Membangun Kesadaran Kritis Santri Masa Kini

KolomMembangun Kesadaran Kritis Santri Masa Kini

Di tengah hiruk pikuk kegiatan pesantren yang beragam, pengajian merupakan satu aktivitas yang menjadi kewajiban dalam keseharian. Sebab melalui tradisi mengaji, terjadi perpindahan (transfer) ilmu pengetahuan dari individu ke individu atau dari individu ke kelompok atau komunitas (dalam kerangka hubungan guru murid). Meskipun mengaji menyebabkan kontinuitas ajaran dan tradisi, tetapi kita tak dapat menafikan, bahwa mengaji tanpa mengkaji tidak akan membangun dan mengembangkan kesadaran kritis santri masa kini.

Sistem pengajian atau aktivitas mengaji yang menjadi pembelajaran wajib di kalangan santri berkisar seputar upaya penjagaan (menghafal) nash-nash baik al-Quran maupun hadis sekaligus sejumlah teks kitab kuning, memahami kandungannya, dan mengamalkan dengan penuh kerelaan dan keikhlasan.

Sebuah syair kondang di lingkungan pesantren yang disandarkan kepada Imam Syafi’i menjelaskan bagaimana konsep tradisi mengaji itu berjalan. Syakautu ila Waqi’i su’a hifzdi. Fa arsyadani ila tarki al-ma’ashi. Wa akhbarani bi anna al-ilma nurun. Wa nu rullahi la yuhda (yu’tha) li al-‘ashi.

Imam Syafii berkata, “aku mengadu kepada guruku (Imam Waqi’i) tentang buruknya hafalanku. Kemudian beliau menasihatiku untuk meninggalkan perilaku maksiat. Beliau memberitahuku, bahwa ilmu itu cahaya. Sementara cahaya Allah tidak akan diberikan kepada para pelaku maksiat.”

Hal ini menunjukkan, bahwa menghafal merupakan salah satu metode dalam proses pemindahan pengetahuan dari guru ke murid. Di sisi lain, kajian atau pengkajian mengandung substansi, bahwa segala ilmu pengetahuan berasal dari Allah. Akan tetapi, menurut Kiai Masdar, tidak semua yang berasal dari Allah harus dipahami secara harfiah atau literal sebagai langsung ‘hadir’ dari-Nya. Jika pengetahuan yang dimaksud adalah ayat-ayat al-Quran, maka itu otentik mengalir dari Allah (meskipun melalui perantara Jibril). Dengan demikian, manusia tinggal mengimani, memahami, dan mengamalkan.

Namun, apabila ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah tafsir dan fiqh, maka sudah dapat dipastikan masih ada ruang bagi manusia untuk tidak hanya mengaji, tetapi juga mengkajinya. Sebab tafsir dan fiqh merupakan pemahaman manusia terhadap sabda-sabda-Nya. Dengan begitu, kita tidak hanya meriwayatkan dan menghafal aqwal ulama terkait fiqh dan tafsir, melainkan juga mengkritisi dan menimbang mana yang lebih aslah untuk dipilih.

Baca Juga  Spirit Resolusi Jihad di Media Sosial

Perspektif di atas berdasarkan kepada ayat al-Quran yang berbunyi, berilah kabar gembira untuk hamba-hamba-Ku, yaitu orang-orang yang mau mendengarkan pendapat lalu mengikuti mana yang paling baik di antaranya [al-Zumar (39): 18]. Kegiatan kajian yang secara substansif mengkritisi dan memilih pendapat yang paling baik merupakan implementasi dari ayat ini.

Selanjutnya, terdapat dua alasan mengapa membangun kesadaran kritis santri masa kini menjadi hal yang penting. Pertama, khazanah keilmuan itu bersifat nisbi (relatif) dan terikat ruang dan waktu. Kedua, kesadaran kritis menjauhkan kita dari sikap fanatik (menyucikan atau menyakralkan pendapat ulama tertentu).

Ketiga, kesadaran kritis akan menyelamatkan para santri dari hantaman berita bohong (hoaks) atau informasi tidak valid yang beredar di dunia maya berkat arus globalisasi yang begitu kuat. Bahkan, mereka akan memiliki dan memapankan identitasnya sebagai seorang Muslim yang berpendirian, bukan Muslim yang sembarang ikut-ikutan.

Kajian pengetahuan yang membahas masalah yang bersifat kekinian atau kontemporer membantu mereka untuk memberikan solusi kepada masyarakat atas suatu fenomena terntentu. Hal ini tentu saja sangat membantu kemajuan ilmu agama di tengah masyarakat Muslim yang kerap dipandang sebelah mata sebagai ilmu yang kolot, kaku, dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Dengan demikian, membangun kesadaran kritis santri masa kini dapat kita lakukan dengan cara menekuni tradisi mengkaji di samping mengaji. Selain meyakini, memahami, dan mengamalkan ilmu pengetahuan, para santri yang mengkaji ilmu pengetahuan akan mampu, sedikit demi sedikit, menumbuhkan kesadaran kritis yang akan memajukan kualitas keilmuan pesantren, bahkan sejumlah lembaga pendidikan di Tanah Air.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.