Hati-Hati Zaman Fitnah

KolomHati-Hati Zaman Fitnah

Fitnah-memfitnah di muka publik negeri ini, belakangan meningkat intensitasnya. Terakhir kita dengar Munarman, memfitnah kepolisian telah memfitnah kelompoknya, setelah sebelumnya secara berturut-turut narasi fitnah dan pembodohan justru keluar dari kelompoknya sendiri. Fitnah masih saja menjadi senjata dalam pergulatan wacana di negeri ini. Pada akhirnya, masyarakat yang mengkonsumsi kebohongan berlapis ini.

Fitnah terjadi di sana-sini, dibuat berdasarkan informasi palsu untuk menjatuhkan pihak lain dengan tuduhan-tuduhan tidak benar, serta mengacaukan masyarakat. Kebenaran semakin kusut dengan adanya fitnah-fitnah yang menyeruak. Fitnah sangat dekat dengan informasi palsu atau disinformasi. Tujuannya tidak lain untuk mendistorsi pandangan tentang kebenaran. Dengan kata lain, fitnah mengandung kebohongan yang disengaja. Prasangka konspirasi tertentu telah disalahgunakan selama krisis Covid-19 ini, dan harus segera di akhiri.

Kebohongan selalu dilihat sebagai kejahatan dalam sejarah intelektual umat manusia. Memfitnah dalam pandangan agama tentu sangat tercela, sebab besarnya potensi kerugian yang diakibatkannya, secara psikologis maupun sosiologis. Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa Allah SWT begitu murka kepada pembawa fitnah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat al-Tabrani yang dikitip Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-din, bahwa Rasulullah SAW bersabda, orang yang paling dimurkai Allah SWT ialah orang yang pergi membawa fitnah, memecah belah persaudaraan, dan mencaci orang yang tidak bersalah atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Ancaman keras terhadap para pengumpat dan pembawa fitnah, menurut al-Ghazali, juga tertulis dalam QS. Al-Humazah ayat 1 yang berbunyi Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Kita wajib menghindari perbuatan ini.

Sebenarnya, hal yang paling memilukan dari kemelut fitnah yang belakangan terjadi ialah, adanya upaya membenturkan agama dan negara, atau masyarakat dengan pemerintah. Hal demikian membawa potensi kehancuran tatanan sosial yang mengerikan. Padahal, narasi-narasi emosional seolah-olah agama dan negara berkonflik, atau upaya delegitimasi pemerintahan yang sah dan resmi melalui penyebaran fitnah dan berita bohong di tengah masyarakat, merupakan cara-cara khas kaum sempalan yang pada akhirnya menghancurkan negara dan kehidupan masyarakatnya, seperti yang telah terjadi di Libiya dan Suriah.

Sepanjang sejarah, memang selalu ada pihak-pihak tertentu yang berambisi membelot pemerintahan dengan cara-cara penyebaran berita buruk, fitnah, dan adu domba untuk menggiring masyarakat menjadi oposan. Dalam riwayat yang dianggap hasan shahih oleh Imam Tirmidzi, dikisahkan tentang seorang lelaki yang dikenal senang menyebarkan cerita-cerita yang tidak baik tentang pemerintah.

Dalam atsar itu dikatakan, suatu hari Hammam bin al-Harits berkata tentang seorang lelaki yang lewat di hadapan Huzaifah bin al-Yaman, “lelaki ini suka menyebarkan berita tentang pemerintah kepada orang-orang”. Lalu Huzaifah berkata “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, tidak akan masuk surga orang yang membesar-besarkan cerita buruk dan tidak benar (al-Qattat)“, Sufyan berkata al-Qattat ialah al-Namim atau pengadu domba. (HR. Tirmidzi no. 2026, dalam bab al-Bir wa al-Silah)

Kebohongan, informasi palsu, berita sesat yang menjelma dibalik fitnah, memengaruhi karakter pribadi dan hubungan masyarakat secara keseluruhan, menciptakan suasana penuh kebencian dan permusuhan. Kita tentu tidak menginginkan apabila keruntuhan akibat fitnah, seperti negara-negara di timur-tengah itu, akhirnya terjadi di negeri ini. Maka dari itu, kesadaran akan kebohongan yang disengaja, perlu semakin ditingkatkan melalui pikiran-pikiran kritis. Kita harus sadar bahwa fitnah terhadap pemerintah maupun masyarakat sangat merugikan bangsa.

Baca Juga  Meneladani Nabi Muhammad dalam Cinta Tanah Air

Sebagai umat Islam, mengkonfrontir segala bentuk perpecahan yang dapat membawa kemunduruan peradaban, merupakan tanggung jawab kita bersama. Kita memiliki kewajiban yang kuat untuk memahami bagaimana kita diberi informasi, serta bagaimana memperoleh informasi dengan benar untuk menghindari bahaya bagi diri kita sendiri dan orang lain. Masyarakat Muslim harus mengadopsi budaya kritis terhadap informasi, atau yang dikenal dengan istilah Literasi Informasi. Untungnya, pengetahuan ini telah diajarkan selama berabad-abad oleh tradisi Islam sendiri.

Dalam sejarah perkembangan agama Islam, sebagian besar pengetahuan bersandar pada periwayatan, yakni kegiatan penerimaan dan penyampaian informasi yang dilakukan secara bersambung. Di dalam Islam, mata rantai keilmuan itu sangatlah penting agar dapat menilai informasi yang datang. Sebagai Muslim, verifikasi kebenaran, penelusuran sumber, dan manajemen pengetahuan, sejak dulu telah menjadi komponen penting dalam tradisi belajar agama. Muslim sebaiknya menghargai tradisi ini dan mempelajarinya, terutama pada saat informasi keliru, penalaran yang salah, dan pemikiran konspirasi mendominasi publik seperti sekarang ini.

Penalaran ilmiah dan perlindungan terhadap fitnah tersembunyi yang menyebabkan kesalahan logika, dapat dihindari apabila kita lebih jeli dan berhati-hati terhadap setiap informasi kita terima. Panduan rasional tentang kehati-hatian terhadap berita palsu dan informasi yang salah, dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

Penalaran yang tepat seperti itu, akan menghilangkan keyakinan yang tidak beralasan, dugaan yang terburu-buru, atau argumen yang salah. Kita perlu kritis memeriksa konten dari pengetahuan yang dibagikan melalui jejaring sosial kita saat ini. Sekali lagi, tradisi Islam telah mengajarkannya. Sentralitas logika dalam pembelajaran agama dalam peradaban Islam, sejak awal menunjukkan cara sistematis untuk penalaran yang benar yang berasal dari tradisi intelektual Islam selama berabad-abad.

Dengan demikian, literasi informasi atau budaya kritis terhadap berbagai berita yang tersebar, merupakan keterampilan yang wajib kita miliki di zaman fitnah ini. Kita memiliki hak dan kewajiban untuk menerima informasi yang valid, serta memahami apa yang sedang terjadi, agar dapat bertindak dengan cara terbaik dan menghindari bahaya. Fitnah dan kebohongan sangat berbahaya dan dapat meruntuhkan peradaban. Maka dari itu, kita harus selalu berhati-hati dan waspada terhadap berbagai informasi yang tersebar, hal ini merupakan kewajiban setiap Muslim. Jadi, hati-hati di zaman fitnah ya!

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.