Peran Keluarga Mencegah Radikalisme dan Terorisme

KolomPeran Keluarga Mencegah Radikalisme dan Terorisme

Merebaknya aksi radikalisme hingga terorisme terus terjadi di Indonesia. Bahkan, setiap aksi yang dilakukan oleh kelompok ini, baik pengeboman maupun perekrutan dilegitimasi oleh kentalnya dimensi agama. Sebagai kelompok penjahat, aksi terorisme tentu harus dicegah, salah satunya adalah peran keluarga.

Keterlibatan peran keluarga dalam mencegah radikalisme dan teorisme hari ini diakibatkan karena adanya tren terbaru, yakni adanya aksi terorisme di Indonesia yang memanfaatkan hubungan keluarga. Misalnya saja, peristiwa bom tiga gereja di Surbaya pada 2018. Fenomena terlibatnya anak-anak dan keluarga ini dikarenakan kelabilan cara berfikir dan belum matangnya dalam mengambil sikap, sekaligus memiliki mental yang temperamen dan semangat beragama yang meluap. Meskipun tanpa didasari dengan ilmu yang mumpuni.

Dalam sejarah gerakan terorisme, fenomena ‘keluarga terorisme’ bukan hal baru. Riset Della Porta tahun 1995 tantang Brigade Merah (BM), misalnya menjelaskan menjelaskan sebanyak 298 dari 1.214 anggota BM memiliki hubungan darah dengan keluarga, baik sebagai orangtua, suami, anak, dan saudara.

Di samping itu, riset komisi PBB untuk peristiwa WTS juga mengonfirmasi fenomena ‘keluarga teroris’ enam dari 19 pembajak pesawat adalah bersaudara. Pelaku bom Boston tahun 2012 adalah Tsarnaev bersaudara. Demikian pula dengan Charles Hebdo di Prancis Kouachi bersaudara, sementara di Indonesia tercatat tiga pelaku Bom Bali tahun 2020, yakni Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron adalah bersaudara.

Persaudaraan merupakan metode paling efektif dalam membentuk jaringan “keluarga teroris” karena adanya pengaruh psikologi yang bisa mengikat dan menguatka satu sama lain. Dengan metode itu, mereka bukan hanya sesama anggota kelompok terorisme, tetapi juga menjadi saudara sekeluarga (a family relative). Karena kedekatan sebagai kelurga itu dimanfaatkan untuk peer-pressure, menjamin loyalitas dan lainnya sehingga terbentuknya jaringan solidaritas yang kuat.

Sementara itu, dugaan bahwa dalam segenap ketidakmatangan dan kejahilan mereka akan ajaran agama, anak-anak menjadi korban dari info-info instan yang menyesatkan dari guru-guru yang radikal, atau dari internet dan media sosial yang mereka akses. Di sisi lain, ada fenomena modern menyusutnya ketahanan keluarga di tengah masyarakat. Problem terbesar ketahanan keluarga ini ialah berkembang pesatnya teknologi informasi dan derasnya arus informasi.

Kiranya, ini berbeda dengan apa yang dibandingkan dengan kemampuan keluarga dalam memberikan informasi alternatif. sebagai bagian dari fungsi pendidikan yang harus diselenggarakan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Institusi keluarga di zaman sekarang ini mendapatkan berbagai tekanan. Termasuk gempuran tuntutan ekonomi yang makin meningkat.

Gerakan radikalisme menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk keluarga khususnya orang tua, diperlukan adanya kerjasama antara suami istri dalam tarbiyatul awlad atau pendidikan bagi anak-anak. Kerjasama antara ayah ibu dalam mendidik anaknya akan menjadi lebih efektif dalam menangkal paham radikal dan aksi terorisme. Gerakan-gerakan radikal dan doktrin anti Pancasila yang ingin mengubah Pancasila menjadi syariat Islam atau Negara Islam menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia. Peran keluarga dalam hal ini untuk melakukan kontrol terhadap apa saja yang dipelajari dan diserap oleh anak-anak.

Radikalisme juga tumbuh subur di sekolah, Hal ini menuntut peningkat­an peran keluarga secara intens. Ayah yang merupakan salah satu tulang punggung ketahanan keluarga terpaksa menghabiskan banyak waktunya di luar rumah untuk bekerja. Hal ini terjadi bukan hanya di kalangan keluarga miskin, melainkan juga di keluarga kaya. Belum lagi makin beratnya kompetisi di dunia kerja atau di dunia bisnis pada umumnya.

Besarnya pengaruh negatif yang timbul dari pergaulan dengan teman sebaya juga membuat keluarga akhirnya terpaksa menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke sekolah. Sebagian masalah tentu saja teratasi, tapi justru di sinilah problemnya, tidak sedikit justru sumber-sumber pikiran radikal ke­agamaan itu datang dari pendidikan agama di sekolah.

Baca Juga  Pilih Al-Quran atau Pancasila?

Benih-benih radikalisme keagamaan tertanam ketika anak mendapatkan informasi keliru dari guru agama. Mungkin disebabkan keterbatasan wawasan guru, kesempitan pandangan, bahkan kadang-kadang kita tidak boleh terlalu naif juga adanya kelompok-kelompok radikal yang secara sengaja ingin menyusupkan pikiran-pikiran radikalnya lewat pengembangan lembaga pendidikan atau pengiriman guru agama dari kalangan mereka ke sekolah-sekolah. Ketidakmatang­an anak menjadikan mereka sasaran.

Di sisi lain, adanya ke­lompok-kelompok yang secara se­ngaja berusaha memasukkan pikiran-pikiran radikal, kenyataan­nya sebagian materi pengajaran agama, khususnya agama Islam di sekolah-sekolah itu secara sadar atau bisa menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya pikiran-pikiran radikal. Sebagai contoh, mari kita ambil pelajaran sirah atau biografi Nabi Muhammad SAW, khususnya di sekolah. Sadar atau tidak, biografi Nabi cenderung dipenuhi kisah-kisah peperangan.

Biasanya diceritakan ketika di Mekah Nabi ditindas, kemudian Nabi pun berhijrah ke Madinah. Setelah memapankan diri di Madinah selama kurang lebih setahun, pada tahun kedua setelah hijrah kaum Muslim di bawah pimpinan Nabi, terlibat dalam peperangan Badar melawan invasi kaum kafir Quraisy dari Mekah. Demikian seterusnya dikisahkan peperangan-peperangan hingga saat-saat terakhir kehidupan Nabi.

Pendidikan dalam keluarga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter dan perilaku seorang anak. Pada umumnya pendidikan dalam keluarga dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai luhur yang berasaskan nilai-nilai yang nantinya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan keluarga berperan penting dalam pembentukan karakter anak. Pendidikan awal seorang anak didapatkan dari keluarganya. Tentu ayah dan ibunya harus berbagi tugas dalam mendidik anak dan mengarahkan anak. Pemahaman agama yang baik di dalam keluarga juga berperan sentral.

Namun, pemahaman agama yang seharusnya ditekankan bukan hanya sekedar paham keagamaan yang bersifat normatif-formal (bersangkutan dengan ibadah) dan tekstual, namun pemahaman keagamaan yang bersifat kontekstual dan berimplikasi terhadap prilaku sosial. Sehingga seorang anak tidak hanya soleh dalam sisi normatif-formal (ibadah) namun juga soleh dalam sosial kemasyarakatan.

Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa radikalisme Islam berkembang di sekolah-sekolah umum melalui guru agama dan kegiatan keagamaan, hal ini terjadi karena kontrol terhadap materi agama dan kerja guru agama tidak cukup kuat untuk menutup celah masuknya paham radikal. Maka, orang tua harus berperan aktif mendampingi anak ketika belajar di rumah dan mengontrol bacaan wajib dari sekolah, jika ditemukan hal ini maka ibu wajib melaporkan hal ini kepada pihak sekolah dan pihak-pihak berwenang lainnya.

Seorang ayah wajib mengontrol dan menyaring khutbah-khutbah Jum’at yang terlanjur telah diikuti oleh anak, karena belakangan ini khutbah jum’at khususnya di kota-kota besar tidak jarang berupa seruan tindakan keagamaan yang dapat dinilai menyuburkan intoleransi kepada yang berbeda paham dan atau agama. Menurut Machasin di ranah keluarga perempuan berpeluang besar membentuk kepribadian anak-anak, memberi bekal kepada mereka untuk memasuki kehidupan yang lebih luas dalam masyarakat dan membentuk keluarga.

Oleh karena itu orang tua atau keluarga perlu menerapkan gaya pengasuhan yang demokrasi sehingga mampu menjadi media deredikalisme. Selain kerjasama dan kemitraan antara suami dan istri, diperlukan juga kontrol dan komunikasi antara suami dan istri kepada anak. Pendidkan dengan gaya demokratis. Orang tua mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan, menghargai tingkah laku dan membimbingnya merupakan bagian dari peran keluarga untuk mencegah radikalisme.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.