Islam Butuh Iklim Intelektual Terbuka

KolomIslam Butuh Iklim Intelektual Terbuka

Harus diakui dengan jujur, bahwa intelektualisme Islam sedang berjalan di tempat. Islam secara umum masih terjebak dalam stagnasi. Predikat kita hari ini adalah konsumen peradaban. Umat Islam begitu terengah mengarungi zaman karena minim pengetahuan dasar akan strategi untuk bersaing. Pada umumnya, sejumlah pihak juga salah alamat dalam memahami faktor utama kemandegan tersebut.

Daripada alasan statisnya iklim intelektual, segolongan umat Islam lebih memilih menuding sistem pemerintahan non-khilafah serta modernisme sebagai biang keladi keprihatinan masyarakat Muslim sekarang. Padahal, bukan mengenai khilafah atau salah modernitas, tetapi ortodoksilah yang menyebabkan intelektualisme Islam mampet. Ibarat kata, masyarakat Islam masih terkonsentrasi menyoal halal-haram di tengah dunia luar yang telah berhasil mencetuskan temuan-temuan fenomenal. Dunia Islam butuh penyegaran, keterbukaan, dan dialog yang lebih substansial.

Sikap menyadari kesalahan dan mau merefleksi sejarah adalah autokritik bagi Muslim, sebagai upaya internal untuk mendobrak kesadaran kolektif kita. Selama ini kita terlampau pasif kontribusi, sehingga tak heran jika Islam kadang kala menerima nada-nada sumbang. Menyalahkan keadaan (modernitas) juga tak akan mengubah apa-apa. Masuk dan turut serta dalam abad modern bukanlah persoalan pilihan, akan tetapi suatu keharusan sejarah kemanusiaan.

Secara historis, dunia keilmuan Islam sempat mengalami masa keemasan yang luar biasa di rentang sekitar abad ke-8 dan abad ke-12. Umat Islam ketika itu begitu terbuka menampung pelbagai khazanah keilmuan. Michael Morony melihat peradaban Muslim sebagai pewaris budaya Yunani, Persia, Khaldea, Mesir, Turki, India, Arab, dan Tiongkok. Dan pencapaian luar biasa Islam ialah kemampuannya menyintesiskan semua unsur itu menjadi satu peradaban tersendiri yang berbeda.

Gerakan penerjemahan naskah-naskah klasik sangat giat dilakukan. Diskusi ilmiah juga begitu digandrungi. Pengetahuan sejarah, ilmu kalam, filsafat, ilmu alam, musik, bahasa, ilmu pasti, ilmu riwayat, dan sebagainya menjadi lokus pengkajian tersebut. Peradaban Islam kala itu begitu ranum. Melalui tradisi intelektualisme yang kuat dan terbuka, dunia Muslim berhasil menghasilkan ahli-ahli berbagai bidang kreatif, layaknya al-Farabi, Ibnu Sina, Khawarizmi, dan Biruni.

Pasca menduduki menara keunggulan, dunia Islam berangsur mengalami pembalikan dimulai sekitar abad ke-11 dan ke-12. Saat kita kehilangan momentum intelektual, kemajuan Eropa Barat dimulai. Komunitas intelektual yang semula memiliki ruang gerak terbuka, perlahan terpinggirkan. Ahmet T. Kuru (2020) menyebut, bahwa dominasi persekutuan antara ulama ortodoks dan negara militer yang kaya akan muatan politis menjadi penggerak utama lahirnya otoritarianisme serta kemunduran dunia Islam, termasuk geliat intelektual.

Sejumlah tokoh Islam memiliki sikap anti-intelektual (kurang peduli pada progresivitas keilmuan) seperti halnya para Islamis dan kalangan syekh sufi mistikus. Sikap tersebut didasarkan pada epistemologi ulama yang mendasarkan pada empat sumber hierarkis; al-Quran, hadis, kesepakatan para ulama (ijma’), dan penalaran analogi (qiyas). Komposisi epistemologi ini cenderung kurang mengakomodir akal (rasio). Padahal akal adalah piranti yang menggerakkan pikiran untuk mendialogkan realitas dan nash hingga bisa membuahkan pengetahuan.

Epistemologi demikian setidaknya mencirikan dua hal. Pertama, penalaran dalam membuat analogi terbatas pada perkara-perkara yang teks literal al-Quran dan hadis tidak menawarkan keputusan yang jelas, serta terbatas ketika tidak ada ijma’. Kedua, konsep ijma’ berimplikasi pada kemapanan otoritas ulama sehingga melemahkan pandangan-pandangan alternatif. Pada perkembangannya konsep ijma’ tersebut bernuansa eksklusif hingga seolah menjadi benteng konservatisme.

Pun demikian, sejarah Muslim awal sejatinya menetapkan porsi lebih besar dan emansipatoris bagi akal, seperti Abu Hanifah. Namun, generasi setelahnya mengembangkan metode hukum yang mengunggulkan pemahaman harfiah Quran dan hadis dan mencukupkan peran akal hanya dalam analogi.

Baca Juga  Habib Luthfi: Menjaga NKRI Kewajiban Setiap Muslim

Sejatinya persoalan bukan sepenuhnya karena kecenderungan literalis. Keragaman arus pemikiran, seperti adanya aliran ortodoks adalah suatu kewajaran, sebagai wujud dari fitrah isi kepala yang berbeda serta konsekuensi dari skema peradaban yang selalu bergerak. Hanya saja, adanya pengukuhan dari otoritas negara/politik menyebabkan ortodoksi tersebut berkembang pesat dan mencengkeram kuat hingga saat ini. Mengakibatkan kebekuan intelektual yang berkepanjangan karena pintu kebebasan dan kreatifitas pemikiran tertutup.

Pengukuhan negara atas ortodoksi tadi terekam dalam horizon sejarah. Apa yang terjadi di dunia Islam sekitar abad ke-11 tadi merupakan perubahan multidimensional. Karena situasi politik kekhalifahan Abbasiyah yang melemah dan merasa terancam karena kebangkitan Syiah di Suriah, Mesir, Irak, dan sejumlah negara tertentu, otoritas politik menyerukan persatuan Muslim Sunni untuk menumpas ancaman tersebut.

Akidah Sunni dijadikan sebagai alat supremasi untuk menyatukan kalangan sultan-sultan Sunni, massa, dan golongan ulama. Sejumlah aliran yang dianggap bertentangan dengan Sunni, seperti Syiah, kalangan rasionalis (Mu’tazilah), dan para filsuf pun mengalami persekusi dengan dianggap sebagai murtad hingga diancam hukuman mati.

Kesultanan Seljuk dapat dibilang sebagai representasi dari persekutuan negara-ulama yang otoriter. Madrasah Nizhamiyah di era Seljuk, didirikan untuk menyatukan mazhab-mazhab teologi dan hukum Sunni dalam rangka mempersiapkan ulama Sunni yang dapat menantang Mu’tazilah, Syiah, serta para filsuf. Imam Ghazali, seorang ulama jenius, berperan signifikan dalam proyek tersebut.

Pada awal sejarah Islam, ulama pada umumnya menganggap kedekatan dengan otoritas politik sebagai sesuatu yang riskan dan merusak. Mereka lebih memilih didanai oleh perniagaan dan membangun relasi baik dengan para pedagang. Sampai sekitar medio abad ke-11, 72,5 persen ulama adalah kalangan yang mandiri secara finansial dengan bekerja di bidang industri dan perniagaan. Kemerdekaan para intelektual dari otoritas negara dan pengaruh ekonomi, memungkinkan kemerdekaan berpikir dapat mereka nikmati.

Ortodoksi telah membuat bangunan epistemologi pengetahuan Islam menjadi kaku. Dan apa yang menjadi arus utama saat ini seolah anti-kritik dan sudah cukup. Cara pandang inklusif sejatinya akan lebih visioner serta akomodatif dengan perubahan. Akal harus diberdayakan lebih. Sejarah berabad telah membuktikan bahwa ketiadaan pembaharuan dan iklim terbuka hanya akan menjadikan kita sebagai kaum pengekor.

Akal merupakan alat untuk membedah fenomena alam yang akan memperkaya ilmu pengetahuan. Teks keagamaan pun akan lebih hidup, fleksibel, dan tepat sasaran ketika akal diberdayakan secara proporsional. Akibat skeptisisme terhadap akal dan keterpakuan pada bunyi harfiah teks sejauh ini, untuk perkara sederhana saja, umat Islam sering kali kerepotan mengatasinya.

Selama ini kita hanya mengutuki kegelapan tanpa mau berusaha menyalakan lilin untuk menemukan jalan menuju terang kemajuan. Terkungkung pada area nyaman sehingga nalar pun menumpul. Untuk mengatasi persoalan ketertinggalan keilmuan serta krisis peradaban Islam, dunia Muslim memerlukan intelektual kreatif. Mereka adalah para pemikir yang berani mengkritisi kemapanan dan di saat yang sama menciptakan alternatif yang orisinil.

Kerangka pandang yang terlanjur begitu mapan harus diketuk untuk menanggulangi kemandegan dunia Islam. Bentuk-bentuk persekutuan non-produktif antara negara dan ulama juga harus diwaspadai. Mengingat hal tersebut yang dalam kesejarahan telah menjadi momok bagi kreatifitas intelektual. Waktu terus melaju, jika bukan kita yang selalu berupaya beradaptasi dengan keadaan, seterusnya kita hanya akan jadi anak bawang. Dengan keterbukaan pemikiran, peradaban Islam akan merekah dan kaya akan sudut pandang. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.