Hidup Tanpa Musuh dengan Membaca

KolomHidup Tanpa Musuh dengan Membaca

Imam Ali bin Abi Thalib pernah bertutur, bahwa manusia adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya. Artinya, kebodohan merupakan musuh besar bagi umat manusia. Musuh di sini bukan serta merta berupa wujud fisik, melainkan suatu kondisi yang mengganggu dan membuat serba tak nyaman diri. Sederhananya, seseorang akan kesulitan melakukan sesuatu ketika ia tidak mengetahui ilmunya dan bagaimana caranya.

Ketidaktahuan akan mengancam dan bahkan bisa menimbulkan malapetaka. Karena kebodohan adalah kegelapan. Maka dari itu butuh penerang, yakni ilmu. Untuk mereguk ilmu, prinsip esensialnya sederhana, kita harus membaca. Dalam satu ungkapan hikmah, buku disebut sebagai teman duduk terbaik sepanjang zaman. Dengan bekal pengetahuan, hidup akan tercerahkan, tenang, dan tidak sengsara karena tertindas kekosongan pengetahuan.

Ada satu pepatah Arab yang menawarkan visualisasi sederhana namun terang, akan pentingnya mengisi diri dengan pengetahuan. Dikatakan, bahwa “Barang siapa menguasai bahasa suatu kaum, maka ia akan selamat dari tipu daya mereka”. Bahasa merupakan perangkat komunikasi dasar antarmanusia. Diaspora manusia yang luar biasa luas telah menghasilkan budaya bertutur yang bermacam-macam. Ketika kita keluar dari wilayah asal dan melawat ke negara lain misalnya, penguasaan piranti bertutur ini adalah tameng untuk menghindari pembodohan orang asing.

Membaca merupakan tugas pertama seorang Muslim. Pendasaran teologisnya jelas, terpatri dalam firman pertama Tuhan, iqra’ (bacalah!) [96: 1]. Muslim harus menjadi pembaca yang lahap. Bukan hanya diperintah membaca lembaran kertas berisi tulisan, dalam banyak tempat Allah SWT menginstruksikan agar kita menelaah tanda-tanda yang disimpan oleh alam. Ini penting untuk menajamkan kepekaan batin dan akal yang akan mendorong pada kesadaran terhadap kekuasaan Allah SWT. Hal ini sekaligus menjadi penjelas bahwa Islam sejatinya adalah agama yang menjunjung tinggi intelektualisme.

Dalam pelbagai fenomena kehidupan, ada banyak episode kegetiran yang terjadi karena minimnya ilmu. Untuk negeri ini misalnya, minat baca yang rendah dan kebodohan membuat kita tak kunjung melaju sebagai bangsa yang maju. Masih menjadi konsumen peradaban. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya menyentuh angka 0,001%. Yang berarti dari 1000 orang, hanya 1 orang yang rajin membaca di negeri ini.

Seseorang yang tak membiasakan diri membaca, seringkali bersikap sembrono, terlebih saat berhadapan dengan air bah informasi di media sosial kini. Yang berakibat pada terciptanya kesalahpahaman dan rivalitas tak sehat antara dua kubu yang saling serang. Karena kebodohan memang sumber dari segala keburukan, yang bagi diri manusia ia lebih berbahaya dari penyakit fisik.

Dalam The Death of Expertise (2017), Tom Nicholson menyebut, kita tak hanya kurang membaca dan tak berwawasan, tapi kini justru bangga dengan itu semua. Hal ini karena banyak orang kurang pandai tetapi merasa setara dengan pakar, dan untuk itu mereka merasa berhak melawan argumentasi para ahli.

Pada skala yang lebih luas, situasi dunia Muslim saat ini yang terpuruk dalam pusaran peradaban, juga disebabkan tradisi intelektualisme yang mandeg, sebagaimana penggalan tesis Ahmed T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Karena terbitnya kemajuan memang diprakarsai oleh semangat belajar yang kuat. Perihal ini sudah cukup menjelaskan betapa pentingnya posisi ilmu pengetahuan bagi keberlangsungan hidup. Yang dengan sendirinya menjadikan ritual membaca menempati posisi yang tak kalah mendesak.

Baca Juga  KH Ali Maksum: Pionir Kemajuan Pesantren Krapyak Yogyakarta

Terdapat hadis yang menyebutkan, bahwa Dunia itu terlaknat, demikian pula isi dunia kecuali zikir kepada Allah, orang alim, serta orang yang belajar (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, al-Hakim, at-Thabarani, dan Ibnu Asakir). Merujuk pada keumuman hadis tersebut, maka orang jahil dan orang yang enggan belajar termasuk dalam kategori yang terlaknat. Demikian ungkap Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad.

Lanjutnya alam Risalah al-Mudzakarah, seseorang yang bodoh terjatuh dalam kemaksiatan baik dengan kehendak atau tanpa kehendaknya. Ia tak tahu mana perintah dan mana larangan Allah SWT. Dan satu-satunya cara untuk keluar dari lingkaran itu adalah dengan penerangan ilmu. Surat al-An’am ayat 54 menerangkan hal serupa, bahwa suatu tindakan buruk atau kejahatan bisa terjadi lantaran kejahilan pelakunya.

Kebodohan adalah satu hal yang buruk dan dibenci Allah SWT. Dalam satu hadis diceritakan, Ketika menciptakan kebodohan, Allah memanggilnya, “Majulah!”. Kebodohan itu justru mundur. Sebaliknya, ketika Dia memintanya untuk mundur, ia malah maju. Allah lalu mengatakan, “Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak menciptakan makhluk yang paling Kubenci selain dirimu. Aku jadikan dirimu seburuk-buruk makhluk-Ku.”

Dengan membaca kita akan selalu hidup dan menghidupkan. Tidak sedikit kisah-kisah tentang ulama dan tokoh berpengaruh yang tetap menemukan kebahagiaan saat diasingkan ataupun di penjara. Tak lain karena mereka tetap membaca, bahkan mereka bisa melahirkan karya-karya monumental. Seperti halnya Buya Hamka yang menelurkan Tafsir al-Azhar, juga sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang menghasilkan tetralogi fenomenal saat diasingkan di pulau Buru.

Melihat preseden tersebut, ungkapan yang menyatakan bahwa membaca adalah jendela dunia, menemukan makna dan bentuknya. Dalam ruang kecil, pengap, dan mungkin tak tersentuh cahaya surya, mereka tetap bisa menyusuri lipatan peradaban dunia, juga berkelana menapaki lorong-lorong sejarah manusia melalui buku juga perenungan sebagai jendela penerangan.

Masih banyak deret ungkapan mutiara Imam Ali juga pepatah kuno yang sarat nilai. Karena kerap terdengar, tak lantas menjadikan pepatah sekadar kalimat klise. Ungkapan-ungkapan tersebut menyimpan energi magis. Atas penghayatan pribadinya, banyak sekali bijak bestari yang mengkristalkan pengalaman dan keilmuannya menjadi nasihat padat yang tak lekang oleh zaman. Demikianlah formula dari kalam mutiara.

Ilmu dan wawasan dipelajari untuk meraih kebahagiaan serta keselamatan. Sebaliknya, karena kebodohan adalah musibah, ia mematikan yang hidup dan mengekalkan kesengsaraan. Realitas dan nash agama telah mengafirmasinya. Ilmu akan melahirkan kebijaksanaan. Karena semakin bernas seseorang, semakin ia piawai mengendalikan diri, terbuka, dan akan merasakan kelapangan. Tanpa ilmu, benak kita hanya akan diliputi prasangka dan ketidakpastian. Dengan membaca kita akan jauh dari keterasingan dan musuh kehidupan. Mari membaca! Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.