Berdoa dengan Simbol itu Boleh

KolomBerdoa dengan Simbol itu Boleh

Sejumlah tradisi lokal kerap dipandang sebagai sesuatu yang bid’ah dan sesat. Alasannya, karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan tradisi tersebut dan kita wajib meneladaninya. Tradisi-tradisi nusantara seperti penggunaan cabai untuk menangkal hujan, pabeasan saat pindah rumah, dan mitoni, tingkeban, atau tujuh bulanan, dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Padahal, tidak semua tradisi lokal itu bid’ah dan sesat. Sejak ratusan tahun lalu, pelbagai tradisi setempat diadopsi oleh para Wali. Strategi yang digunakan demi menyebarkan dakwah Islam ini pada akhirnya menghapuskan praktik syirik dan menjadikan sejumlah ritual sejalan dengan ajaran Islam. Salah satunya adalah tradisi kemenyan yang semula dianggap syirik, dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga sebagai pengharum dan wewangian, sebab Rasulullah SAW menyukai wangi-wangian.

Di sisi lain, sejumlah tradisi lokal teridentifikasi sebagai praktik dari berdoa dengan simbol. Berdoa dengan simbol juga dikenal dengan al-du’a bi al-rumuz (berdoa dengan simbol), sebagaimana ditulis Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya dan al-dua bi al-isyarah (doa dengan isyarat), istilah yang digunakan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan Abu al-Hasan al-Mubarakfuri.

Berdoa dengan simbol memiliki fondasi yang kuat dalam Islam, yaitu sebuah riwayat dari Imam al-Bukhari. Riwayat ini bersumber dari Abdullah ibn Zaid al-Anshari. Ia bercerita:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى يُصَلِّي وَأَنَّهُ لَمَّا دَعَا أَوْ أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ، اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ

Suatu kali, Nabi SAW keluar untuk melaksanakan shalat (istisqa). Ketika beliau hendak berdoa (meminta hujan), beliau menghadap ke arah kiblat sambil memutar selendangnya [HR Bukhari].

Hadis tersebut membuktikan, bahwa Nabi SAW berdoa dengan simbol. Beliau berdoa meminta hujan seraya mengubah posisi sorban yang dikenakan sebagai simbol atau isyarat. Pindahnya sorban adalah simbol untuk mengubah musim kemarau atau paceklik ke musim hujan yang subur.

Kebolehan berdoa dengan simbol ini berimbas pada kebolehan sejumlah tradisi nusantara yang memiliki pola serupa. Tradisi berdoa agar tidak turun hujan menggunakan cabai merah yang ditusuk dengan lidi dan ditancapkan ke tanah misalnya. Jika ia berdoa dan memohon kepada Allah, sedangkan cabai merah itu dijadikan simbol dari merahnya batu bata atau tanah yang kering, maka tradisi itu sah-sah saja. Namun, jika ia meyakini, cabai merah lah yang mampu menangkal hujan, maka itu perbuatan syirik.

Begitu pula tradisi pabeasan suku Sunda saat pindah rumah. Pabeasan adalah tradisi memindahkan makanan pokok terlebih dahulu ke rumah yang akan ditempati, sebelum memindahkan barang-barang yang lain. Hal ini sah-sah saja, sebab makanan pokok tersebut menjadi simbol dari kesejahteraan dan kecukupan pangan. Namun, mereka tetap berdoa kepada Allah Yang Maha Esa.

Baca Juga  Gus Mus: Nabi Memanusiakan Manusia

Selanjutnya, tradisi mitoni, tingkeban, atau tujuh bulanan, sah untuk dilakukan. Berdoa agar sang ibu dan bayi diberi keselamatan dan kesucian sambil menyiram sang ibu yang sedang hamil tujuh bulan dengan air itu boleh saja dilakukan. Berdoa dengan simbol ini juga pernah dipraktikkan oleh sahabat Nabi SAW, Abu Hurairah.

Sebuah riwayat bersumber dari Imam al-Bukhari. Hadis ini menceritakan kisah Abu Hurairah yang mengadukan kelemahan hafalannya kepada Nabi SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ.

Dari Abu Hurairah, saya berkata kepada Rasulullah SAW, “wahai Rasulullah, saya sering mendengarkan hadismu, tapi sayang banyak yang saya lupa”. Rasulullah SAW menjawab, bentangkan sorbanmu. Saya pun membentangkannya. Rasulullah kemudian menggulungnya dengan kedua tangannya. Kemudian beliau berkata lagi, ikatlah! Saya pun mengikatnya. Setelah peristiwa tersebut, saya tidak pernah lupa (setiap hadis yang beliau sampaikan) [HR Bukhari].

Hadis ini menceritakan, bahwa Rasulullah berdoa dengan simbol. Rasulullah SAW mengiaskan hafalan Abu Hurairah dengan sorban miliknya. Sorban yang dibentangkan saat Abu Hurairah menampung hadis dan ilmu pengetahuan darinya. Sedangkan sorban yang diikat adalah simbol dari hafalan yang tidak mudah lepas.

Oleh karena itu, berdoa dengan simbol sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Bukan merupakan sesuatu yang bid’ah, sesat, atau syirik. Di sisi lain, tidak semua tradisi lokal bertentangan dengan ajaran Islam. Kita tidak dapat memukul rata setiap perkara, kecuali telah kita teliti dan pahami dengan baik substansi yang terkandung di dalamnya.

Terakhir, al-du’a bi al-rumuz atau berdoa dengan simbol itu boleh. Dengan syarat tidak meyakini terkabulnya doa dan permohonan itu karena simbol, melainkan Allah SWT. Tradisi-tradisi lokal, seperti berdoa agar tidak turun hujan dengan cabai merah, pabeasan saat pindah rumah, dan tujuh bulanan itu boleh dilakukan, karena termasuk berdoa dengan simbol. Walhasil, tidak semua tradisi itu sesat, bid’ah, dan syirik itu fakta, bukan fiksi.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.