Membumikan Fikih Antroposentris

KolomMembumikan Fikih Antroposentris

Masih dalam suasana pandemi, kita dikejutkan dengan kasus yang menggambarkan bagaimana nalar fikih sempit menjangkiti sejumlah masyarakat Muslim. Empat tenaga kesehatan (nakes) laki-laki dari RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar, Sumatera Utara dilaporkan ke polisi karena memandikan jenazah wanita yang positif Covid-19. Mereka dijerat pasal tentang penistaan agama. Keempatnya diadukan karena dianggap telah menyalahi hukum Islam terkait tata cara memandikan jenazah wanita, di mana dilakukan oleh laki-laki yang bukan mahramnya.

Pelaporan tersebut mencerminkan pemahaman fikih yang kaku dan tekstualis. Memang manusiawi jika sang suami merasa tidak terima ketika jenazah istrinya diurus oleh laki-laki luar. Namun, kita tak bisa menanggalkan begitu saja konteks yang melatari kejadian tersebut sampai-sampai gegabah membawanya ke ranah hukum. Aturan fikih terlanjur dianggap sebagai supremasi beragama. Hingga yang secara kasat mata seolah melanggar, sekonyong-konyong dituduh menistakan agama. Padahal, tidak demikian adanya.

Sekian abad lamanya diskursus fikih telah mendominasi cara pandang keberagamaan umat Islam dan telah membentuk sistem kehidupan masyarakat. Repotnya, fikih tidak lagi dilihat sebagai hasil kerja intelektual yang nisbi dan fleksibel, melainkan telah menjadi agama itu sendiri, yang bersifat sakral, doktrinal, dan dogmatis. Masyarakat Muslim pun berkembang dengan pandangan biner; hitam-putih dalam menilai persoalan kemanusiaan. Dan terkesan menolak faktor-faktor lain yang melingkupi masyarakat untuk dijadikan pertimbangan dalam melahirkan hukum.

Kajian-kajian fikih yang berkembang di masyarakat selama ini hanya menumpukan keputusan akhir pada opsi antara halal dan haram. Tidak mengacu pada aspek yang lebih substansial, yaitu pengkajian menyeluruh menyangkut persoalan umat yang berbeda secara ruang dan waktu. Untuk menghasilkan hukum yang lebih terbuka dan tepat sasaran, pendekatan antroposentris (berpusat pada manusia) menjadi satu hal yang perlu.

Saya begitu miris mendengar isu penistaan agama semacam ini. Lucu rasanya jika petugas medis yang menjalankan profesinya diasumsikan sebagai penista agama. Islam adalah agama yang ramah dan mempermudah. Kita mengenal teori maslahat. Para sarjana Muslim klasik juga telah meramu kaidah ushul fikih yang layak diperankan dalam membaca peristiwa semacam ini.

Perlu diketahui bersama–agar fikih bisa dipahami lebih luwes dan tak dogmatis–, bahwa disiplin hukum Islam (fikih) adalah anak kandung sejarah. Artinya, kemunculan fikih tak lepas dari mata rantai sosio-kultural, faktor geografis, ideologis, dan psikologis yang melingkupi.

Fikih adalah karya intelektual ulama terdahulu yang bersifat ijtihadi, bisa benar tapi juga menyimpan kemungkinan salah. Para ulama berupaya mengorelasikan antara keragaman kondisi dan persoalan manusia dengan interpretasi pemahaman teks. Suatu model fikih bagi masyarakat tertentu, belum tentu sesuai jika diterapkan pada obyek yang lain.

Banyaknya mazhab fikih yang berkembang sepanjang sejarah adalah bukti, bahwa hukum Islam tidak sesempit yang dibayangkan. Andrew Rippin (1990) menyatakan, bahwa pluralitas dalam aspek hukum dan agama telah sejak lama diperlihatkan oleh mazhab-mazhab pertama yang muncul. Tiap mazhab memiliki tradisi intelektualnya sendiri yang dikembangkan berdasarkan pada aspek antropologisnya.

Imam Abu Hanifah yang tinggal di kota metropolitan Kufah, Irak, melahirkan cara pandang yang relatif rasional dan inklusif (ahlu al-ra’yi). Menyesuaikan orientasi masyarakat urban di mana persoalan mereka cenderung beragam. Mazhab hukum yang dirintis Imam Malik lebih bercorak riwayat, mengingat ia adalah seorang pakar hadis (ahlu al-riwayah) yang bermukim di kota Nabi, Madinah. Sebab itu, Imam Malik juga dikenal banyak menggunakan tradisi Madinah sebagai dasar hukum.

Sedangkan Imam Syafi’i disebut sebagai ulama yang mengintegrasikan pendekatan rasio dan riwayat kepunyaan mazhab Hanafi dan Maliki. Tersebab perbedaan tempat, Imam Sayfi’i bahkan bisa melahirkan dua produk hukum yang berbeda, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di Baghdad dan qaul jadid (pendapat baru) di Mesir.

Baca Juga  Dakwah di Medsos ala Gus Mus

Adapun Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadis. Dikenal sebagai ulama fikih yang ketat dalam memakai pendekatan tekstual (mutasyaddid). Sebagian menyebutnya sebagai ulama fundamentalis. Sedemikian jelas, bahwa fikih adalah hukum yang inheren dengan aspek antropologis. Oleh karena itu, fikih tidak bisa jika hanya dipahami secara teosentris.

Cara pandang teosentris adalah konsep pemahaman yang bersifat doktrinal-literalistik dan selalu terpaku pada bunyi teks yang dianggap sebagai keputusan mutlak Tuhan. Tanpa mempertimbangkan akar permasalahan yang mewarnai dinamika kehidupan manusia. Sederhananya, teosentris adalah nalar yang melangit, sedangkan antroposentris ialah cara pandang yang membumi, bergulat langsung dengan persoalan riil yang dihadapi manusia.

Sebagai kesatuan norma hukum praktis, fikih adalah referensi yang diperlukan untuk menjawab persoalan masyarakat. Adapun persoalan dominasi cara pandang teosentris memiliki akar penyebab yang kompleks. Pertama, menurut kerangka analisis al-Jabiri, fikih pada dasarnya berpijak pada nalar bayani, di mana kedudukan teks sedemikian sentral. Jadi, secara karakteristik fikih memang potensial bernuansa tekstual.

Kedua, sejarah mendeteksi penyebab terpuruknya fikih pada keterpakuan teks. Hal tersebut berkaitan erat dengan kerapuhan di kalangan umat Islam sekitar abad 11-14. Fikih terjebak pada otoritarianisme penguasa. Disiplin hukum Islam ini dijadikan instrumen penguasa untuk menghalangi kebebasan berpikir Muslim dalam menafsirkan teks.

Tesis tersebut diperkuat oleh kritik Khaled Abou El fadl tentang otoritarianisme. Menurut Khaled, pendekatan teosentris adalah embrio dari sikap otoriter. Hal ini dapat dicermati dari keberadaan fatwa-fatwa keagamaan yang terbaca sebagai penolakan terhadap pembaruan pemikiran Islam. Cak Nur menambahkan, bahwa model fikih yang berkembang sekarang adalah mistifikasi berlebihan terhadap seseorang yang dianggap “pewaris kebenaran”.

Lebih lanjut, dalam analisis Ahmet T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan, disebutkan adanya aliansi penguasa dan ulama ortodoks yang berusaha menghalangi laju kreativitas intelektual karena dianggap dapat mengancam kekuasaan. Dari sini, kemudian tercetuslah narasi bahwa pintu ijtihad tertutup. Dan tradisi taklid pun menjadi spirit baru yang awet.

Kita tidak bisa mematut diri pada kerangka pandang teosentris untuk mengatasi persoalan kemasyarakatan yang kian kompleks dengan variabel yang semakin beragam. Sebagaimana contoh kasus nakes di atas. Pendekatan hukum yang kaku hanya akan menyebabkan efek domino yang merugikan.

Secara konseptual, gagasan fikih antroposentris adalah paradigma hukum yang selaras dengan kebutuhan umat manusia, karena berangkat dari realitas. Dengan demikian, hukum yang dihasilkan pun akan terasa lebih humanis, berkeadilan, dan bermartabat. Dan di saat yang sama menyemarakkan diktum, bahwa Islam adalah agama yang selalu relevan untuk semua ruang dan zaman.

Setidaknya ada tiga ringkasan cara kerja dari pendekatan antroposentris. Pertama, bersifat deskriptif dan kontekstual. Kedua, menawarkan keterbukaan dan pendekatan holistik, yang tidak terbatas pada aspek normatif hukum saja, dan tidak mengabaikan kompleksitas masalah. Ketiga, membentuk wawasan yang lebih cair antara Muslim dengan yang lain, karena mengacu pada situasi riil.

Formula antroposentris adalah kombinasi dari pengamatan terhadap realitas/tradisi dengan konsep maslahat, yang selanjutnya didialogkan dengan teks-teks agama. Rumusan tersebut menjadi penting, karena dapat berkontribusi pada progresifitas serta penguatan nalar kritis masyarakat dalam menyikapi keragaman mazhab dan penafsiran. Paradigma antroposentris adalah sebuah keniscayaan dari relasi erat antara fikih dengan manusia. Untuk itu jelas, bahwa agama/syariat hadir untuk mengatur harmoni kehidupan manusia, bukan untuk membahagiakan Tuhan hingga mengorbankan kemanusiaan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.