat ke maqam ridha, yakni tidak hanya tenang menerima berbagai penderitaan, tapi juga senang hati dengan segala cobaan dan ujian yang datang.

Dari tujuh maqam di atas, jelas bahwa semua itu berkenaan dengan etika dan budi luhur yang akan membersihkan hati kaum Muslim. Oleh karena itu, momentum puasa tahun ini, upaya penyucian hati menjadi penting untuk menghambat kinerja nafsu yang serakah terhadap hal-hal negatif. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.