Laksamana Malahayati, Bukti Kemodernan Perempuan Nusantara

KolomLaksamana Malahayati, Bukti Kemodernan Perempuan Nusantara

Pada abad ke-16, Malahayati tercatat dalam sejarah dunia sebagai perempuan paling modern dari Nusantara. Mengapa tidak, di saat perempuan-perempuan di Eropa masih dalam ke-jumudan, karena marginalisasi yang dilakukan budaya patriarki. Namun, Malahayati justru sudah menyandang laksamana, yakni jabatan bergengsi di pemerintahan armada kelautan dalam memimpin pasukan yang didominasi laki-laki sekaligus menjadi politik ulung.

Meski nama Laksamana Malahayati tidak familiar, seperti Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika karena masuk dalam pembelajaran kepahlawanan di sekolah, tetapi negara Belanda, Portugis, China, Arab, dan India mengakui Malahayati sebagai perempuan tanggung dan piawai dalam memimpin sebuah pasukan perang. Kedudukan Malahayati yang tinggi ini secara tidak langsung telah mengangkat drajat perempuan yang kerap dipandang sebelah mata.

Tak ayal, jika kokohnya kesultanan Aceh Darussalam tak lepas dari kehebatan para pemimpin perang dalam melawan penjajahan dan perpolitikan, Malahayati turut berperan signifikan dalam hal ini. Darah sang kakek, yaitu Muahammad Said Syah dan ayahnya Mahmud Syah sebagai laksamana kelautan Kesultanan Aceh yang juga masih keturunan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri Kesultanan Aceh Darussalam, mengalir pada diri Malahayati. Sejak kecil Malahayati kerap diajak oleh ayahnya ke kapal perang, hingga jiwa keberaniannya mengarungi lautan terbentuk dengan sendirinya. Jiwanya yang terlanjur terpaut pada kemiliteran, membawanya untuk menempuh pendidikan militer angkatan laut di Baitul Maqdis.

Pada peperangan sengit, di perairan Selat Malaka armada pasukan Portugis dan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil. Di Teluk Haru, peperangan dimenangkan Kesultanan Aceh, tetapi dua laksamana serta prajuritnya banyak yang gugur, termasuk suami dari Malahayati. Dari sini, Malahayati meminta pada Kesultanan Aceh agar membentuk armada Aceh yang semua parjuritnya merupakan para janda lantas keinginannya pun disetujui. Alhasil Malahayati diamanati jabatan oleh sultan menjadi laksamana untuk memimpin pasukannya yang disebut Inong Balee.

Meski mulanya pasukan Inong Balee ditertawakan, karena berisikan para janda yang ditinggal suaminya gugur perang, tetapi Laksamana Malahayati bisa membuktikan ketangguhan pasukan-pasukan perempuan yang dipimpinnya. Karir Malahayati kian melonjak saat pertempurannya melawan pasukan Jendral Cornelis de Houtman yang dikenal kejam, yang kemudian berhasil ditumpaskannya dalam kapalnya sendiri dengan pertempuran satu lawan satu pada Agustus 1599. Sementara adiknya Cornelis, Federick ditawan dan dipenjara. Kemenangan Malahayati ini sontak membuat geger seluruh Eropa, khususnya Belanda.

Baca Juga  Keseimbangan Relasi Jender dalam Islam

Sebagaimana karakter Malahayati, budaya domestik yang diberlakukan bagi perempuan tidak berpengaruh signifikan. Kepemimpinan Malahayati yang mengajak para perempuan untuk ikut bergabung dalam militer, kiranya menjadi upaya pemikiran modern yang masih langka di zamannya, terlebih dalam kemiliteran nalar strategi dalam melatih dan mengatur pasukan sangat diperlukan. Itu sebabnya, Malahayati merupakan laksamana perempuan pertama di dunia yang menggoreskan sejumlah catatan sejarah yang mengagumkan.

Memang Malahayati tidak mencolok dari segi pemikiran, tetapi melalui armada yang dibuatnya Inong Balee, sudah membuktikan emansipasi perempuan dalam militer menjadi wadah perjuangan Malahayati. Seorang penulis perempuan asal Belanda melontarkan pujiannya terhadap Laksamana Malahayati dalam bukunya yang berjudul Vrouwelijke Admiral Malahayati, armada Inong Balee terdiri dari 2.000 pasukan perempuan yang tangkas dan gagah (Hasjmy: 1975).

Syahdan, di antara kiprah Malahayati diperpolitikan yaitu menjadi suksesi Darmawangsa sebagai sultan yang berjulukan Iskandar Muda yang legendaris, dengan mensiasati agar putra mahkota lengser. Adapun manuver yang dilakukan Malahayati bukan karena kelicikannya, melainkan putra mahkota yang kurang mampu tersebut tengah mengkudeta ayahandanya sendiri, yakni Sultan Alaidin yang sudah berusia 94 tahun. Malahayati juga dikenal sebagai diplomat ulung, karena jalinan persahabatannya dengan utusan Ratu Elizabeth I dari Inggris yang bernama Sir James Lancaste pada 6 Juni 1602. Demikian bukan Malahayati namanya, kalau ia tidak bisa menaklukan apa yang ada di depannya.

Perjuangan Malahayati sebagai tokoh yang berjasa dan menginspirasi kini diabadikan sebagai pahlawan nasional. Pada rentan waktu 400 tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada Malahayati pada 6 November 2017.

Melalui Malahayati, kita bisa meneladani meski ia terlahir pada masa yang membatasi gerak perempuan, tetapi ketika potensi atau kemauan tinggi itu ada, maka ia tidak akan membohongi hasil. Artinya, ketika keterampilan ada, tak terkecuali perempuan pasti bisa melakukan apapun sesuai cita-citanya. Kiranya, nama Malahayati juga patut kembali diharumkan sebagaimana tokoh perempuan lainnya agar bisa menjadi motivasi, bahwa perempuan Indonesia telah mengalami kemodernan sejak lama, hingga kita bisa berpotensi menjadi bangsa yang lebih maju dalam memengaruhi peradaban dunia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.