Benarkah Umat Islam Dipojokkan?

KolomBenarkah Umat Islam Dipojokkan?

Wacana wakaf nasional yang dicanangkan pemerintah, tidak luput dari kontroversi dan penolakan dari sebagian umat Islam. Pemerintah dituding hanya ingin mengambil keuntungan dari potensi wakaf umat Islam, tetapi memusuhi segala dimensi umat Islam yang lain. Pasalnya, pembubabaran ormas Islam, penahanan pemimpin kelompok Islam, serta beberapa tindakan penegakan hukum terhadap gerakan, organisasi, dan aksi Islam lainnya, mendominasi media nasional dalam beberapa bulan terakhir. Rangkaian peristiwa itu dianggap sebagai bukti pemerintahan yang represif terhadap umat Islam. Sehingga, isu bahwa pemerintah memojokkan umat Islam kian menguat di tengah wacana wakaf nasional kali ini.

Kecil keraguan bahwa representasi Islam di negeri kita telah mengalami pergeseran dalam satu dekade ini. Umat Islam yang pada awalnya diwakili oleh NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat sipil Islam yang berkomitmen pada keindonesiaan, belakangan diambil alih oleh kelompok-kelompok kecil Islam garis keras yang menentang berbagai hal mapan di negeri ini, seperti HTI dan FPI. Setiap opini, aksi, maupun ekspresi politis kelompok ini diidentikkan sebagai umat Islam, ajaran Islam, dan bahkan agama Islam. Sehingga, tindakan penertiban atau penegakkan hukum bagi penyimpangan kelompok maupun anggotanya ini, dianggap sebagai tindakan melawan Islam atau anti-Islam.

Sebenarnya, Islam melahirkan beragam bentuk pemahaman dan praktik bagi Umatnya. Islam memang agama sempurna. Namun, tidak demikian dengan penganutnya, yang awam maupun yang elit. Setiap Muslim menginternalisasiknIslam ke dalam dirinya. Islam dipahami, dipresepsikan, dan dijalankan berdasarkan kompleksitas latarbelakang dan kesanggupan masing-masing individu yang tidak sama rata. Seorang muslim mungkin baik dan mungkin pula tidak. Meskipun pahit, perlu diakui bahwa radikalisme juga telah menjangkiti sebagian kecil dari kita.

Hanya saja, umat sering kali seringkali terjebak dalam silogisme berbahaya “kami Muslim, karena itulah kami sempurna”. Pikiran semacam itu cenderung ampuh untuk menetralisir kemauan dan usaha peningkatan dan aktualisasi diri maupun kelompok Muslim. Jelas yang terjadi justru sebaliknya, kecacatan dan kejumudan. Dalam al-Quran tertulis peringatan, janganlah kamu menganggap dirimu suci (An-Najm: 32). Perasaan paling benar dan paling sempurna itu wajib dihindari. Umat Islam harus kembali memandang realitasnya dengan jujur dan apa adanya.

Segelintir oknum Islam bisa saja melakukan penyimpangan dan pelanggaran, serta tidak kebal dari konsekuensi hukum. Contohnya, 35 orang anggota dan pengurus FPI terlibat tindak pidana terorisme, 206 orang dari ormas ini juga terlibat kriminalitas dan berbagai kasus pelanggaran lainnya. Pernah ada juga HTI, yang memiliki kegiatan paling khas dalam menentang dasar negara Pancasila dan UUD 45, dan secara konsisten mencaci tanah air kita sebagai sistem thaghut. Ada juga ulama atau elit Islam yang memanfaatkan posisi vokalnya untuk menebar hasutan, kebencian, serta ideologi radikal.

Baca Juga  Kemuliaan Membantu Anak Yatim

Jadi, tidak perlu merasa bahwa pemerintah memojokkan umat Islam hanya karena ada ormas Islam, anggotanya, ataupun pemimpinnya terjerat kasus hukum. Oknum Islam demikian itu sama sekali tidak mewakilan umat Islam. Mereka hanyalah kaum Islam pinggiran (ekstem) yang membantu mencangkokkan radikalisme ke dalam dunia umat Islam kita. Sebab, oknum tersebut tidak benar-benar ingin mentransformasikan jiwa umat Muslim, atau menerjemahkan ‘fungsi sosial’ agama ke dalam kenyataan. Namun, sekadar merusak keseimbangan emosional umat Islam di negeri ini. Justru aneh apabila penyimpangan, pelanggaran, dan radikalisme semacam itu malah dibela atas dasar solidaritas umat Islam.

Pada dasarnya, organisasi masyarakat sipil Islam yang lahir di negeri kita sangat berbeda dengan ormas di negara Muslim lain. Tidak seperti Ikhwanul Muslimin yang lahir di Mesir, Jemaat Islami di Pakistan, atau Hisbut Tahrir di Lebanon, yang membingkai skema dan proyek besar Islam sebagai tuntutan politik. Organisasi masyarakat sipil Islam Indonesia, semisal NU, Muhammadiyah, ICMI, DMI, atau MUI, lebih menunjukkan komitmennya terhadap nasionalisme Indonesia dan tata pemerintahan konstitusional. Keluhuran itu dibuktikan sendiri Robert Hefner melalui pengamatannyaseputar pendidikan, ikatan masyarakat, dan demokrasiMuslim Bumi Pertiwi, yang tertuang dalam Indonesia In the Global Scheme of Things.

Dengan demikian, umat Islam negeri ini senantiasa mempati posisi sentral dalam tatanan sosial maupun budaya. Tidak pernah ada cukup alasan untuk mengatakan bahwa umat Islam dipinggirkan. Barangkali hanya orang-oarang yang mengidap majority with a minority complex, yang merasa Umas Islam terpojokkan di negeri ini. Kenyataannya, ada puluhan Ormas Islam yang berdiri tegak selama puluhan bahkan ratusan tahun di negeri kita. Tidak terhitung banyaknya lembaga pendidikan Islam, Kyai, Ulama, literatur keislaman, rumah Ibadah, dan berbagai tradisi Muslim yang begitu lestari menghiasi keseharian kita. Jadi, Isu ‘Umat Islam dipojokkan’ itu tentu sangat mengada-ngada.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.