Tiga Faktor Maraknya Kekerasan Atas Nama Islam

KolomTiga Faktor Maraknya Kekerasan Atas Nama Islam

Islam lahir di tengah Padang Sahara dengan iklim panas menyengat. Di wilayah masyarakat badui nomad kesukuan yang kuat, dirundung pertengkaran hebat, tradisi peperangan, dan berebut kuasa. Semua itu berubah total setelah datangnya Islam. Era kebodohan berganti menjadi era pencerahan. Kegelapan berubah menjadi kilauan cahaya. Persatuan, keselamatan, dan perdamaian memancar terang di seluruh penjuru kawasan.

Kalau saja Nabi Muhammad SAW. membawa risalah kekerasan, tentu hasil akhirnya akan lain. Islam tidak akan menyebar ke seantero sudut bumi. Termasuk ke wilayah Timur Jauh di Nusantara ini. Agama penata hati yang lembut dan damai inilah kebenaran Islam yang sesungguhnya. Jalan damai yang mempersatukan pelbagai etnis, ras, warna kulit, kaya miskin, dan sebagainya itu yang membuat banyak orang berbondong-bondong dengan bangga memeluk Islam.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, fenomena kekerasan atau teror yang terjadi belakangan ini, selalu diidentikkan dengan Islam? Jawabannya sudah barang tentu tidak benar. Sepanjang sejarah, Islam tidak mengenal kekerasan, apalagi sampai melukai dan membunuh. Bahkan justru Islam sangat tegas melarang perilaku tindak kekerasan. Hanya saja, para oknum teroris menggunakan Islam sebagai alat legitimasi demi tujuan-tujuan biadab mereka. Meski mereka sendiri menganggap teror mereka bertujuan mulia dan suci.

Hal inilah yang membuat orang-orang Barat dan masyarakat luas takut sekaligus antipati terhadap Islam. Terorisme, anarkisme, bom bunuh diri, dan hal-hal negatif ini selalu dikaitkan dengan Islam. Kesan dan kecurigaan ini tentu sangat merugikan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi etika, akhlak, dan adab sosial yang rahmatan lil alamin, yang telah direduksi oleh penganut teologi kekerasan. Di sini saya sedikit menganalisa bahwa setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorong pihak-pihak Muslim garis keras melakukan serangan teror dengan mengatasnamakan Islam.

Yang pertama faktor doktrin. Sejumlah ayat al-Quran dan hadits berbicara tentang jihad, perang, tegaknya kebenaran, dan seterusnya yang merupakan ayat-ayat suci yang dijustifikasi kekerasan dengan melepaskan dari segi konteks. Konteks moralitas dan nilai-nilai kebaikan diabaikan sehingga ayat-ayat tersebut dimanifestasikan secara sembrono. Hasilnya adalah kerusakan yang jauh dari kandungan nilai positif dari ayat tersebut.

Dalam hal ini, peran ulama tafsir amat menentukan dalam ijtihad dikontekstualisasikan di era kekinian. Sebab al-Quran tidak serta merta berbicara sendiri. Ayat al-Quran yang tertulis itu bergantung pada para pembacanya. Makin berwawasan dan berpengetahuan pembacanya, makin luas pula maknanya. Demikian sebaliknya, semakin tidak berpengetahuan seorang pembaca al-Quran, semakin sempit makna yang terkandung di dalamnya.

Sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Al-Quran hanya berbicara melalui pembacanya (manusia).” Karenanya, semangat membaca ayat al-Quran maupun hadits, harus diiringi niat, nilai-nilai moralitas, dan wawasan para pembacanya.

Menyambung yang di atas, Khaled M. Abou el-Fadl dalam bukunya Atas Nama Tuhan, mengkritik beberapa ulama dan komunitas pemberi fatwa hukum yang dianggapnya telah mengebiri Tuhan dan teks lantaran mereka membuat klaim kebenaran wacana agama yang bersembunyi di balik fatwa yang dianggap absah menggantikan otoritas Tuhan. Sebagai gantinya, Khaled menawarkan teori interpretasi berbasis negosiasi antara penggagas, teks dan pembaca yang dapat membuat tafsir dan hukum dalam Islam menjadi kontekstual dengan konteks (Dr. Aksin Wijaya, 2019: 300).

Ayat al-Quran dan hadits yang berbicara perang, jihad dan lainnya itu, sering menjadi kredo yang dikutip sebagai pembenaran tindakan ekstrem mereka. Siapa lawan, siapa kawan. Ayat itu juga dipahami secara hitam-putih. Halal-haram, kafir-Muslim, surga-neraka, dan seterusnya. Tafsir semacam itu, menghasilkan doktrin-doktrin sempit, yang menjadi antitesis bagi segala kebaikan alam semesta.

Ayat dan hadits yang dipahami secara sempit itulah yang mendorong sebagian kaum Islamis esktrem pergi berjihad. Yang amat disayangkan adalah ayat dan hadits yang, lebih berbicara banyak tentang cinta, kasih sayang, perintah berbuat adil, peduli lingkungan, menyantuni janda dan anak yatim, musyawarah, bersikap ramah terhadap semua makhluk Allah, menjalin persaudaraan, dan membangun perdamaian, tidak ditonjolkan. Bahkan cenderung dicampakkan. Jelas ini merupakan kerugian besar bagi dakwah Islam inklusif yang sepanjang sejarahnya telah mengukir banyak prestasi gemilang dengan menjadi peradaban besar bagi dunia.

Kemudian faktor yang kedua adalah sisi politik. Kepentingan-kepentingan untuk meraih kekuasaan yang bersifat keduniawian ini, seringkali menggandeng agama sebagai alat meraih kuasa politik. Wilayah politik dengan melegitimasi agama, menjadi kekuatan besar yang meyakinkan. Era Khulafaur Rasyidin menandai awal mula konflik politik. Puncaknya adalah terbunuhnya khalifah ke-3, Sayyidina Utsman bin Affan dengan apa yang disebut sebagai al-fitnah al-kubra al-ula (malapetaka besar yang pertama).

Baca Juga  Membangun Peradaban dengan Akhlak Nabi, Bukan yang Lain

Konflik politik semakin tumbuh besar ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib memimpin. Banyak sejarawan menulis bahwa sekte Khawarij adalah sekte gerakan teologis sekaligus gerakan politik yang pertama kali menorehkan sejarah ekstremisme kekerasan. Peristiwa tahkim atau arbitrase antara kelompok Imam Ali dan Muawiyyah, tidak disetujui sekte Khawarij. Kaum Khawarij menganggap hukum itu tidak sesuai dengan hukum dan doktrin teologi Allah. Sekte Khawarij ini yang akan menimbulkan masalah-masalah lebih besar selanjutnya.

Pada perkembangan modern saat ini, politik kekuasaan menjadi pintu masuk utama bagi teologi ekstrem atau neo-Khawarij. Para politisi memanfaatkan “ulama dan ustadz” yang mudah tergiur oleh uang untuk mencari dalil-dalil dan tafsir yang memperkuat kepentingannya. Contoh sangat nyata adalah pada kasus pemilihan gubernur DKI Jakarta. Tafsir yang diolah sedemikian rupa seolah mereka adalah juru bicara Tuhan.

Dengan menggunakan ayat dalam al-Quran Surat al-Maidah, mengakibatkan tersungkurnya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kontestasi kekuasaan. Peristiwa pada tahun 2016-2017 yang menghebohkan itu, menjadi gejala sebagian kecil umat Islam yang intoleran, sekaligus mendorong banyak kelompok radikal untuk bergabung dalam teologi kekerasan. Begitulah, wilayah teologi diseret ke ranah politik yang sarat akan kepentingan.

Peristiwa bom Bali, bom bunuh diri di Surabaya, di gereja katedral Makassar, serta peperangan-peperangan yang terjadi di Timur Tengah merupakan fenomena berdasarkan spirit keagamaan yang disalahgunakan. Teologi yang bercampur dengan politik, menampakkan wajah agama yang mengerikan, yang berlumuran darah.

Selanjutnya yang ketiga, yakni segi sosial-ekonomi dan budaya. Teori sosiologi menyatakan bahwa setiap perubahan yang terjadi pasti menghasilkan korban. Termasuk perubahan budaya yang menimbulkan kelas dan kesenjangan sosial. Di mana masyarakat tertentu semakin mendapat keuntungan, dan masyarakat lainnya terus mengalami kerugian. Di sini, banyak para pemuka agama merasa terpinggirkan karena perannya atas kendali masyarakat mulai diambil alih oleh para elite global dan digital teknologi.

Pada akhirnya, banyak orang-orang miskin memberontak dengan memendam rasa kebencian yang mendalam, mengangkat senjata, dan mengumpat siapapun yang bertentangan dengan dirinya—terutama semua instrumen yang berkaitan dengan pemerintah, seperti aparat kepolisian—sembari menantikan keyakinan akan datangnya “Satria Piningit” atau “Ratu Adil” atau Imam Mahdi sebagai khalifah yang akan menegakkan khilafah Islamiyyah di bumi Allah.

Bahkan tidak hanya orang miskin, banyak kalangan berpendidikan dan berkecukupan sekalipun, terpapar gerakan politik ekstrem yang dicampuradukkan dengan doktrin dan dogma agama yang berlebihan ini. Dalam kondisi semacam ini, ditambah ideologi dan konflik yang diimpor dari Timur Tengah, menjadi sebuah gerakan terorisme yang mengerikan di negeri kita.

Indahnya kebaikan, kedamaian, dan persaudaraan serta hidup mulia dengan membangun cita-cita kesejahteraan, tidak dapat membendung arus keterlibatan oknum dalam gerakan ekstrem itu. Mereka terjebak dalam delusi mati syahid atau masuk surga dengan dipenuhi bidadari sebagai jalan pintas mencapai tujuan.

Banyak kesalah-kaprahan dalam keberagamaan kaum Muslimin pada khususnya berawal dari ke-kurang-pahaman terhadap agama yang dipeluk dan seringkali tidak imbang dengan semangat keberagamaan yang berkobar-kobar (A. Mustofa Bisri, Agama Anugerah Agama Manusia, 2017: 8-9). Spirit beragama adalah hal positif, tapi juga perlu dibarengi pemahaman agama yang lebih berwawasan luas. Salah satunya bisa memilah ustadz dan ulama yang ramah, santun, dan nasionalis dalam berdakwah. Baik di media sosial, maupun di pengajian-pengajian majelis taklim.

Karena itu, peran ulama, politikus, dan pejabat pemerintah perlu mengkaji ulang secara serius dalam bentuk gerakan antikekerasan dan pencegahan dini. Pendidikan multikultural, pemberdayaan pesantren, penguatan wawasan kebangsaan, penegakkan dan supremasi keadilan dibidang hukum, serta peningkatan kesejahteraan ekonomi kerakyatan, harus menjadi hal fundamental bagi masyarakat.

Dakwah yang menyajikan agama dan doktrin yang lebih toleran, ramah, dan santun, harus dikedepankan sehingga tiga faktor yang menyebabkan tumbuh kembangnya kekerasan mengatasnamakan Islam, dapat segera dihilangkan. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.