Berkompetisi dalam Kebaikan, Bukan Kebenaran

KhazanahHikmahBerkompetisi dalam Kebaikan, Bukan Kebenaran

Kerap kali disalahpahami, bahwa sebenarnya Islam mengajarkan agar umatnya berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan kebenaran. Ironisnya, klaim sebagai kelompok yang paling benar, padahal perbuatan atau sikapnya jauh dari mencerminkan kebaikan masih masif terjadi. Mengaku benar tetapi dengan cara yang memaksa, berbuat anarkis, dan emosional adalah ketidaksadaran diri kalau dirinya telah jauh dari kebenaran.

Allah SWT berfirman, Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah: 148).

Sebagaimana inti pesan ayat yang tersebut di atas, yaitu berkompetisi dalam berbuat kebaikan. Kebaikan yang relatif ini dapat kita mulai dengan melakukan perbuatan-perbuatan sederhana. Misal, Rasulullah SAW mensabdakan senyum sebagai ibadah, menyingkirkan kerikil di jalan, dan sebagainya. Sebab dari perbuatan kecil dampaknya akan besar dan maslahatnya dapat dirasakan oleh banyak orang.

Adapun alasan lain mengapa kita harus berlatih diri untuk berkompetisi dalam berbuat kebaikan adalah kehidupan seseorang bisa menjadi lebih berkualitas. Tidak menyia-nyiakan waktunya untuk berlama-lama merenungi nasib yang penuh misteri tanpa berbuat sesuatu. Menurut Thomas Alva Edison, bahwa gagasan atau inspirasi hanya hanya menyumbang 1 persen dan 99 persennya adalah perspirasi atau kerja keras untuk mewujudkannya. Dan ini yang dicontohkan Rasulullah SAW sebagai etos kerja.

Kebaikan yang masih dalam niat tetap disebut kebaikan. Namun, apa artinya ketika tidak ada tindakan untuk berbuat. sementara orang-orang yang bener-benar memerlukan pertolongannya membutuhkan uluran tangan secara nyata, tidak sekadar cukup dengan niat. Kualitas hidup memang berangkat dari diri kita sendiri yang merasakan manfaatnya, kemudian pada gilirannya orang-orang juga terlibat.

Baca Juga  Jihad Akbar dengan Berpuasa

Tingkat kebaikan dapat diukur dengan seberapa besar manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang. Namun, niat tulus memberi kebaikan kepada orang lain juga tak bisa dianggap sepele, walaupun yang dibantunya hanya seorangan saja. Karena bagaimanapun tidak semua orang memiliki potensi besar merangkul masyarakat. Namun, ketika semangatnya dalam menebar kebaikan penuh kesungguhan maka patut diapresiasi.

Walhasil, dengan maraknya masyarakat berkompetisi dalam kebaikan pada akhirnya kebenaran juga akan tutur menyertainya pula. Kita bisa saja memperingati seseorang untuk berbuat kebaikan dan mencegahnya dari kemunkaran, amar ma’ruf nahi munkar. Namun, sedikitpun kita tidak diperkenankan untuk memaksa. Setiap dosa itu ditanggung jawab masing-masing, tidak dibebankan kepada siapapun, baik orang tua kepada orang tuanya, orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya, dan seterusnya. Tugas kita hanya berusaha memberi nasihat atau peringatan. Rasulullah SAW sendiri sebagai utusan Tuhan tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan umatnya yang membangkang.

Sesunggnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni neraka (QS. Al-Baqarah: 119).

Dalam ayat lain juga disebutkan, Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan, sedangkan Kami-lah yang menghisab mereka (QS. Ar Ra’d: 40). Pada ayat tersebut lebih jelas lagi bahwa tugas kita hanya menyampaikan. Semoga kita termasuk dalam golongan ahli kebaikan dan kemanfaatan karena dalam kebaikan mengandung unsur kebenaran. 

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.