Etika dalam Berdakwah

KolomEtika dalam Berdakwah

Media sosial adalah sarana efektif untuk menebarkan dakwah Islam. Pernyataan tersebut menjadi tak terbantahkan saat kita melihat sejumlah pendakwah media sosial yang digandrungi atau menjadi idola banyak orang. Namun, meskipun media sosial memberi ruang yang cukup luas kepada para penggunanya untuk menyampaikan narasi, bukan berarti para ustadz media sosial berhak mengabaikan etika dalam berdakwah.

Etika dalam berdakwah tidak hanya diperhatikan dan dipraktikkan dalam mimbar-mimbar masjid, panggung-panggung maulid, atau kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, etika yang menjadikan seorang manusia mulia, seharusnya diimplementasikan pula dalam berdakwah, bahkan bermuamalah di media sosial.

Etika fundamental dalam berdakwah yang harus diperhatikan adalah tidak memaki sesembahan umat beragama lain. Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan [al-An’am (6): 108].

Sebab turunnya ayat ini diceritakan dalam sebuah riwayat. Dahulu, kaum Muslim kerap mencaci maki berhala-berhala atau sesembahan kaum kafir Quraisy. Oleh sebab itu, mereka juga balas memaki Allah dengan melampaui batas, tanpa pengetahuan. Makian dan cacian kepada sesembahan, tak lain mengantarkan umat Islam kepada mafsadat (kerusakan) yang lebih besar.

Untuk itu, mencegah mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah daripada maslahat adalah hal yang diperintahkan. Mencaci sesembahan umat beragama lain, hanya akan memantik perselisihan dan konflik yang merugikan kedua belah pihak. Cacian dan hinaan tidak dapat dihindari kedua belah pihak. Padahal, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk bersikap toleran kepada umat lain yang tidak sependapat dengan kita. Bukan hanya menghapus permusuhan antarumat, melainkan juga menumbuhkan sikap saling mengerti dan memahami perbedaan, serta terjalin hubungan yang baik.

Faktanya, fenomena para pendakwah yang baru masuk Islam (muallaf) kerap membuat gerah sebagian masyarakat Muslim yang menyaksikannya di dunia maya. Tidak hanya menghina sesembahan umat beragama lainnya, mereka juga mendorong masyarakat Muslim untuk merendahkan umat lain selain Muslim.

Tak ayal, hal ini memicu pertikaian atau saling lempar tuduhan yang menyakitkan. Dakwah Islam menjadi tercemar. Islam yang seharusnya dikenal dengan agama yang mendamaikan, menjelma menjadi agama gemar menghina. Padahal, baik dalam al-Quran yang telah disebutkan di atas, maupun ajaran Nabi Muhammad SAW tidak membenarkan perilaku mengina sesembahan umat beragama lain.

Dalam sebuah hadis shahih disebutkan, Rasulullah SAW bersabda. Terlaknatlah seseorang yang memaki kedua orang tuanya. Mereka (para sahabat) bertanya, wahai Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat mencaci kedua orang tuanya sendiri? Rasulullah SAW bersabda, dia mencaci bapak seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci bapaknya. Dan dia mencaci ibu seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci ibunya.

Baca Juga  Pentingnya Membaca Ulang Makna Muslim

Sebagaimana halnya Rasulullah SAW melarang kita mencaci orang tua seseorang, karena orang itu akan mencaci maki orang tua kita. Begitu pula halnya seseorang yang memaki, merendahkan, atau menjelek-jelekkan sesembahan umat beragama lain. Untuk itu, demi menghindarkan diri dan orang lain dari adu lempar cacian terhadap sesembahan satu sama lain, jangan mulai atau memancing makian itu keluar. Para pendakwah di media sosial seharusnya mencontohkan akhlak yang baik atau bahkan berusahan keras meningkatkan kesadaran kritis umat Islam.

Selanjutnya, etika yang harus diperhatikan dalam berdakwah adalah memadukan antara perkataan yang disampaikan dan amal (perbuatan). Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah SWT karena kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan [al-Shaff (61): 2-3].

Tantangan dan peluang dakwah melalui media sosial benar adanya. Namun, kedua hal tersebut tidak lantas menjadikan kita abai dalam memperhatikan etika saat berdakwah. Jika seorang pendakwah menyampaikan kepada jemaahnya untuk berkata baik, maka seharusnya ia mempraktikkannya. Bukan malah menyebarkan ujaran kebencian kepada khalayak. Dan, jika seorang pendakwah mengajak untuk tidak berbohong, maka begitu pula halnya ia dalam berdakwah. Tidak membohongi jamaah terkait isi atau materi dakwah Islam.

Terakhir, etika yang harus diperhatikan dalam berdakwah adalah tidak menyampaikan atau menjawab persoalan yang tidak diketahui. Etika ini berlandaskan ayat al-Quran yang berbunyi, Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya [al-Isra (17): 36].

Ayat ini membuktikan, bahwa pengetahuan manusia itu terbatas. Untuk itu, ketidaktahuan semestinya tidak kita ikuti. Bahkan, menyampaikan sesuatu di luar pengetahuan kita, hanya akan menyesatkan umat. Sekelas Imam Malik yang menjadi rujukan utama warga Madinah pun mengatakan tidak tahu, jika tidak mengetahui ilmu tersebut. Apalagi ustadz-ustadz masa kini yang kualitas keilmuannya jauh di bawah Imam Malik. Sangat disarankan berkata tidak tahu, jika tidak mengetahui suatu perkara.

Dengan demikian, ketiga etika dalam berdakwah tersebut seharusnya ditanamkan dalam hati para pendakwah agar dakwah Islam, bukan sekadar mengejar jumlah viewer dan subscriber. Melainkan juga memperhatikan etika yang menjadi modal dasar para pendakwah dalam menyebarkan kiprahnya. Sebagaimana Nabi Muhammad yang selalu memerhatikan dan menampilkan etika yang baik dalam menyampaikan ajaran Islam, begitu pula seorang ustadz masa kini seharusnya. Beretika dalam berdakwah.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.