Zuhairi Misrawi, Santri Par-Excellence yang Cocok Menjadi Dubes Arab Saudi

BeritaZuhairi Misrawi, Santri Par-Excellence yang Cocok Menjadi Dubes Arab Saudi

“Jika Mekkah menjadi kota suci kaum Muslimin karena terdapat Ka’bah yang merupakan kiblat shalat, Madinah juga menjadi kota suci kedua kaum Muslimin karena terdapat Masjid Nabi yang merupakan simbol kebangkitan Islam,” begitu tulis Kiai Zuhairi Misrawi—atau lebih akrab disapa Gus Mis—dalam bukunya, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW. (2009). Belakangan ini, tersiar kabar santer bahwa Gus Mis ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Arab Saudi.

Zuhairi Misrawi, yang akrab dipanggil Gus Mis banyak dikenal publik sebagai tokoh intelektual muda Nahdlatul Ulama. Ia sempat aktif di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam PBNU), dan banyak forum NU lainnya seperti Panitia Pengarah Muktamar NU. Gus Mis juga dikenal produktif dalam karyanya dan progresif dalam pemikiran serta pergerakannya. Ia pun sudah aktif lebih dari 16 tahun di dunia politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai alat juang politiknya.

Di PDI-P, ia dulu pernah menjadi staff khusus Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Almarhum Bapak Taufik Kiemas, suami dari Presiden ke-5 Indonesia, Ibu Megawati Soekarno Putri. Gus Mis juga aktif di Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) PDI-P sejak tahun 2006 hingga sekarang.

Gus Mis menganggap KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, KH. Masdar F. Masudi, Cak Nur (Nurcholis Madjid), KH. Said Aqil Siradj, KH. Jalaludin Rahmat (Kang Jalal), KH. Husein Muhammad, dan Buya Syafi’i Maarif, sebagai tokoh inspirator yang mewarnai khazanah pemikirannya. Dan tentu saja Presiden Soekarno yang teramat menginspirasi di setiap perjuangan politik kebangsaannya.

Ditunjuknya Gus Mis sebagai Dubes Arab Saudi oleh Presiden Jokowi, mengingatkan saya pada kedekatan Presiden Soekarno dengan Baginda Raja Saud bin Abdul Aziz al-Saud. Cindy Adams dalam buku Biografi Sukarno, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1965) menulis bahwa, Sang proklamator itu disambut oleh Raja Saud saat berkunjung ke Arab Saudi pada Tahun 1955, untuk menunaikan ibadah haji.

Raja Saud memberi cinderamata berupa kain kiswah atau kain hitam yang digunakan sebagai penutup Ka’bah. Selain itu, Raja Saud juga memberikan sejumlah fasilitas seperti mobil Chrysler Crown Imperial yang kemudian dibawa pulang ke Indonesia. Sebelumnya, Bung Karno telah membawa banyak sekali bibit pohon mimba untuk di tanam di Padang Arafah. Bibit yang ditanam itu kini dikenal dengan pohon Syajarah Sukarno atau Pohon Soekarno. Pohon ini juga yang menjadi simbol kedekatan antara kedua negara.

Dalam konteks ini, Gus Mis yang merupakan anak ideologis Bung Karno, pantas melanjutkan perjuangan dalam menjalin hubungan persahabatan diplomatik yang harmonis, sebagaimana hubungan antara Raja Saud dan Bung Karno. Mengingat kiprah dan perjalanan hidup Gus Mis, yang telah mengambil spirit perjuangan Bung Karno.

Perjalanan keilmuannya dimulai dari Pondok Pesantren TMI al-Amien (1990-1995), Prenduan, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Ia juga pernah menjadi santri Perhimpunan Penghafalan al-Quran (Jam’iyyah Tahfidzil Quran) (1989-1990). Di pondok inilah ia bermimpi tentang Mekkah dan ibadah haji yang dituliskannya melalui buku Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim.

Kemudian di pesantren ini pula ia menekuni pembelajaran bahasa Arab dengan dasar keilmuan Islam, seperti ulumul Quran, hadits, ilmu fiqih, sastra, dan filsafat. Selama menjadi santri, ia banyak meraih juara satu dan banyak memperoleh prestasi gemilang dalam bidang tulis-menulis.

Setelah kurang lebih 6 tahun nyantri, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir (1995-2000). Selama di sana, ia menyibukkan diri di dunia tulis-menulis sekaligus menjadi redaktur di berbagai media, serta mengikuti forum pemuda Muslim se-dunia di Alexandria, Mesir.

Ia banyak menyelami arus pemikiran dan aktif berdialog dengan sejumlah ulama terkemuka dan kontemporer, seperti Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Hassan Hanafi, Sayyed al-Thanthawi, dan lainnya. Dari Mesir ini pula, ia dengan kebanggaan tersendiri mengikuti penjaringan tenaga musiman haji—saat usianya menginjak 22 tahun—yang menjadi impiannya sejak muda kala menjadi santri dulu.

Sebagai seorang santri kampung ujung timur pulau garam, Sumenep, Madura, yang jauh di Pulau Nusantara, betapa takjub ia bisa hadir mengunjungi dua kota suci. Bagi orang Madura, dua kota suci itu—Mekkah dan Madinah—bagaikan pulang ke kampung sendiri, katanya. Dua kota yang senantiasa dirindukan setiap Muslim di seluruh dunia. Kota yang selalu memiliki tempat di hati setiap Muslim untuk mengisi ruang-ruang spiritual di tengah arus modernitas.

Buku Mekkah dan Madinah yang Gus Mis tulis dengan penuh dimensi ruhaniyah yang komprehensif, menggambarkan betapa eksotik terpancar kebahagiaan dalam perjalanan di Tanah Air Nabi itu, sehingga membawa pembacanya berdecak kagum mengikuti alur cerita, termasuk saya sendiri. Sampai pada akhirnya saya merasa tersentak, takjub melihat perjalanan panjang kehidupan Gus Mis yang begitu banyak menghadapi tantangan itu. Kok bisa pas banget gitu ya Presiden menunjuk Gus Mis sebagai Dubes di Arab Saudi? Demikian komentar istri saya yang juga mengikuti perjalanan hidup Gus Mis, yang penuh dinamika dan kompleks melalui tulisan dan karyanya.

Baca Juga  Keadilan Menurut Bung Hatta

Saya lebih banyak belajar setelah mengenalnya. Takjub akan kedalaman dan samudera keilmuannya, baik melalui buku-buku, tulisan-tulisan di berbagai media mainstream, dan banyak karyanya yang lain. Sebuah karya dengan paradigma berperadaban excellent, di antaranya, buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan (2010), Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian (2010), dan karya agungnya yang paling istimewa, Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alamin (2017), dengan kata pengantar oleh Gus Dur. Buku-buku ini dikemas dengan bahasa yang renyah sehingga mudah saya lahap dan meresap.

Tidak diragukan lagi, sebagai seorang santri nasionalis, kader Nahdlatul Ulama, dan seorang cendekiawan Muslim yang menjadi teladan anak-anak muda NU, pimpinan Moderate Muslim Society itu dinilai cocok memangku posisi sebagai Dubes Indonesia untuk Arab Saudi. Hal Ini merupakan langkah (sangat) jitu yang diambil oleh presiden, mengingat ia pernah menulis dua buku fenomenal. Dua buku itu—Mekkah dan Madinah—yang dicetak ulang hingga terjual puluhan ribu, mungkin ratusan ribu eksemplar oleh penerbit Kompas pada Tahun 2018 lalu.

Gus Mis tidak hanya pantas diposisikan sebagai Dubes Arab Saudi, melainkan juga tepat untuk menangani tugas-tugas berat negara ke depannya, seperti pelayanan urusan umrah dan haji, sektor pelayanan ketenagakerjaan seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW), urusan diplomatik, kerjasama inovatif dan investasi yang saling menguntungkan antara Indonesia-Arab Saudi, dan seluruh aspek strategis kolaboratif di antara kedua negara dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional.

Lebih-lebih Arab Saudi yang dikenal negeri konservatif itu, kini memulai babak baru dalam merespons perubahan besar generasi milenial untuk mereformasi negerinya menjadi lebih moderat. Hal itu terkonfirmasi ketika Pangeran Mohammed bin Salman menginginkan kehidupan di Saudi lebih moderat dan menyebut rencananya itu sebagai upaya ‘memulihkan’ Islam, saat wawancara dengan New York Times (detik.com).

Dengan ditunjukknya Gus Mis sebagai Dubes Indonesia untuk Arab Saudi, semakin memperkuat hubungan kedua negara tersebut. Bagi saya, Gus Mis bukan hanya senior teladan, tapi sudah saya anggap sebagai seorang guru. Sang teladan dalam ketekunannya membaca buku, konsistensi menulis, berolahraga, segala aktivitas, dan beberapa kegiatannya membuat saya menyadari betapa saya selama ini telah menyia-nyiakan banyak waktu luang untuk belajar.

Pergerakan, keberanian, dan perjuangannya dalam kemanusiaan, rasa cintanya terhadap Indonesia dan Nahdlatul Ulama, semakin membuat saya mengeluh, mengapa saya tidak kenal sejak dulu untuk “merampok” inspirasi dan ilmu lebih banyak darinya! Seorang santri par-excellence yang kini berdiri sejajar dengan para kampiun pemikir Muslim Tanah Air itu segera berangkat ke Tanah Air Nabi untuk menunaikan tugas penting negara, Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi.

Saya kira, Arab Saudi sejalan dengan Gus Mis yang sangat dikenal toleran, seorang Muslim inklusif, pluralis, dan multikulturalis dalam pandangan agama. Mungkin saja Gus Mis dapat menjembatani maksud dari Arab Saudi yang mulai menapak jalan moderat itu. Salah satu pemikir filantropi Muslim muda terbaik yang dimiliki Indonesia, akan kembali ke tanah suci, tanah Hijaz.

Penunjukan Presiden Jokowi dan Kementerian Luar Negeri itu merupakan langkah brilian, paling cocok dalam menunjuk santri par-excellence, Gus Mis menjadi Duta Besar Arab Saudi. Tokoh yang menginspirasi Gus Mis, Bung Karno pernah mengatakan dalam pidatonya pada 2 Februari Tahun 1963, “Saya dedicate saya punya hidup, I dedicate my life to what? To my country. To what? To my idealism. To what? To God, Allah Subhanahu Wata’ala.”

Saya yakin, Gus Mis akan mampu mengemban amanah yang diberikan oleh Presiden Jokowi sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi—apalagi ia adalah seorang santri par-excellence—dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dan tentu saja tidak sabar menantikan pelantikannya, kemudian saya mengucap selamat atas capaian dan impian segala perjuangan. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.