Kekeliruan Hijrah Profesi

KolomKekeliruan Hijrah Profesi

Ekspresi demam hijrah masyarakat Muslim Tanah Air beragam. Hijrah profesi salah satunya. Marak disampaikan dalam ceramah-ceramah hijrah, bekerja di bank konvensional itu haram dan harus ditinggalkan. Atau, bunga bank itu riba dan riba itu haram. Tanpa menimbang maslahat mudharat bagi dirinya dan keluarganya, mereka berbondong-bondong hijrah, beralih ke profesi ‘halal’, bekerja serabutan, atau menjadi pengangguran. Tak ayal, ceramah hijrah itu tidak menyelamatkan dan mencerdaskan, melainkan mengaburkan pandangan umat Islam.

Tidak ada perbedaan pendapat ulama mengenai hukum Riba. Ulama sepakat, bahwa Riba itu haram [Ali Imran (3): 130]. Namun, ulama berbeda pendapat terkait bunga bank, apakah ia termasuk dalam kategori riba atau tidak. Maka dari itu, kita tidak dapat beranggapan, bahwa bunga bank haram secara mutlak.

Dalam masalah bunga bank, terdapat dua pendapat. Prof. Quraish Shihab menjelaskan, pertama, bunga bank itu haram, karena sama dengan riba. Pendapat ini disampaikan oleh Syeikh Yusuf al-Qardhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali. Kedua, bunga bank tidak sama dengan riba. Hukumnya halal/boleh. Pendapat ini diutarakan oleh Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, Mahmud Syaltut, dan Ali Jum’ah.

Sedangkan Gus Mus menambahkan satu pendapat yang berbeda, yaitu hukum bunga bank adalah syubhat. Tak ayal, perbedaan pendapat ulama bersumber dari silang pendapat mengenai bunga bank. Jika menganggap bunga bank identik dengan riba yang diharamkan, maka konsekuensinya, haram juga gaji yang diterima orang-orang yang bekerja di bank. Namun, jika menganggap bunga bank tidak sama dengan riba, maka tidak perlu dipermasalahkan gaji para pekerjanya.

Meski demikian, seharusnya kita menimbang kembali kemaslahatan dan kemudharatan yang akan dialami, jika masyarakat Muslim yang bekerja di bank konvensional beralih profesi menjadi pekerja serabutan atau bahkan pengangguran. Dengan demikian, prinsip yang tepat dipraktikkan adalah:

إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

Jika terdapat dua kerusakan, maka pilih yang paling ringan imbas kerusakannya. Jika terdapat dua pilihan, bekerja di bank atau bekerja serabutan. Bekerja di bank atau menjadi pengangguran, maka pilihlah bekerja di bank. Sebab imbasnya lebih ringan daripada bekerja serabutan yang dapat mengancam kehidupan keluarga atau orang-orang yang dinafkahinya. Apalagi di situasi sekarang, pandemi kian menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan penghasilan.

Alih-alih hijrah dari pekerjaan perbankan, lebih baik masyarakat Muslim diarahkan untuk hijrah (beralih profesi) dari pekerjaan-pekerjaan yang hina. Pekerjaan tersebut tak lain adalah pencurian dan penipuan. Imam al-Ghazali menjelaskan pekerjaan hina secara terperinci dalam Ihya Ulum al-Din dengan redaksi sebagai berikut.

“Seorang penipu takkan meminta hasil pekerjaan orang lain secara terus terang, karena akan dikatakan kepadanya bekerjalah dan peraslah keringatmu seperti yang dilakukan orang lain. Sebab tiada alasan bagimu untuk menganggur. Lalu, ia pun tak diberi apa-apa. Penipu itu pasti menggunakan trik yang halus untuk memperoleh harta orang lain dan dalih yang kuat untuk membenarkan kemalasannya.”

Dengan kata lain, pencurian dan penipuan masa kini menggunakan trik yang halus demi mendapatkan harta hasil kerja keras orang lain. Pekerjaan meminta-minta yang disebut dengan pengemis, menggunakan trik cacat fisik, baik benar-benar cacat, seperti melukai tubuhnya atau tubuh anaknya, maupun pura-pura cacat, seperti menggunakan gips atau menggunakan luka palsu yang terbuat dari karet. Keduanya sama-sama menipu, menarik belas kasihan dan pemberian dari orang lain.

Baca Juga  Hati-hati Menitipkan Donasi untuk Palestina

Faktanya, negeri kita memiliki sejumlah desa yang berisikan sejumlah masyarakat yang berprofesi pengemis. Tempat tinggal mereka biasa disebut desa pengemis atau kampung pengemis. Tersebar di pelbagai daerah, seperti di sebuah desa di Brebes, Sumenep, Bandung, Kediri, Pati, dan lain sebagainya. Fenomena ini yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Hijrah dari profesi pengemis adalah hijrah profesi sesungguhnya.

Tidakkah mereka malu dengan orang-orang tunanetra, khususnya di wilayah Ciputat yang bekerja sebagai pedagang kerupuk keliling demi mendapatkan penghasilan? Tidakkah mereka malu dengan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, tetapi lebih memilih berusaha keras membanting tulang?

Begitu pula para penceramah atau pendakwah yang berbicara omong kosong dan menyampaikan hal-hal yang tidak bermanfaat kepada publik. Imam al-Ghazali mengategorikannya pula ke dalam pekerjaan penipuan, karena mereka tidak memiliki ‘barang jualan’ dan tidak memiliki ilmu pengetahuan. Namun, tujuan mereka hanya memainkan perasaan orang lain, membuat mereka terpesona, kagum, atau tertawa, kemudian mengambil harta masyarakat awam.

Zaman sekarang, para penjual rumor, gosip, dan hal-hal yang tidak berfaedah ini juga merambah ke dunia digital. Bukan hanya para penceramah antarmimbar, tetapi juga para ustadz antarmedia sosial. Imam Ghazali merendahkan pekerjaan tanpa kerja keras itu lantaran bersebrangan dengan kedudukan manusia sebagai Khalifah di muka bumi. Fahmi Huwaidi, kolumnis terkemuka asal Mesir menyatakan.

“Kemalasan, pengangguran, dan penipuan boleh jadi menghasilkan sesuap nasi atau mendatangkan uang. Tapi, profesi-profesi tersebut tidak berhubungan dengan usaha membangun dunia sedikit pun. Semua itu, boleh jadi memenuhi suatu kebutuhan dan memuaskan hawa nafsu atau syahwat. Namun, semua pekerjaan itu bertentangan dengan usaha membangun dunia, yang hanya bisa diwujudkan dalam kondisi manusia menjadi produsen sebelum menjadi konsumen.”

Maka dari itu, beralih profesi (hijrah profesi) yang tepat untuk memajukan masyarakat Muslim Tanah Air, bukan dengan cara mengharam-haramkan secara mutlak pekerjaan yang masih dalam perdebatan. Akan tetapi, menjauhkan publik dari pekerjaan semu atau pekerjaan dengan trik halus yang hina demi membangun dunia.

Terakhir, giat bekerja adalah kunci utama, setelah memperbaiki pekerjaan yang kita lakukan. Sebagaimana para Nabi yang bekerja sungguh-sungguh demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Begitu pula ulama masyhur, seperti al-Hilwani (penjual manisan), al-Raqqaq (penjual kulit), al-Qaffal (pembuat kunci), al-Shabuni (penjual sabun), dan lain sebagainya.

Dengan demikian, hijrah profesi seharusnya kita pahami sebagai perpindahan dari profesi atau pekerjaan yang hina menjadi pekerjaan yang bermanfaat, kreatif, dan produktif. Berkontribusi dalam pencarian, pemahaman, dan praktif atau refleksi ilmu pengetahuan dalam pekerjaan kita, sehingga kita menjalankan tugas Khalifah yang sebenarnya, membangun dunia.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.