Sebagian Khalifah Mabuk Miras, Masih Mendewakan Khilafah?

KolomSebagian Khalifah Mabuk Miras, Masih Mendewakan Khilafah?

Belakangan, publik dihebohkan dengan wacana soal investasi minuman keras atau miras. Dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 (Perpres No 10/21), berisi tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, khususnya mengatur terkait investasi produk minuman keras/miras. Meski hal itu atas permintaan beberapa pemerintah daerah, sebelum akhirnya investasi miras dalam Perpres itu ditutup dan dicabut oleh Presiden Joko Widodo.

Hal itu membuat saya menggali memori ingatan beberapa buku yang saya baca dulu, bahwa sebagian pemimpin khalifah terdahulu, berbeda dalam beberapa hal dari sisi kehidupannya dengan pemimpin atau presiden di era kekinian dalam sistem yang diterapkan dunia global. Khalifah atau bisa kita sebut sebagai raja masa lalu, ternyata banyak juga yang menyukai dunia glamor dan mabuk-mabukan dengan minuman keras atau khamr. Kemudian yang jadi pertanyaan, masih adakah yang terus mengampanyekan sistem khilafah dan pemimpin khalifah yang dianggap suci bersih dari dosa dan tanpa cela?

Islam sejatinya tidak menetapkan secara khusus terkait sistem pemerintahan negara kekhalifahan atau khilafah. Sistem khilafah hanya produk ijtihad yang dihasilkan para pendahulu dalam rangka mengatur jalannya pemerintahan suatu wilayah. Sistem khilafah juga bukan bagian dari rukun iman yang berkaitan dengan akidah. Dengan begitu, berarti menolak sistem khilafah bukan berarti menolak Islam atau mengganggu keimanan. Demikian pula tidak masuk dalam rukun Islam yang wajib dilaksanakan orang Islam, seperti shalat, puasa, haji, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, maka pada Tahun 1924, sistem ini dihapuskan. Bangkitnya revolusi pemuda yang dipelopori Mustafa Kemal Ataturk yang terjadi d tubuh kekhalifahan Turki Utsmani, semakin membuat sistem khilafah tidak lagi relevan lagi. Selanjutnya, berdirilah negara-bangsa (nation-state) sebagai bagian dari produk ijtihad era modern, hingga saat ini.

Jika kita menilik sejarah pergolakan kekhalifahan masa lampau, kita akan banyak menemukan dinamika hal-hal positif, yang baik, istimewa, meski tidak sempurna, dan juga berbagai intrik politik, kehancuran, penderitaan, hingga yang menjijikkan. Dalam hal ini, saya hanya mengulas sedikit sisi keburukan sebagian khalifah pada Dinasti Umayyah yang jarang diungkap. Wajar saja mereka juga manusia, tentunya memiliki godaan besar untuk berbuat hal-hal terlarang dalam agama seperti menyukai miras, yang hanya sekadar untuk pengetahuan kita.

Khalifah pertama yang menggemari minum-minuman keras adalah putra Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680), Yazid bin Muawiyah (680-683). Karena suka mabuk-mabukan sehingga ia dijuluki Yazid al-Khumur atau Yazid Arak. Yazid memiliki binatang peliharaan, monyet yang sering ia latih agar dapat berinteraksi dengan manusia. Monyet itu bernama Abu Qays.

Monyet piaraannya itu seringkali ikut serta dalam jamuan minum-minuman dalam istananya yang megah di Damaskus. Betul, yang dimaksud adalah Khalifah Yazid, yang mengirimkan pasukannya ke Padang Karbala di Irak untuk mengekseskusi cucu Rasulullah SAW. buah hati Sayyidah Fatimah Azzahra, yakni Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Dikisahkan oleh Philip K. Hitti dalam buku History of The Arabs (2018), di era kekhalifahan Dinasti Umayyah (661-750), keluarga istana sering mengadakan pesta minuman bebas dan terbuka, disajikan dengan tarian, nyanyian, dan musik di sela-sela para gadis yang menuangkan minuman. Khalifah Yazid bin Muawiyah minum dan mabuk setiap hari; Khalifah al-Walid bin Abd al-Malik (705-715) minum dua hari sekali; Khalifah Hisyam bin Abd al-Malik (724-743) minum setelah shalat Jumat.

Khalifah Abd al-Malik bin Marwan (685-705) sekali dalam sebulan. Namun kemudian, sang khalifah semakin sering minum khamr sampai muntah-muntah, sehingga harus meminum obat-obatan yang dapat menenangkan.

Selanjutnya, Khalifah Yazid bin Abd al-Malik, atau Yazid II (720-724), ia dikenal sangat menyukai dua biduanitanya bernama Sallamah dan Hababah. Saat ia meminum khamr sambil memakan buah anggur, sang khalifah itu iseng melemparkan buah anggurnya ke atas dan menghujam ke mulutnya sampai kemudian ia tersedak buah itu, lalu jantungnya berdetak kencang dan merasa cemas dengan keadaannya saat itu.

Tapi dari kesemuanya, tidak ada yang lebih pantas mendapat gelar peminum khamr berat dan terhebat selain anak Yazid II, yaitu al-Walid bin Yazid bin Abd al-Malik atau al-Walid II (743-744). Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang keras kepala dan suka berpoya-poya. Diriwayatkan, Khalifah al-Walid II terbiasa berendam di kolam anggur yang biasa diminumnya hingga kedalaman dari kolam tempat ia berendam itu berkurang.

Baca Juga  Mengatasi Rasa Takut Kematian ala Raghib Al-Ishfahani

Tidak hanya itu, kekonyolan al-Walid II juga diriwayatkan, suatu ketika ia membuka al-Quran, kemudian mata merahnya karena suka mabuk itu, tertuju pada ayat yang berbunyi, “Dan binasalah orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala,” lalu ia mengambil anak panah dan mengarahkan panahnya hingga al-Quran yang tadi ia buka robek dan rusak.

Bahkan Prof. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Islam Yes Khilafah No: Dokrtrin dan Sejarah Politik Islam dari Khulafa ar-Rasyidin hingga Umayyah pada jilid ke-I (2018), menyebut al-Walid bin Yazid ini sebagai Fir’aunnya Umat Islam, yang keluar dari nilai-nilai Islam, yang tidak hanya melanggar syari’at Islam, tapi juga berani mengolok-olok Islam.

Tidak hanya para khalifah, berdasarkan beberapa referensi komprehensif, bahwa anak dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, yang bernama Abdurrahman bin Umar pun suka meminum minuman khamr. Menurut Yahya bin Yazid Al-Hukmi Al-Faifi dalam bukunya yang berjudul, Sang Legenda Umar bin Khattab: Riwayat Hidup, 100 Petuah Bijak, 200 Kisah dan Hikmah (2012), bahwa ketika berada di Mesir, Abdurrahman bin Umar bersama Abu Saru’ah bin Al-Harits seringkali mabuk karena minuman keras dan berperilaku amoral.

Ketika Abdurrahman bangun pagi, ia langsung menghadap Gubernur Mesir, Amr bin Ash dan mengatakan, semalaman minum khamr sampai mabuk, tapi kini ia sudah suci. Mendengar hal itu, saudara Abdurrahman bernama Abdullah bin Umar marah, kemudian langsung membawanya ke suatu ruangan dan memangkas seluruh rambutnya. Pada saat itu, hukum had berupa pembotakan rambut adalah suatu hal yang hina.

Setelah itu, Gubernur Mesir Amr bin Ash menghukumnya dengan mencambuk. Kabar itu sampai ke Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah, segera sang pemimpin Muslim itu mengirim surat ke Gubernur Mesir untuk secepatnya membawa anaknya itu ke Madinah. Bukannya mendapat perlindungan, justru malah kembali dicambuk oleh ayahnya. Tidak hanya itu, Abdurrahman kemudian diasingkan. Beberapa bulan kemudian, Abdurrahman bin Umar meninggal dunia.

Demikian kira-kira sejarah kelam yang berkaitan dengan miras di kehidupan para khalifah terdahulu. Karena pada hakikatnya, seiring berjalannya waktu dalam melampaui perubahan zaman, perlu kembali mengambil nilai-nilai baik dari masa lalu, menerima nilai-nilai baru yang lebih baik. Atau dalam istilah Nahdlatul Ulama disebut, Al-Muhafazhah ‘alal qadim as-salih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Dan tentu saja meninggalkan hal-hal yang buruk.

Dalam sisi hukum pemerintahan, yang paling penting dalam Islam adalah yang membawa kemaslahatan. Ketika ada suatu kemasalahatan, maka di sana hukum Allah berlaku. Misalnya, dalam pemerintahan terkandung prinsip persatuan atau ukhuwwah, baik persatuan sesama Muslim (ukhuwwah Islamiyyah), sesama warga negara (ukhuwwah wathaniyyah), dan sesama manusia di seluruh dunia (ukhuwwah insaniyyah).

Prinsip yang lain adalah lebih mengedepankan prinsip syura atau musyawarah dalam menangani pelbagi problematika pemerintahan yang kompleks. Kesetaraan dan persamaan di hadapan hukum. Menegakkan keadilan sosial, dan maqashid as-syari’ah. Dalam periode Khulafa ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan seterusnya, semua itu menetapkan dan mengatur urusan negara. Karena pada prinsipnya, Islam tidak mengatur sistem negara secara rinci dan baku.

Untuk itu, Pancasila dinilai tepat, sesuai dengan prinsip-prinsip di atas. Propaganda yang selalu dikampanyekan: Sistem khilafah adalah solusi atas segala kompleksitas permasalahan, patut dipertanyakan. Memang tampak indah bernuansa Islami dengan slogan-slogannya kaffah, hijrah, dan seterusnya. Persoalan korupsi, banjir, harga-harga pokok yang naik melambung, reklamasi, sampai bertengkar dengan istri atau sang kekasih pun mungkin solusinya sangat sederhana, yakni khilafah.

Dengan menyederhanakan solusi—tapi tidak spesifik dan konkret di era kekinian—mereka semua sebenarnya tengah berusaha melakukan provokasi dan propaganda dengan mengaburkan fakta historis, juga tidak melihat realita peradaban dunia global di era sekarang. Bahwa banyak kisah dan pergolakan masa kelam kekhalifahan, dari mulai khalifah yang suka mabuk, haus darah, hingga suka sesama jenis.

Islam oke sebagai sebuah agama untuk membangkitkan spiritualitas sosial kehidupan, tapi tidak pada sistem khilafah untuk pemerintahan, karena pasti bentuknya dinasti kerajaan atau monarki absolut. Karena sistem demokrasi Pancasila yang kita anut, sudah terbaik dari segala sistem, yang sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi kaum khilafah terinfiltrasi oleh paham dan ideologi transnasional. Jadi masih mau dikibulin mereka untuk terus mengagungkan sistem khilafah?[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.