Syahid di Tengah Pandemi

KolomSyahid di Tengah Pandemi

Di negeri kita, kasus kematian karena Covid-19 mencapai ratusan orang setiap harinya. Hingga hari ini, sudah 35.014 penduduk Tanah Air meninggal akibat terinfeksi virus mematikan ini. Angka kematian akibat pandemi terus meningkat, kita disesakan oleh kabar anggota keluarga dan anggota masyarakat yang kita cintai kehilangan nyawa dalam isolasi, dan tanpa dapat dimandikan, disembahyangkan, dan dimakamkan sesuai budaya yang biasanya berlaku.

Ketika seseorang kehilangan teman dekat atau orang yang dicintainya akibat Covid-19, masyarakat Muslim saling meyakinkan bahwa ‘almarhum yang meninggal karena Covid-19 adalah syuhada’. Istilah yang digunakan untuk orang-orang heroik yang mengorbankan hidupnya demi Tuhan. Pengakuan bahwa seseorang meninggal dalam keadaan Syahid, paling tidak, menumbuhkan harapan terhadap kasih sayang dan pahala Tuhan kepada almarhum. Tetapi ini bukahlah sekadar penghiburan semata. Pada dasarnya, memang ada ruang untuk menyebutkan kematian akibat Covid-19 sebagai kematian yang mendapat status syahid di akhirat kelak.

Pada awal Covid-19 mewabah secara global, Dar al-Ifta al-Mishriyyah, lembaga fatwa di Mesir, telah merilis fatwa tentang “Seseorang yang wafat karena virus Corona dianggap sebagai martir”. Pada 22 Februari 2020 lalu, Syaikh Syauqi Ibrahim Allam, mufti besar Mesir sekaligus Profesor di bidang Fikih dan Syari’ah, mengeluarkan pendapat bahwa wabah virus Covid-19 ini dapat di kagetogikan ke dalam tha’un. Tha’un atau pandemi ialah segala macam penyakit yang mewabah dan menjangkit masyarakat secara umum, yang di sebutkan dalam beberapa hadis sebagai salah satu sebab mati syahidnya seseorang. sabda Nabi SAW, “Siapapun yang meninggal karena Tha’un adalah seorang syuhada”.

Lebih lanjut, dalam fatwa tersebut di jelaskan, syahid karena virus korona termasuk pada kelompok ‘syuhada di akhirat’. Yaitu orang yang mati syahid selain disebabkan peperangan, yang penyebabnya disebutkan dalam hadis-hadis Nabi SAW. Walaupun kelompok syuhada ‘akhirat’ memang diperlakukan seperti jasad manusia biasa di dunia, tidak seperti para martir, namun di akhirat ia mendapatkan pahala syahid. Menurut Syaikh Syauqi Ibrahim Allam, syariat Islam memperluas pintu syahid ini sebagai kebaikan dari Allah bagi umat Muhammad SAW, serta berita gembira bagi umat Islam.

Sebuah hadis juga menggambarkan bagaimana Nabi SAW cukup menyayangkan jika syahid hanya dipahami sebagai kematian akibat perang saja, seperti yang selama ini berkembang dalam benak kita. Sebab, penyempitan itu berarti menyedikitkan klasifikasi umatnya yang syahid. Beliau kemudian memberikan petunjuk bahwa, beberapa sebab kematian selain perang pun, ada yang dapat digolongkan sebagai mati syahid, termasuk kematian akibat wabah.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bertanya kepada sahabatnya, ‘Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian? Mereka menjawab, Orang yang gugur di medan perang itulah syahid ya Rasulullah. Rasulullah SAW merespons, Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid. Para sahabat bertanya ‘Mereka itu siapa ya Rasul?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah (bukan karena perang) juga syahid, orang yang tertimpa tha‘un (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid,’” (HR Muslim).

Baca Juga  Menelaah Gerakan Islam Puritan

Nah, menurut sebagian ulama yang mengomentari hadis-hadis tentang jenis kematian syahid selain perang, berbagai kematian itu, dinilai sebagai syahid di akhirat sebab proses kematian yang mereka jalani tidak seperti kebanyakan manusia lainnya. Derita yang mereka lalui itu bisa jadi lebih menyakitkan dari yang lainnya. Imam Nawawi ketika mengomentari hadis riwayat Bukhari no. 2617 tentang lima golongan syahid, mengatakan bahwa kematian yang berat merupakan penyuci dosa-dosa mereka terdahulu, dan Allah SWT mengangkat derajat mereka sebagai syahid.

Jadi, dalam perspektif Islam, mereka yang meninggal karena COVID-19 dapat diklasifikasikan sebagai Syuhada juga, berdasarkan hadis Nabi SAW. Bahkan, lebih luas dari itu, orang yang berjuang dan bersabar di tengah keadaan wabah, yang tidak sampai meninggal pun, akan dijanjikan pahala yang sama. Nabi SAW bersabda, tiada seorang hamba yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar, seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid (HR. Bukhari: no. 3474)

Tercatat di sini bahwa, Jika kita sabar dan optimis pada ketetapan Allah di masa pandemi ini, maka bukan hanya yang meninggal karena wabah saja yang akan menerima pahala kesyahidan, tetapi yang selamat juga. Siapapun yang merealisasikan kualitas kesabaran dan usaha yang sungguh-sungguh dalam menghadapi wabah, akan mendapatkan pahala yang sama dengan kesyahidan, termasuk pula bagi yang selamat. Hal serupa dijelaskan Ibn Ḥajar dalam Fath al-Bari (10:194) ketika mensyarah hadis tersebut. Oleh karena itu, umat Islam harus berhati-hati dan mengikuti aturan untuk menghindari penyebaran penyakit menular, karena itu adalah bagian dari jihad yang akan diberi ganjaran pahala besar.

Jadi, dapat kita rasakan betapa luasnya kebaikan dan kasih sayang Allah SAW bagi umat Nabi SAW, dengan membuka pintu kesyahidan sebanyak-banyaknya. Menariknya, syahid di tengah pandemi bukan sekadar tentang kematian saja. Segala upaya untuk menanggulangi wabah dan menahan penderitaan akibat pandemi dengan sabar, keikhlasan dan harapan kepada Allah SWT, dapat menuai pahala yang luar biasa di akhirat. Meskipun demikian, pahala ‘kemartiran di akhirat’ adalah masalah yang tak dapat terlihat dengan pasti. Tidak ada manusia yang dapat menentukan status orang di akhirat, semuanya pada akhirnya terikat oleh penghakiman ilahi. Semoga Allah SWT menguatkan kita semua dan menaikkan derajat mereka yang telah meninggal sebagai Syahid.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.