Menanggulangi Krisis Etika dakwah

KolomMenanggulangi Krisis Etika dakwah

Di tengah hiruk pikuk ceramah daring, sejumlah dai secara tidak sadar mengabaikan etika dalam berdakwah. Salah satunya terkait masalah perayaan ulang tahun yang diharamkan seorang ustadz kondang. Menariknya, selang beberapa waktu setelah ceramah tersebut, ia sendiri merayakan ulang tahunnya. Hal ini menunjukkan, bahwa ia telah melakukan sesuatu yang jelas-jelas telah diharamkannya. Bahkan, tidak sedikit dai kini mengalami krisis etika dalam berdakwah. Pertanyaannya, bagaimana cara menanggulanginya?

Absennya etika dalam berdakwah tidak hanya melahirkan krisis integritas para dai, tetapi juga membuat umat meragukan apa yang telah disampaikan oleh para pendakwah. Etika yang dimaksud adalah tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Hal ini berdasarkan al-Quran surah al-Shaff ayat 2-3, hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah SWT karena kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan.

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan perang Uhud. Saat perang, ada beberapa orang sahabat yang tidak menaati perintah. Mereka banyak berbicara, tanpa didukung dengan perbuatan yang nyata dan tegas. Perilaku tersebut sangat keji menurut pandangan Allah. Hanya karena karunia pertolongan Allah, mereka diselamatkan dari petaka itu.

Ingatlah, sejatinya ketika para pendakwah menyampaikan ajaran Islam, tidak hanya memerhatikan kecerdasan intelektual atau keilmuan agama yang mapan dan retorika saja, melainkan juga etika dalam berdakwah. Lebih lanjut, mimbar Nabi tidak dapat dijadikan komoditi atau sebatas omongan saja. Namun, diterapkan pula dalam keseharian, terlebih bagi orang yang mengajak kepada kebenaran.

Begitu pula hadis Nabi, menganjurkan setiap Muslim, terlebih seorang dai, untuk tidak memisahkan antara perkataan dan perbuatan. Namun, melakukan segala sesuatu yang ia sampaikan kepada umat. Hadis ini berbunyi, “pada hari kiamat kelak, ada seseorang dipanggil. Ia kemudian dilemparkan ke dalam neraka sehingga usunya terburai, dan berputar-putar bagai keledai menarik penggilingan.

Penduduk neraka mengerumuninya dan bertanya, “mengapa kamu ini? bukankah kamu dulu suka memerintahkan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran”? Orang tersebut menjawab, “benar, aku suka mengajak kalian berbuat kebaikan, tapi aku sendiri justru tidak melakukannya. Aku juga suka mencegah kalian dari kemunkaran, tetapi aku sendiri malah melakukannya” [HR Bukhari & Muslim].

Untuk itu, amar ma’ruf nahi munkar seharusnya tidak hanya mengarah ke luar atau mengajak kepada orang lain saja. Namun, amar ma’ruf nahi munkar juga wajib ditanamkan dalam diri sendiri. Menjadi landasan hidup seorang Muslim. Menjadi pedoman hidup para pendakwah. Merasuk ke dalam jiwa yang kemudian terpancarkan melalui perilaku.

Baca Juga  Siasat Mental Menyikapi Antrian Panjang Haji

Selanjutnya, langkah yang tepat untuk dilakukan untuk menanggulangi krisis etika dakwah adalah tidak mudah mengharamkan sesuatu yang sejatinya masih dalam ranah perdebatan. Memang pada dasarnya, setiap ulama berhak berijtihad menentukan hukum dari suatu permasalahan. Namun, jika memang sesuatu tersebut tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam, maka mengapa harus diharamkan hanya karena Rasulullah tidak pernah melakukannya?

Toh setiap tradisi dan budaya terus menerus berkembang dari zaman ke zaman. Tradisi buang air di malam hari pada masa Nabi misalnya. Tidak mungkin tradisi tersebut terus kita lestarikan sampai saat ini, mengingat teknologi yang kian maju. Begitu pula halnya merayakan hari kemerdekaan dan hari ulang tahun, tidak pernah ada pada masa Nabi. Namun, jika ia tidak bertentangan dengan perkara ushul dalam agama, maka janganlah diharamkan.

Mudah mengharamkan, tidak hanya menyulitkan orang lain, tetapi juga menyusahkan diri sendiri. Pada akhirnya, ustadz yang memberi fatwa haram terhadap perayaan hari ulang tahun juga melakukan sesuatu yang jelas-jelas ia haramkan sebelumnya. Daripada sibuk mengharamkan, dakwah Islam sebaiknya berisi harapan.

Mengingatkan semua orang, bahwa Allah penuh belas kasih, peduli, dan selalu bersedia memaafkan kita semua. Dengan begitu, kita semua semakin mencintai dan rindu berada dekat dengan-Nya. Penuhilah hati semua orang dengan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Bahkan, dakwah sebaiknya berisi dorongan agar umat aktif berkontribusi dalam perkembangan dan kemajuan bangsa mereka.

Berdiri di mimbar Nabi atau menyampaikan dakwah Islam kepada publik adalah amanah dan tanggung jawab yang sangat besar. Para pendakwah seharusnya menyadari sepenuhnya, merenungi beban dari amanah tersebut. Kata-kata pun seharusnya tidak hanya keluar dari lisan saja, melainkan dari hati kita.

Dengan demikian, etika dakwah yang kerap diabaikan para pendakwah seharusnya ditanggulangi sejak dini. Pertama, dengan cara menghayati amar ma’ruf nahi munkar dalam diri sendiri, sebagai prinsip kehidupan, di samping menyampaikannya kepada publik. Kedua, tidak mudah mengharamkan dengan dalil atau bukti yang masih lemah. Karenanya, mari tanggulangi krisis etika dalam berdakwah.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.