Wawasan Peradaban Islam dalam Menghadapi Pandemi

KolomWawasan Peradaban Islam dalam Menghadapi Pandemi

Sudah lebih dari setahun lamanya, kita berjuang menghadapi Covid-19. Kabar duka telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Perasaan takut sakit, cepat mati, kehilangan orang yang dicintai, berpisah dari keluarga, merupakan kecemasan umum yang diderita hampir setiap orang. Selain itu, berbagai peristiwa sosial juga memperburuk kondisi ini. Kasus penimbunan masker, korupsi bantuan sosial, berita bohong, stereotip pasien, provokasi dan pelanggaran protokol kesehatan, menunjukkan bagaimana pandemi ini juga berdampak pada kemunduran moral masyarakat. Berbagai perasaan negatif dan perilaku sosial yang egois sepeti itu, apabila dibiarkan, akan melemahkan kekuatan kita untuk bangkit dari pandemi ini.

Penting untuk disadari bahwa cobaan dan musibah seperti ini, bukanlah yang pertama. Situasi serupa terus berulang sepanjang sejarah umat manusia. Khazanan Islam, di antaranya, menyimpan banyak catatan berharga dalam mengahdapi situasi pandemi serupa. Wawasan ini amat penting, dalam Arabia before Muhammad misalnya, puluhan tahun lalu De Lacy O’Leary berkomentar, “sejarah perjalanan epidemi memiliki pengaruh yang luas dalam mengendalikan sejarah politik dan budaya umat manusia, yang mungkin lebih luas daripada perang dan ekspansi kekaisaran”.

Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa, pandemi berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan. Kita mungkin telah merasakan setiap detail masalah sosial pandemi yang dikisahkan seorang sejarawan Mesir, Al-Maqrizi. Korupsi, manipulasi, keegoisan, dan eksploitasi merajalela, di saat penutupan masjid dan kematian banyak Ulama terjadi selama wabah Mesir pada Abad ke-15. Penderitaan sosial semacam ini memang tidak tertahankan, ditambah lagi akhir yang tidak kunjung pasti.

Di Tanah Air sendiri, sudah 34.691 saudara kita kehilangan nyawa akibat Covid-19. Sebanyak 157,148 orang harus diisolasi dan berpisah dari keluarganya. Yang meninggal maupun yang hidup sama-sama menjadi ‘korban’ atas pandemi ini. Banyak orang merasakan kepedihan pasca kehilangan beberapa anggota keluarganya sekaligus dalam waktu yang singkat. Selain itu, mereka juga tidak dapat melayani jenazah orang tua, adik, kakak, atau keluarga tersayang dengan normal. Sehingga kesedihan, ketidakberdayaan, dan penyesalan mendalam di era pandemi ini benar-benar mencekam.

Namun demikian, peradaban Islam mewariskan wawasan yang dapat diandalkan untuk menghadapi pandemi. Pesan-pesan Nabi SAW dan spiritualitas Islam banyak menginspirasi masyarakat Muslim untuk memandang sisi rahmat Tuhan di balik pandemi, menghadapi segala ujiannya, serta menjadikannya sebagai kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah dan sosial.

Wawasan dalam menghadapi pandemi dalam nuansa iman dan identitas Muslim, cukup menarik untuk kembali ditelisik. Ibn Hajar al-ʿAsqalani, dalam kitabnya yang sangat popular dirujuk semasa pandemi ini, Badzl al-Maʿun fi Fadl al-Thaʿun, menginformasikan tentang dampak sosio-psikologis yang cukup positif di tengah umat Islam saat pandemi terjadi sekitar abad ke-14. Di sana, orang-orang mulai memperbaiki hubungan dengan musuhnya, menjadi lebih baik dan lebih lembut dengan tetangga, membebaskan budak, meningkatkan karakter baik, mengevaluasi kembali nilai-nilai mereka, dan saling bermaaf-maafan. Hal ini merupakan fenomena logis yang semestinya terjadi di kalangan Muslim kita juga, bukan?

Seorang Muslim, sebenarnya dapat dengan mudah memanfaatkan waktu karantina dan isolasi sebagai kesempatan untuk beribadah dengan lebih intens. Masa Quarantine dan stay at home adalah momen yang cocok untuk bermuhasabah, intropeksi diri, dan merancang ulang kehidupan agar sesuai dengan perinsip-perinsip agama yang mungkin selama ini terlalaikan. Dalam magnum opusnya dibidang biografi, Muḥammad ibn Saʿd mengabadikan bagaimana seorang sosok ulama zahid, Masruq ibn al-Ajda seorang muhadis dari kalangan Tabi’in, mengekspresikan keberkahan situasi isolasinya selama pandemi. Ia berkata “Saya melihat pandemi sebagai kesempatan untuk melepaskan hubungan dari semua orang dan terhubung kembali dengan Pencipta saya.”

Baca Juga  Aturan Terbaru Kemenag: Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala

Selain itu pula, penting untuk tetap memperhatikan kondisi psikologis dan spiritual masyarakat Muslim selama pandemi. Banyak keyakinan terhadap mitos yang menyesatkan berkembang di tengah pandemi, seperti anggapan bahwa pandemi tidak nyata, covid-19 hanya rekayasa, vaksin berbahaya, serta berbagai isu hoax yang disebar untuk menambah kecemasan dan menggangu ketertiban masyarakat.

Hal serupa juga terjadi di masa lampau, dan telah mendapat perhatian khusus. Beberapa ulama dan orang shalih terdahulu memiliki riwayat perjalanan ke pedesaan dalam misi mengedukasi warganya dan menguatkan iman dan ibadah mereka di tengah pandemi. Dalam satu riwayat, seorang Syekh yang Muhammad al-Husni kembali ke salah satu pedesaan di Damaskus. Ia datang untuk menanamkan sikap positif dan mendorong penduduk setempat untuk tetap berharap dalam kemurahan Tuhan. Syeikh Al-Husni membantu mereka dalam mengatasi takhayul, kesedihan, dan ketakutan yang merebak akibat pandemi.

Spirit untuk mengedukasi dan menjaga keseimbangan psikologis dan meningkatkan spiritual masyarakat Muslim, juga di lakukan oleh ulama kita di tanah Air. Kita dapatmerasakan bahwa, banyak ulama kita yang membuka siaran ceramahnya secara online, sehingga sangat mudah di akses setiap orang. Hal ini merupakan hikmah dan nikmat luar biasa di tengah karantina dan pembatasan sosial kita. Para ulama dan tokoh penting kita, menjadi lebih aktif di medsos dan lebih produktif di website dan Channel pribadi mereka. Masyarakat Muslim dapat lebih dekat dan terkoneksi dengan Ulama-ulama sekelas Quraish Shihab, Gus Mus, Kang Jalal, KH. Aqil Siraj, dan Gus Nadir selama pandemi ini.

Uniknya, menerima kesembuhan maupun kematian dengan tenang nampaknya menjadi praktik orang-orang shalih yang paling menonjol. Dibanding saya yang tadi mengatakan “Yang meninggal maupun yang hidup adalah ‘korban’ pandemi ini”, Ibn al-Wardi, sorang ulama pakar sejarah, menganggap kesembuhan maupun kematian sama-sama sebagai ‘keselamatan’. “Jika saya mati, maka saya mencari ketenangan jauh dari penularan di dunia ini. Jika saya hidup, saya bisa menyaksikan lebih banyak tentang dunia melalui penyembuhan telinga dan mata saya”. Begitu ucapannya saat mengungkapkan keadaan batinnya beberapa hari sebelum kematiannya selama pandemi tahun 1349 M di Suriah.

Dengan demikian, berbagai kearifan yang diwariskan oleh tradisi Islam dalam memaknai dan menghadapi wabah, dapat menjadi wawasan berharga bagi perasaaan dan perilaku sosial yang lebih positif. Hal demikian amat penting untuk memperkuat kita di masa pandemi ini. Wabah penyakit dapat diartikan sebagai berkah bagi orang-orang yang beriman, yang secara jelas dinyatakan oleh Nabi dalam satu hadits. Wawasan peradaban Islam dalam menghadapi pandemi, dapat menjadi inspirasi kita yang berada dalam kondisi serupa saat ini.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.