Peran Ayah dalam Mendidik Anak Menurut Al-Quran

KolomPeran Ayah dalam Mendidik Anak Menurut Al-Quran

Dari sekian banyak panduan menjadi orang tua yang baik, ibu memiliki literatur terbanyak ketimbang ayah. Padahal, beberapa kesempatan sosok ayah ditampilkan dalam al-Quran lebih menonjol daripada peran ibu. Oleh karena itu, penting mengkaji al-Quran secara komprehensif agar memberi ranah baru bagi pemikiran masyarakat, bahwa mendidik anak tidak hanya menjadi tugas ibu, tetapi ayah juga memiliki peran signifikan yang tak bisa terabaikan.

Uniknya, al-Quran merupakan salah satu dari literatur yang sedikit itu. Literatur yang mengukuhkan, bahwa sosok ayah dalam perkembangan mendidik anak selalu penting untuk diikut sertakan. Sebagaimana dalam kitab suci, kita cukup familiar dengan beberapa sosok ayah yang tengah mendidik anaknya dengan kasih sayang dan kehati-hatian. Namun, pada penjelasannya al-Quran mengemas konsep peran ayah dalam mendidik anaknya ini dengan alur cerita, hingga pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah dicerna. Adapun tokoh yang memerankan diri sebagai ayah dalam mendidik anak menurut al-Quran, di antaranya Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi Nuh, Syu’aib, dan Luqman.

Ayah yang berperan sebagai kepala keluarga, tak terkecuali terhadap anaka-anaknya, ia bertanggung jawab secara penuh untuk melindungi keluarganya dari siksa api neraka (QS. At-Tahrim: 6). Itu sebabnya, para nabi yang dikisahkan dalam al-Quran perintah utamanya, yakni mengukuhkan keimanan. Pertama, saat Tuhan menguji Nabi Ibrahim dengan mimpi agar diperintahkan menyembelih Nabi Ismail, Nabi Ibrahim mencoba berdiskusi dengan Nabi Ismail bagaimana pendapatanya, Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.. (QS. As-Shafat: 102).

Berdasarkan ayat di atas, bisa diambil pelajaran jika Nabi Ibrahim menyebut anaknya dengan panggilan, ya bunayya (hai anakku), sebuah sebutan yang menunjukkan kasih sayang dan menjadi pembuka yang baik untuk memulai suatu percakapan. Selain itu, sosoknya yang demokratis, memberanikan Nabi Ibrahim mengungkapkan kegelisahannya dengan mengajak berdialog, yang artinya di sini Nabi Ibrahim tidak semerta-merta langsung mengeksekusi sepihak, walaupun itu perintah Tuhan yang tak bisa dinegosiasi.

Kedua, kisah Nabi Syu’aib yang diduga kuat para mufassir selaku ayah dari kedua putri yang diabadikan dalam al-Quran surat Qashash ayat 26-27. Pada ceritanya, ketika kedua putri Nabi Syu’aib tengah mengantri lama mengambil minum untuk ternaknya, Nabi Musa menolong mereka. Peristiwa itu pun diadukan kepada ayahnya, ya bapakku ambillah ia sebagai seorang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil bekerja (pada kita) ialah orang kuat lagi dapat dipercaya. Menurut Sayyid Quthub, secara tersirat ayahnya yang memahami pengaduan dari anaknya, barangkali ada kecenderungan fitrah untuk membangun keluarga dengan Nabi Musa dengan anaknya.

Oleh karena itu, pada ayat selanjutnya Nabi Syu’aib selaku ayah yang baik mencoba berterus terang dengan maksud menikahkan Musa dengan salah satu putrinya. Jika dilihat dari ayat tersebut, tak ada dialog nasihat antara ayah kepada anaknya. Namun, di sini al-Quran ingin menunjukkan, bahwa harmonisasi yang terjalin antara ayah dengan kedua putrinya, menjadikan anaknya tidak sungkan untuk bercerita tentang hal apapun, termasuk perasaannya. Tak luput, pada ayat tersebut Nabi Syu’aib ditandai sebagai sosok yang penuh pengertian dari maksud tersembunyi di balik kata-kata yang diucapkan putrinya.

Ketiga, kisah Nabi Nuh yang memiliki anak tidak beriman kepada Allah. Sebagaimana yang tersebut dalam surat Hud ayat 42-43, Nabi Nuh memiliki peran ayah yang tidak mudah dalam mendidik, selain karena perbedaan keimanan, putra Nabi Nuh juga memiliki watak yang keras kepala. Saat Allah SWT menimpakan azab kepada kaum Nabi Nuh, karena dalam kurun dakwah yang sangat lama, yakni selama 950 tahun tetapi ajakan untuk beriman kepada Allah SWT diabaikan begitu saja dan Kan’an, nama anak Nabi Nuh terpengaruh oleh lingkungannya.

Meski ingkar, Nabi Nuh tak pernah lelah untuk menasehati anaknya dan terus bertanggung jawab melindungi anaknya. Karena itu, Kan’an diajak untuk ikut bergabung menaiki kapal, Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir (QS, Hud: 42) hanya saja Kan’an menolak, hingga ia pun ditenggelamkan oleh gelombang air besar. Kasih sayang Nabi Nuh kepada anaknya menjadi inspirasi, bahwa sebelum ajal menjemput perbedaan keyakinan dalam satu keluarga tidak bisa melepaskan dari tanggung jawab ayah untuk tetap mendidik dan melindungi anaknya.

Baca Juga  Tafsir Akomodatif, Innaddina ‘Indallah al-Islam

Keempat, kisah yang cukup lengkap mengurai peran ayah yaitu Nabi Ya’qub dengan putra-putranya yang termaktub dalam al-Quran surat Yusuf. Diketahui surat ini menceritakan, Yusuf kecil yang bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, bulan bersujud kepadanya mengadu pada ayahnya. Lalu Nabi Ya’qub yang mendengar pengaduan, meminta Yusuf agar tidak bercerita pada saudara-saudaranya. Hal tersebut, demi melindungi Yusuf dari tipu daya karena berpotensi membuat iri saudaranya. Tampaknya, kekhawatiran ini menjadi nyata. Para saudaranya berbohong kepada ayahandanya, jika Yusuf dimakan binatang karena kelengahan mereka. Padahal, Yusuf dijebloskan kedalam sumur.

Nabi Ya’qub yang mendengar hal ini sangat kecewa sekaligus sedih, tetapi sosoknya yang penuh kasih berusaha bersabar dan memasrahkan pada Tuhannya. Ungkapan sabar itu indah, ketika Nabi Ya’qub menghadapi kenakalan anaknya terkait saudaranya Yusuf dan Bunyamin, dipuji oleh al-Quran, kedua matanya menjadi pedih karena sedih dan adalah seorang yang menahan amarah (QS. Yusuf: 84). Ketidakbaikan yang dimiliki anak Nabi Ya’qub bukan berarti ia gagal memerankan ayah yang mendidik, melainkan Allah SWT tengah membuat perumpamaan kepada manusia dan menguji kesabaran Nabi Ya’qub. Kendati laki-laki identik dengan kekuatan, tidak menjadikan kekuatan itu untuk melakukan kekerasan karena perbuatan tercela atau kenakalan anak-anaknya, justru kekuatan itu digunakan untuk menguatkan hatinya.

Terakhir, dalam al-Quran surat Lukman ayat 13-19 digambarkan secara khusus, Lukman diceritakan sebagai ayah yang bijaksana dalam mendidik anaknya. Setiap kata yang dituturkannya penuh kasih sayang dan mengandung nasihat dan pesan yang diiringi argumen. Hal ini dapat dilihat dari salah satu petikan ayat, Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (QS. Lukman: 17).

Dari kelima sosok ayah yang dinarasikan dalam al-Quran, hal yang tak pernah tertinggal adalah panggilan kasih sayang, ya bunayya. Ini salah satu kata penting . Orang tua yang tidak hangat terhadap anaknya, mungkin berkata hai anakku ataupun mengucapkan kata ‘tolong’ ketika memerintah dan berterima kasih sebagai apresiasi untuk kebaikan akan terasa canggung dan terdengar aneh. Itu sebabnya, al-Quran mengajarkan para ayah yang kerap bersikap kaku, harus berupaya belajar menghangatkan suasana saat berkomunikasi bersama anaknya.

Betapapun sibuknya ayah dalam mencari nafkah, ia harus bisa meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anaknya untuk menasehati, belajar pengetahuan agama atau umum, termasuk obrolan ringan adakalanya dibutuhkan agar sang anak bisa belajar terbuka kepada ayahnya, sehingga tak perlu ada yang disembunyikan karena takut. Orang tua harus bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya, karenanya sikap bersabar, tidak mudah marah, berdiskusi dalam suatu persoalan itu penting sebagai ikhtiar terjalinnya keharmonisan dalam sebuah keluarga.

Mungkin ada benarnya, jika Lamb (1999) mengatakan bahwa ayah adalah the forgotten contributor, kontributor yang terlupakan dalam perkembangan anak. Ayah yang berperan sebagai pencari nafkah, kerap menjadi penyebab sedikit keterlibatannya dalam mendidik anak. Sementara ibu, yang secara konstruk sosial masyarakat cenderung pada pekerja domestik, maka mengurus anak juga bagian yang harus dibebankan perempuan.

Padahal, al-Quran memiliki perspektif lain. Adanya penjelasan tokoh ayah seperti yang tersebut di atas, menjadi argumentasi masif, kontribusi ayah dalam mendidik anak berkedudukan sama pentingnya dengan ibu. Kiranya, masyarakat bisa menyadari supaya pengaplikasian mendidik anak hanya dipasrahkan atau lebih dominan pada ibu bisa diubah melalui pemahaman peran ayah yang disajikan dalam al-Quran.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.