Gejala Khilafah dari Tren Pasar Muamalah

KolomGejala Khilafah dari Tren Pasar Muamalah

Publik kini diramaikan dengan tren pasar muamalah. Setelah beredar video transaksi pasar muamalah di Kota Depok, terungkap kemudian menjamurnya pasar serupa di sejumlah kota, seperti Riau, Bekasi dan Yogyakarta. Pasar muamalah yang berlokasi di Depok ini ternyata telah ada sejak beberapa tahun silam. Wahana jual-beli yang hadir tiap dua pekan sekali tersebut mengusung konsep barter. Rupiah juga masih dipakai dalam proses transaksi di sana.

Yang janggal dan membuat heboh adalah penggunaan dinar-dirham sebagai alat tukar. Padahal keduanya bukan alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI. Hal ini patut dicurigai sebagai gejala infiltrasi ideologi khilafah dalam sektor ekonomi. Mengingat, mata uang tadi berlaku di era kekhilafahan. Terlebih penggerak pasar bertajuk muamalah ini adalah Zaim Saidi, seorang yang terafiliasi dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Ia dikenal anti terhadap sistem keuangan saat ini yang dianggap sebagai kapitalisme riba.

Setelah dibekukan, pergerakan agen HTI memang cenderung laten. Mereka mencoba melakukan indoktrinasi terselubung melalui pelbagai cara dan beragam medium. Banyak masyarakat yang kemudian tak sadar sedang dalam pengaruh indoktrinasi khilafah. Maka dari itu, menjadi masuk akal jika para pelaku ekonomi di pasar muamalah tadi mengelak ketika dikaitkan dengan dugaan khilafah.

HTI dikenal sebagai gerakan massa yang selalu memperhadapkan diri dengan tatanan pemerintahan yang berlaku. Karena memang keinginannya adalah mengakuisisi sistem dan ideologi negeri ini. Dalam konteks pasar muamalah ini, pengusung khilafah HTI secara perlahan seolah hendak meminggirkan mata uang yang sah, yaitu rupiah. Sistem barter dan rupiah yang masih diakomodir di pasar tersebut dapat diartikan sebagai tameng untuk berapologi. Sederhanya, ketika ada yang mempertanyakan penggunaan dinar dan dirham, masih ada rupiah dan barter yang diberlakukan.

Dalam kacamata konstitusi, pemberlakuan dinar-dirham sebagai alat pembayaran berpotensi melanggar hukum. Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono berujar, bahwa alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya rupiah. Merujuk pada Pasal 23B UUD 1945 jo Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 2 ayat (1), serta Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang.

Dan dalam Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pada Bab X Pasal 33 poin 1a UU tersebut tecatat, bahwa setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertransaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dapat dikenakan pidana. Pidana tersebut antara lain berupa kurungan penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

Zaim Saidi berargumen, bahwa pasar muamalah tersebut sejatinya adalah tempat untuk tukar-menukar secara sukarela. Pasar itu juga ditujukan untuk memfasilitasi para mustahik zakat jika hendak menukar koin dinar-dirham yang mereka miliki menjadi barang. Zaim menyebut bahwa mata uang asing, layaknya dolar, riyal, dinar, dan dirham haram digunakan di pasar tersebut. Adapun koin emas, perak bertulis dinar dan dirham yang dipakai di sana bukanlah mata uang, tetapi hanya koin sebagai alat tukar layaknya dalam sistem barter.

Baca Juga  Anjuran Ulama Salaf Agar 'Melokal'

Dua pernyataan terakhir terasa lucu dan terkesan blunder. Satu sisi, proyek pasar muamalah dan promosi dinar-dirham nampak diagendakan demi kelangsungan bisnisnya. Karena ia pasti mengarahkan audiensnya untuk membeli dinar-dirham padanya. Di lain sisi, ucapannya yang menyebut bahwa dinar-dirham dalam pasar tersebut ialah koin emas perak biasa dan bukan mata uang, adalah upayanya untuk mengamankan posisi dari ancaman hukum positif yang berlaku.

Penulis merasa motif bisnis dengan menggandeng urusan agama begitu terasa di sini. Pertama, Zaim mengatakan bahwa membayar zakat hanya sah dengan dinar emas atau dirham perak, tidak boleh dengan uang fiat (uang kertas). Padahal, pendapat para ulama tidak sesempit itu. Kedua, sembari berniaga, ia juga seolah ingin membangun paradigma dan bayangan masa lalu dengan menggelar simulasi perekonomian era khilafah.

Dinar dan dirham memiliki sejarah panjang. Ia tidak lahir dari rahim Islam, melainkan produk peradaban Romawi dan Persia. Kata dinar berasal dari bahasa Romawi, yakni denarius. Sedangkan dirham lahir dari bahasa Persia, yaitu drachma. Sebagai dua kerajaan adidaya, maka mata uang Romawi dan Persia menjadi alat tukar yang jamak digunakan di banyak wilayah.

Pada zaman Rasulullah SAW hingga al-Khulafa al-Rasyidun, umat Islam belum memiliki mata uang tersendiri. Ketika berniaga ke sejumlah wilayah, seperti Syam dan Yaman yang notabene di bawah kekuasaan Romawi, Nabi SAW pun memakai mata uang dinar serta dirham model Romawi yang berlogo salib. Baru di era dinasti Umayyah, yaitu pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Islam mencetak mata uangnya sendiri.

Untuk itu, tidak tepat jika ada yang mengasumsikan bahwa penggunaan dinar dan dirham sebagai sunnah Nabi. Karena keduanya murni merupakan produk sejarah yang diadopsi dari peradaban Romawi dan Persia.

Terlepas dari efek positif dari keberadaan pasar muamalah, namun di balik itu semua banyak hal yang terasa mengganjal dan mencurigakan. Gejala-gejala indoktrinasi khilafah begitu kentara. Pertama, dari konsep pasar muamalah berbasis dinar-dirham, yang sejatinya lebih terlihat sebagai modus operandi bisnis dengan memangku wacana agama. Premis bahwa dinar-dirham adalah mata uang paling stabil yang diakomodir Nabi itu dimanfaatkan sedemikian rupa. Kedua, aroma khilafah terindikasi dari afiliasi Zaim dengan HTI. Ketiga, gelagat memperhadapkan diri dengan sistem hukum yang berlaku memang sudah menjadi karakteristik HTI.

Penggunaan dinar dan dirham dalam transaksi keseharian di wilayah NKRI tentu tak lazim. Menghargai rupiah adalah wujud nasionalisme sederhana yang sering luput kita sadari. Sebagai warga bangsa ini, tentu kita harus menghormati tata aturan dan hukum yang berlaku. Ideologi khilafah HTI adalah gerakan politik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Para ideolog khilafah HTI kerap menggunakan soft approach (pendekatan lunak), hingga banyak dari masyarakat yang luput akan gejalanya. Mewaspadai gerakan yang kerap memakai jubah agama untuk kepentingan politik maupun ekonomi, adalah sikap yang harus dilatih sejak dini. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.