Pertemuan Paus Fransiskus dan Ulama Syiah Irak Simbol Toleransi Beragama

KolomPertemuan Paus Fransiskus dan Ulama Syiah Irak Simbol Toleransi Beragama

Pemimpin Vatikan, Paus Fransiskus, bertemu dengan ulama Syiah Irak terkemuka, Ayatollah Ali Sistani pada hari Sabtu (6/3/2021). Pertemuan ini menjadi momen penting dalam sejarah agama modern. Pasalnya, pertemuan itu tidak hanya untuk kalangan Katolik atau Kristen saja, tetapi juga menitipkan pesan perdamaian bagi semua yang teraniaya dan dialog dengan semua aliran Islam. Pertemuan tersebut sekaligus menjadi simbol kuatnya toleransi beragama yang dulu juga sudah pernah terjalin erat antara Kristen dan Islam.

Dalam sejarahnya, hubungan Kristen-Islam adalah hubungan persaudaraan dan perdamaian. Ajaran Islam merupakan kelanjutan dari ajaran-ajaran yang telah ada sebelumnya, termasuk di antaranya Yahudi dan Kristen. Zuhairi Misrawi dalam Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2018), menyebutkan bahwa Islam datang tidak dalam rangka menghadirkan sesuatu yang benar-benar baru bagi mereka, tetapi justru melanjutkan sejumlah tradisi yang berkembang di tanah Arab. Itu artinya, realitas sejarah di atas menitikkan agar antara umat Kristen dan Islam untuk saling mengedepankan toleransi beragama satu sama lain, karena dekatnya hubungan keduanya.

Faktanya, Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan praktik toleransi beragama yang sangat tinggi di antara penduduk Madinah saat itu, termasuk toleransi beragama antara Kristen dan Islam. Melalui Piagam Madinah, Nabi Muhammad SAW telah mempersaudarakan berbagai suku dan agama yang ada di Madinah untuk saling menghargai, menghormati, dan bertoleransi demi terwujudnya perdamaian yang abadi. Bahkan, Husein Sya’ban menyebut Piagam Madinah sebagai puncak toleransi dalam Islam.

Salah satu klausul yang disebut dalam Piagam Madinah adalah terkait kebebasan beragama. Orang Yahudi Bani Auf satu umat dengan kaum mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslim agama mereka, kecuali orang yang berbuat aniaya atau dosa maka dia tidak membinasakan kecuali dirinya dan keluarganya. Klausul kebebasan beragama tersebut sejatinya tidak hanya ditujukan kepada kaum Yahudi saja, tetapi juga kaum Kristen, Majusi dan yang lainnya. Dari Piagam Madinah ini juga, hubungan antara Kristen dan Islam kian manis dan harmonis.

Dalam konteks ini, kedatangan Paus Fransiskus ke Irak dan pertemuannya dengan ulama Syiah menjadi simbol komitmen toleransi beragama antara Kristen-Islam yang dulu pernah dirajut sejak zaman Nabi. Toleransi beragama harus terus menjadi wacana yang digelorakan guna membangunan persaudaraan yang kokoh dan menitipkan pesan perdamaian untuk semua kalangan, tidak hanya untuk Kristen-Islam, melainkan untuk semua umat beragama, sebagaimana disampaikan Paus Fransiskus dalam kunjungannya tersebut.

Baca Juga  Teladan Bung Karno Menempa Milenial

Kiranya, pertemuan simbolik tersebut bisa menjadi pengingat bagi kita semua, khususnya masyarakat di Tanah Air yang hingga kini masih terjerembab dalam konflik sekterian. Penyesatan Syiah dan Ahmadiyah misalnya, menjadi contoh paling nyata dari rendahnya sikap toleransi kita saat ini. Padahal, mereka masih dalam satu keyakinan teologi yang sama, ibadah yang sama, dan menyembah Tuhan yang sama pula. Namun, kenyataannya hal itu tak membuat salah satu kelompok untuk berhenti menyudutkan dan menyesatkan Syiah dan Ahmadiyah.

Pertemuan Paus Fransiskus dan ulama Syiah tersebut harusnya juga menjadi spirit kita untuk terus menguatkan sikap toleransi beragama di antara sesama umat Islam, bukan malah mencurigai dan menyesatkannya. Kalau Islam dan Kristen yang berbeda akidah saja bisa bersatu dan duduk berdampingan di Irak, maka hal serupa harusnya juga bisa berlaku untuk umat Islam di Indonesia.

Memang, sebagai bangsa yang plural dan majemuk, terkadang hal seperti itu sulit untuk dihilangkan. Namun, benturan-benturan sosial tersebut yang pada akhirnya hanya merusak rasa persaudaraan dan kerukunan di antara kita, baiknya memang ditanggalkan demi kebaikan kita bersama. Sebaliknya, kita harus membangun solidaritas bersama—saling menghargai, menghormati, dan bertoleransi—di antara sesama anak bangsa guna mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang lebih baik lagi.

Belajar dari sejarah dari masa lampau, bahwa sejatinya toleransi beragama bisa dipupuk bersama di manapun kita berada. Nabi Muhammad SAW telah mempraktikan hal tersebut. Begitu juga pertemuan Paus Fransiskus dan Ulama Syiah di Irak telah mencohtohkan hal serupa. Tugas kita saat ini adalah bagaimana membumikan toleransi beragama agar terus menjadi arus utama yang tak pernah lekang oleh waktu.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.