K.H Zuhairi Misrawi, dari Cendekiawan Menjadi Duta Besar

BeritaK.H Zuhairi Misrawi, dari Cendekiawan Menjadi Duta Besar

Allah tidak memberikan ilmu kepada seorang ‘alim,
kecuali Allah menuntut darinya perjanjian
yang dituntut kepada para Nabi

—-NABI MUHAMMAD SAW

Kalau menginginkan perubahan,
janganlah tunduk pada kenyataan.
Asalkan di jalan yg benar, maka lanjutkan

—-GUS DUR

Alkisah ada anekdot dari sosok sufi besar yang pernah mendatangi tiga orang tukang batu. Dia bertanya kepada tukang batu yang pertama,” Apa yang sedang anda lakukan?” “Saya sedang memecah batu,” jawabnya. Kemudian dia bertanya kepada tukang batu yang kedua dengan pertanyaan yang sama. Dijawabnya,” Saya sedang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup saya.” Sang sufi lalu beralih ke tukang batu yang terakhir dan menanyakan seperti yang sudah diajukan kepada dua orang tukang batu sebelumnya.” Saya akan mendirikan sebuah Masjid yang besar,” jawab tukang batu yang ketiga.

Kita semua tahu, ketiga tukang batu itu melakukan pekerjaan yang sama, tapi persepsi mereka mengenai apa yang mereka kerjakan, berbeda-beda. Hanya karena persepsi mengena tujuan akhir dari pekerjaan merekalah yang bisa mengubah seorang tukang batu menjadi seorang pendiri monumen sejarah atau demi sebuah peradaban dunia Islam.

Perbuatan, seperti kata pepatah, berbicara lebih keras daripada kata-kata, Tetapi bagaimana kita bisa memahami bahwa perbuatan kita mempunyai dampak, pengaruh yang besar terhadap tujuan akhir? Marilah kita mulai bro!

JIHAD CENDEKIAWAN

Ya, semuanya tentang jihad. Pengaruh jihad yang sejati merupakan salah satu tindakan paling penting dalam Islam, agama kita. Jihad adalah tindakan yang dilakukan, berjuang di jalan Allah dengan sungguh-sungguh. Bagi manusia yang berusaha, sesungguhnya mereka berusaha untuk diri mereka sendiri. Engkau berusaha, Allahlah yang mengabulkannya. Allah membantu orang-orang yang membantu diri mereka sendiri. Allah sama sekali tidak tergantung kepada makhluk-Nya.

Tujuan final dari jihad cendekiawan Muslim adalah melahirkan solusi-solusi pragmatis atas masalah-masalah kontemporer ummat Islam. Bertanggung jawab terhadap nasib manusia secara umum.

Kanjeng Nabi Muhammad Saw pernah menegaskan tentang pentingnya Jihad cendekiawan atau intelektual bagi ummat. Ketika beliau bersabda bahwa,”tinta seorang sarjana lebih mulia daripada darah seorang martir (syuhada’).

TENTANG CENDEKIAWAN

Gini ya Dik! jika kita berpijak kepada definisi intelektual atau cendekiawan dari berbagai referensi baik dalam buku-buku karya pemikir Barat atau dunia Islam, maka ada yang keren tentang sosok tersebut.

Dalam kitab suci al-Qur’an disebut 16 kali. Mereka disebut Ulul-Albab, yang sadar dan menerangi umat dari kegelapan zaman. Jenis manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah sebuah hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan.

James Burns Ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership, berkata bahwa intelektual atau cendekiawan ialah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual atau cendekiawan ialah kaum cerdik pandai yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis dalam meniti hari demi hari.

Cendekiawan adalah ilmuwan yang menjadi ideolog, yang menjadikan gagasan sebagai kekuatan moral, memperjuangkan sebuah cita-cita. Para sarjana dan intelektual, atau cendekiawan Muslim mempunyai peranan penting bagi kebaikan umat. Jika ingin memperoleh respek dan kepercayaan dari umat, para cendekiawan harus mencurahkan tanggung jawab mereka secara lebih serius dan menunjukan perhatian yang positif terhadap nasib umat Islam dan kemanusiaan.

Imam Al-Ghazali tidak lagi jadi sufi ketika ia mengirimkan surat-surat protes kepada penguasa. Cendekiawan setia berkomitmen terhadap perubahan terhadap semangat zaman (zeitgeist), sebagaimana Bung Karno yang memerdekakan negerinya dari penjajahan dan Ali Syariati yang menggerakkan revolusi Islam di Iran. Menjadi cendekiawan ialah Ketika mengubah ummat yang pasif, meniupkan ruh jihad dan menanamkan kepercayaan diri dalam mengatasi problem of evils.

Cendekiawan adalah bangsawan pikiran yang mengikat diri mereka dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan, dengan diri mereka dan manusia yang lain. Sosok cendekiawan adalah ia yang menyambungkan iman dan amal cinta kepada Allah dengan cinta kepada manusia. Dalam bahasa filsuf dari Denmark Soren Kierkegaard adalah,”sebagai seorang ksatria iman sebagaimana Nabi Ibrahim as.”

Dan memang tugas para nabi adalah membela umat manusia, melanjutkan tugas Rasul dalam “membuang beban-beban (penderitaan) dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (QS. 7: 157). Sebagaimana syair WS Rendra yang terkenal:

Orang-orang miskin;
Orang-orang di jalanan,
Yang tinggal di dalam selokan,
Yang kalah di dalam pergulatan,
Yang diledek oleh impian,
Janganlah mereka ditinggalkan

Cendekiawan harus memperjuangkan kebenaran, dan keadilan sebagai pejuang-pejuang bebas sambil memodifikasi karakter. Ciri cendekiawan adalah memenuhi kebutuhan dan tuntunan masyarakat kontemporer. Tak boleh jauh dari ummat. Sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad Saw dalam malem Isra’ Mi’raj,” Menemui Tuhan Yang Maha Kuasa dan kembali menemui manusia.” Itulah kunci syurga yang terbuang, yakni menemani hamba-hamba Tuhan di bumi manusia dengan segenap masalahnya.

SOSOK GUS MIS

Adalah KH. Zuhairi Misrawi atau Gus Mis; tokoh muda, kader terbaik PDI-Perjuangan, cendekiawan Islam, intelektual muda NU dan juga anak ideologis Bung Karno. Proklamator Indonesia yang punya kedekatan khusus dengan Raja Saud. Hubungan dan keakraban kedua tokoh itu yang akan ia lanjutkan dalam mewujudkan poros global moderasi Islam, Indonesia dan Arab Saudi. Apalagi Arab Saudi di era Muhammad Bin Salman (MBS) sudah bergesar ke arah Moderasi Islam visi 2030. Inilah yang menjadi kunci utama, Islam sebagai rahmatan Lil Alamin.

Gus Mis kini ditunjuk secara istimewa oleh Presiden Joko Widodo menjadi Duta Besar Arab Saudi. Lalu siapakah Gus Mis atau KH. Zuhairi Misrawi?

Gus Mis pernah menulis sebuah buku khusus tentang Mekkah (2009) dan Madinah (2010). Di dalam kedua buku tersebut, ia menggambarkan betapa dua kota suci ini mempunyai latar historis, spiritual, dan ilmiah. Bahkan historisitasnya bermula dari Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, hingga Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, kedua kota suci ini mempunyai makna yang sangat istimewa, karena sebagai kota mampu membangun peradaban ketuhanan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Baca Juga  Pelajaran Berharga dari Isra’ Mi’raj

Ia banyak dipengaruhi oleh Gus Dur, Cak Nur, Dawam Rahardjo, Kang Jalal dan tokoh-tokoh nasional yang komitmen terhadap kemanusiaan dan kebangsaan sepanjang sejarah.

Gus Mis juga pakar, expert sebagai pemerhati politik Timur Tengah, komitmen terhadap persatuan madzab. Ia adalah alumni al-Azhar Mesir, kampus Islam terkeren sedunia. Di kampus Al-Azhar tersebut ia bertemu tokoh-tokoh Islam yakni Hasan Hanafi, Khaled Abu Fadl dll. Ia membuat jaringan kaum muda Islam se-dunia, dan sebagai representasi kaum muda Islam yang bicara di forum internasional tentang perdamaian dunia.

Karyanya lagi adalah buku berjudul Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang sangat luar biasa. Kemudian, Al-Qur’an Kitab Toleransi dan banyak karya dan tulisannya yang bisa kita baca dan resapi bersama. Belum lagi aktivitasnya sebagai pelanjut pikiran besar Gus Dur yakni menemani kaum minoritas di negeri tercinta ini. Semuanya berpijak kepada Pancasila, penghormatan kepada sesama anak negeri.

Saya jadi teringat film Nelson Mandela, berjudul Long Walk to Freedom: “Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh rantai yang membelenggu diri sendiri.” Menjadi merdeka berarti “hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain.”

Lalu yang saya pahami dari Gus Mis adalah amal shalehnya, berbuat baik kepada sesame anak bangsa sebagaimana ucapan Karen Armstrong. Sebab yang utama adalah bagaimana berbuat baik. “Cara sejati menghormati Tuhan hanyalah dengan bertindak secara moral seraya tak menghiraukan bahwa Ia ada,” tulisnya dalam A History of God.

INDONESIA DAN ARAB SAUDI

Menarik ! Kawasan Timur Tengah adalah wilayah yang cukup vital dalam lalu lintas perdagangan internasional, sumber energi utama dunia, dengan kekayaan yang juga signifikan untuk menggoyang ekonomi dunia. Kerusuhan hingga penggulingan pemerintah yang kini terjadi di berbagai negara Timur Tengah dalam perhitungan geopolitik dan geokultural di atas, menjadi semacam finalisasi dari globalisasi yang kini terjadi.

Parade penghancuran Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, dan Yaman adalah simbol nyata dari suasana mental Arab yang kacau dan kehilangan perspektif masa depan. Amat memprihatinkan kita semua karena mereka adalah saudara seagama kita yang semestinya punya keawasan sejarah yang tajam. Tentunya suasana bathiniah itu dipunyai Arab Saudi pimpinan Muhammad bin Salman (MBS) dalam mewujudkan Saudi yang modern dan moderat dalam pergaulan dunia.

Data terkini ada 220 ribu warga Indonesia yang setiap tahun menunaikan ibadah haji ke Arab Saudi dan 1,2 juta warga Indonesia yang menunaikan ibadah umrah setiap tahun. Setidaknya ada 1,5 juta warga Indonesia yang setiap tahunnya mengunjungi Arab Saudi. Konon ada sekitar 3 juta umat Islam dari berbagai dunia yang menunaikan ibadah haji setiap tahunnya, dan sekitar 20 juta umat Islam dari belahan dunia yang menunaikan ibadah umrah setiap tahunnya.

Gus Mis pernah menyampaikan dalam tulisannya, bahwa Pembangunan Arab Saudi menuju visi 2030 mutlak diperlukan, sehingga visi MBS mampu diterjemahkan di lapangan dengan baik, dan pada akhirnya dapat mewujudkan terciptanya peradaban baru yang mencerminkan moderasi Islam tumbuh sebagai pilar penunjang bagi masa depan negri yang selama ini dikenal sebagai pelayan dua kota suci (khadim al-haramain), Mekkah dan Madinah.

Maka dari itu, langkah MBS mendeklarasikan moderasi Islam mendapatkan respons luas dari seantero dunia, laksana embun di pagi hari yang akan meneguhkan moderasi beragama sebagai solusi alternatif dalam mewujudkan perdamaian dan toleransi di tengah keanekaragaman agama, suku, dan bahasa. Wajah moderasi Islam Arab Saudi tersebut membawa harapan baru, bahwa dunia global telah menuju perubahan bagi keberagamaan yang menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan, dan kedamaian.

Point penting harus diperhatikan dan semakin dikuatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi. Dan Gus Mis optimis menjalin persahabatan yang kokoh dengan Arab Saudi karena didasarkan pada persaudaraan dan persahabatan sebagaimana dulu pernah dijalin erat oleh Bung Karno, idola Gus Mis.

AKHIRUL KALAM

Barisan para tokoh menilai sudah tepat Presiden Jokowi memberikan amanah kepada Gus Mis jadi Duta Besar. Keputusan yang keren, tepat dan tentunya sangat bermanfaat bagi kepentingan nasional dan dunia Islam. Gus Mis juga didukung oleh Ketua Umum PBNU KH. Said Aqiel Siradj, Ketua Umum Muhammadiyah Pak Haedar Nasir dan Buya Syafii Ma’arif serta didukung juga tokoh nasional lainnya.

Karen Armstrong pernah bersama tokoh-tokoh agama mendeklarasikan piagam kasih sayang (Charter of Compassion):“Salah satu tugas paling mendesak bagi generasi kita adalah membangun komunitas global, baik pria maupun wanita dari semua ras, bangsa dan agama, ideologi, bisa hidup bersama dalam perdamaian.” Insya Allah dalam Poros Global Moderasi Islam, Gus Mis akan mewarnai perdamaian global di masa kini dan masa depan.

Khairunnas Anfahum Linnas, sabda Sang Nabi yang selalu diamalkan Gus Mis, dari cendekiawan menjadi Duta Besar. Ia khidmat untuk NU, Indonesia dan Dunia.

Tulisan ini bukan sebuah paparan ilmiah lho ya! Tetapi sebuah pertanggungjawaban bahwa cendekiawan Muslim memang punya tanggung jawab; dan bahwa sikap apatis, pasif dan netral terhadap nasib ummat Islam dan masa depan bangsa Indonesia bukanlah watak cendekiawan Muslim. Pastinya, Gus Mis bukan sosok kayak gitu bro dan sista. Semongko! Barokallah Gus, barokallah fikum.

Salam ngopi, sehat wal afiat untuk kita semua. Srupuuuttt!
Al-fatihah

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.