Perbedaan itu Identitas Islam

KolomPerbedaan itu Identitas Islam

Sebagian masyarakat kita masih kerap melakukan penghakiman terhadap perbedaan. Mereka nampak kesal melihat corak keberagamaan liyan. Kapan waktu, ketika kabar mengenai afirmasi kelompok Syiah dan Ahmadiyah beredar, nada keras pengecaman muncul dari pelbagai pihak. Sungguh ironis, seorang yang mengaku hamba dan meneriakkan kebesaran Tuhan, tetapi di saat yang sama menyatakan sumpah serapah, pengafiran, hingga memaksa saudara sesama Muslim mencabut keyakinannya, hanya karena berlainan paham atau aliran. Sikap menolerir cara pandang orang yang berlainan begitu minim karena mereka dianggap tidak di jalan Tuhan.

Perbedaan bukanlah aib. Menyeragamkan pemahaman adalah ilusi di tengah fitrah keberagaman manusia. Memberangus perbedaan sama halnya dengan menentang kehendak Tuhan. Allah menuturkan dalam surat al-Maidah [5] ayat 48, bahwa Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Allah tidak terobsesi untuk menyamaratakan makhluk-Nya. Perbedaan adalah alat uji dari Tuhan untuk mengukur sejauh mana hamba-Nya bisa memenej dirinya.

Terlihat jelas bagaimana jati diri keragaman kita digambarkan oleh ayat itu. Dalam bahasa populernya, perbedaan adalah sunnatullah. Sejak masa Rasulullah SAW pun perbedaan pemahaman sudah ada, namun relatif bisa diredam. Karena ketika itu masih ada Nabi yang menjadi mata air jawaban dari persoalan-persoalan yang mengemuka. Adapun setelah beliau wafat, tidak ada lagi tokoh sentral yang menjadi rujukan. Sejak saat itu bibit-bibit perbedaan pun tumbuh dan meluas.

Lintasan sejarah telah menghasilkan begitu banyak lapisan perbedaan. Kita mengenal pelbagai mazhab yurisprudensi Islam dengan masing-masing karakteristiknya. Saya melihat, mengakui keberadaan empat mazhab fikih relatif lebih mudah bagi masyarakat. Tapi tidak dengan mazhab teologi yang ada dalam tubuh Islam, layaknya Syiah dan Ahmadiyah yang tersebut di atas. Padahal, kesemuanya adalah dalil faktual dari firman Allah di atas. Beragamnya sudut pandang adalah kekayaan, bukan titik lemah.

Adagium bahwa perbedaan adalah rahmat menyimpan kedalaman makna. Perlu dieja dengan pembacaan reflektif. Keberagaman ialah perlambang dari karunia dan kasih sayang Tuhan kepada makhluk. Perbedaan penafsiran menunjukkan keluasan sumber dan kekuatan teks. Di mana satu teks agama bisa menghasilkan lintas pemahaman dan aneka hikmah dari sekian banyak kepala manusia.

Hal tersebut secara otomatis mengisyaratkan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Ahli legal drafting pun menyatakan, bahwa sebuah teks hukum yang baik itu yang lentur dan bisa dipahami berbagai interpretasi. Bayangkan, betapa mengekangnya jika Allah hanya menyediakan kebenaran tunggal, padahal peradaban manusia tercipta kompleks dan begitu dinamis.

Baca Juga  Mengatasi Kemiskinan dengan Terapan Nilai Sufisme

Kita harus meninggikan lagi cinta selaku panji dari agama. Sabagai penawar bagi sikap alergi atas yang berbeda. Agama hadir untuk manusia. Para Nabi pembawa ajaran Allah SWT jelas mengantongi misi kemanusiaan. Yakni membebaskan umat manusia dari belenggu penderitaan yang disebabkan oleh sistem yang menindas, baik secara kultural maupun struktural. Islam adalah agama ilmu dan keadilan kemanusiaan. Maka jelas, beragama bukan hanya tentang menyenangkan Tuhan an sich dengan ritus-ritus individual.

Kita sering lupa, bahwa agama ada untuk mewujudkan harmoni kehidupan manusia dan etika kemanusiaan. Orientasi vertikal yang berlebihan dalam beragama membuat manusia berebut mengklaim diri sebagai juru bicara Tuhan yang pendapatnya seolah mutlak benar.

Idealitas beriman Islam seseorang yang seutuhnya hanya diketahui Tuhan, sekalipun kita diberikan dokumen tertulis mengenai nilai dan prinsip normatif agama. Namun, ketika terjun pada realitas, keberagamaan dan pemahaman adalah produk terjemahan manusia yang meniscayakan perbedaan.

Imam Syafi’i bahkan dengan rendah hati mengakui, bahwa pendapat pribadinya bisa jadi benar, tapi juga berpotensi salah. Demikian halnya dengan pendapat orang lain, bisa jadi salah, tapi memiliki kemungkinan kebenaran.

Lebih dari itu, agama merupakan jalan untuk mendekati Tuhan dan cara membagi cinta kepada semua makhluk serta sesama manusia. Untuk itu, siapapun yang memaksakan kebenarannya pada orang lain, sejatinya ia tengah melecehkan kehendak Tuhan. Dan sedang mempertontonkan keangkuhan, seolah ia dimandati otoritas untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Hakikatnya, hal yang mendasar dari keinginan tiap manusia adalah kenyamanan dalam hidup, diakui keberadaan atau kehadirannya, serta dihargai dan memperoleh rasa kasih sayang. Tidak dimarjinalkan hanya karena suaranya berlainan dan tak dominan. Prinsip cinta ini adalah pegangan untuk terbuka menghargai perbedaan, karena kita tidak diperintah untuk satu dalam pemahaman.

Kita semua merupakan pejuang kebenaran parsial, karena benar yang seutuhnya hanya di sisi Tuhan. Bijak bestari menuturkan, bahwa jalan menuju Tuhan itu sebanyak tarikan napas makhluk-Nya. Begitu banyak dan kaya khazanah warna. Untuk itu, perbedaan pemahaman pun menjadi satu konsekuensi logis. Allah SWT tidak melarang perbedaan, tapi Dia melarang adanya perpecahan. Kehendak ontologis Tuhan, fakta sejarah, dan fitrah manusia, kesemuanya mengarah pada satu identitas besar Islam, yaitu perbedaan. Dan ini adalah kekuatan yang patut dibanggakan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.