Akhlak Terhadap Non-Muslim

KolomAkhlak Terhadap Non-Muslim

Di negeri kita, ada banyak daerah yang tumbuh di atas nilai-nilai adat yang bernuansa keislaman. Masyarakatnya biasanya senang membuat aturan yang bernuansa islami. Mulai dari warga di tingkat RT sampai wakil rakyat di DPRD, kerap merumuskan dan mendukung peraturan yang dianggap sesuai Syari’at. Sayangnya, ada pula pihak yang ingin aturan Islami yang biasanya fikih oriented itu, diterapkan secara umum hingga menjangkau warga Non-Muslim. Misalnya, kasus formalisasi jilbab di sekolah yang diberlakukan juga bagi siswi Non-Muslim. Komitmen keagamaan seperti itu tentu sangat berlebihan, serta menimbulkan perasaan antipati terhadap Islam dan Masyarakat Muslim.

Padahal, apa yang dapat diterapkan dari Islam secara luas kepada seluruh umat manusa, ialah akhlak, bukan legal-formal fikihnya. Aturan formal Islam yang diatur dalam fikih jelas hanya berlaku bagi umat Islam, tetapi ajaran akhlak dan pesan tentang amal, kebaikan, bakti, dan kebajikan, berlaku untuk seluruh insan manusia. Dengan Akhlak, ajaran Islam terealisasi secara sempurna dalam kehidupan. Ada banyak indikasi dalam al-Quran dan Sunnah bahwa, sebagian besar paradigma moral kita berlaku untuk umat manusia secara umum.

Kadangkala, sebagian masyarakat Muslim Masih bertanya-tanya, apakah pesan-pesan tentang berbuat baik, tolong-menolong, dan saling melindungi itu termasuk juga kepada non-Muslim? Tentu saja. Allah SWT dengan terang mengatakan bahwa tidak ada halangan untuk berbuat baik kepada orang lain yang tidak seiman, Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama… (al-Mumtahana: 8)

Kaum Muslim harus menghormati agama-agama selain Islam. Rumah ibadah mereka, simbol agama yang mereka sakralkan, dan tokoh-tokohnya, juga harus mendapatkan penghormatan. Maka dari itu, al-Quran melarang keras umat Islam untuk melakukan penghinaan terhadap keyakinan dan simbol-simbol kesucian agama lain. Hal ini dinyatakan dalam Surah al-An’am ayat 108, Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah.

Dampak sosial dari perilaku olok-olok tersebut tidak sederhana. Tindakan tersebut dapat memicu sikap saling membenci, saling mencurigai, yang pada gilirannya kita tidak bisa hidup berdampingan secara damai. Menghina tuhan maupun simbol agama orang lain itu terlarang. Dalam Tafsir Tematik Kemenag, Hubungan Antar Umat Beragama (2008), dijelaskan lebih lanjut bahwa, larangan ayat ini bukan kepada hakikat tuhan-tuhan mereka, namun pada tindakan penghinaan. Lagi pula, penghinaan tidak menghasilkan kemaslahatan agama. Agama Islam datang dengan bukti kebenaran, sedang makian biasanya ditempuh oleh mereka yang lemah. Jadi, umat Islam justru diperintahkan untuk menunjukan toleransi dan penghormatan kepada eksistensi agama lain.

Selain itu, Islam sangat mendorong akhlak yang baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Perintah untuk berbuat baik kepada orang lain, disampaikan secara berulang di dalam al-Quran. Kita senantiasa diingatkan untuk berbuat baik (ihsan) secara umum terhadap hampir semua jenis orang dalam masyarakat, salah satunya dalam Surat an-Nisa ayat 36 ini,

…Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri (QS. An-Nisa: 36).

Perintah berbuat baik tersebut, berlaku secara umum. Kerabat, tetangga, teman, musafir, anak-anak yatim, yang disebutkan dalam ayat itu tidak dikhususkan bagi yang muslim saja. al-Qurtubi misalnya, menjelaskan implikasi dari ayat tersebut bahwa, berbuat kebajikan itu diperintahkan baik kepada seorang Muslim atau orang yang tidak beriman, yakni kebajikan dalam arti simpati dan persahabatan yang baik, melindungi dari bahaya, dan membela dari orang lain.

Masyarakat Islam juga didorong untuk memberikan suasana sosial yang hangat, kepada saudara seiman maupun tidak. Islam mendorong kaum Muslim untuk menjalin pergaulan, silaturahmi, dan keramah-tamahan dengan umat agama lain dalam satu komunitas masyarakat. Bahkan, Allah menegaskan kehalalan makanan baik yang diberikan tetanggan maupun kerabat non-Muslim dalam QS. Al-Maidah ayat 5. Hal demikian, berpengaruh besar untuk menghilangkan keraguan pergaulan dan kerukunan lintas agama.

Baca Juga  Belajar Berdemokrasi dari Gus Dur

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka… (al-Maidah: 5)

Makanan merupakan hal yang amat asasi bagi setiap makhluk hidup. Meskipun antara muslim dan non-Muslim memiliki gaya konsumsi yang berbeda, tidak perlu ada keraguan maupun kecurigaan dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan keakraban yang diliputi budaya berbagi makanan. Oleh karena itu, penegasan tentang kehalalan suguhan makanan non-Muslim, merupakan dukungan untuk menjalin keakraban dengan kerabat maupun tetangga non-Muslim.

Sebagaimana yang dituturkan oleh Sayyid Qutub dalam tafsirnya Fi Zilalil Quran bahwa, kehalalan makanan yang baik dari non-Muslim itu, dirumuskan supaya terjadi saling mengunjungi, saling bertamu, saling menjamu makanan dan minuman, serta agar semua anggota masyarakat berada di bawah naungan kasih sayang dan toleransi.

Pada dasarnya, banyak dari dalil al-Quran dan hadits yang mengatakan ‘saudara’ tetapi sebenarnya prinsipnya melampaui lingkaran Muslim. Misalnya, Nabi SAW pernah bersabda, Seorang pria tidak boleh merusak transaksi saudaranya (Sahih Muslim, no. 1408). Kata ‘saudara’ di sini digunakan sebagai kata pengganti untuk saudara dalam kemanusiaan, yang berarti termasuk juga non-Muslim. Seorang ulama, Sulayman ibn ʿUmar al-Jamal dalam kitabnya Hashiyat al-Jamal ʿala sharḥ al-Manhaj (1990, vol. 3, hal. 30), menulis komentar untuk hadis ini bahwa, saudara itu meliputi “Warga non-Muslim (zimmi), non-Muslim dalam perjanjian damai (mu’ahid), dan non-Muslim diberikan kekebalan (musta’min) semua seperti saudara Muslim dalam hal ini”.

Misalnya lagi, hadits sebuah hadis yang berbunyi, Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya (HR. Bukhari no. 13). Kata ‘saudara’ yang biasa diartikan sebagai saudara laki-laki atau perempuan Muslim, sebenarnya juga berlaku untuk orang pada umumnya atau sesama manusia, yaitu tetangga, kerabat, teman dan orang-orang yang berinteraksi dengan Muslim secara damai. Versi lain hadis ini, yang diriwayatkan Imam Ahmad no. 13875, bahkan menggunakan ungkapan yang lebih luas, yaitu ‘orang-orang’. Seorang non-Muslim yang memiliki hubungan damai dengan Muslim, kehidupan, properti, dan reputasi mereka dianggap sama dengan Muslim.

Pada intinya, akhlak baik Muslim dalam kehidupannya harus diamalkan juga dalam hubungan dengan non-Muslim. Islam mengembangkan akhlak baik pada semua orang. Seorang Muslim harus menghormati dan menghargai individu lain, tanpa melihat apakah pihak lain itu sealiran, sesuku, seide, semazhab, seagama atau tidak, sebab Muslim diharapkan cukup berorientasi pada kebaikan Allah. Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (al-Qashash: 77). Jadi, berbuat baik bahkan tidak perlu melihat apakah pihak tersebut pernah berjasa atau pernah berbuat baik kepada kita juga atau tidak.

Kesimpulannya, seorang Muslim harus menunjukan akhlaknya pada seluruh umat manusia, tidak terbatas pada Muslim saja. Kata ‘saudara’ pada perinsipnya bisa berarti ‘orang’ secara umum atau persaudaraan manusia, karena setiap orang memiliki ikatan yang sama berdasarkan Adam dan Hawa. Islam sangat mendorong perilaku yang baik terhadap sesama umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim.

Dengan demikian, siapa pun yang tinggal bersama Muslim dan hidup damai di dekat Muslim, harus aman dari persekusi, paksaan, dan intoleransi. Seorang non-Muslim yang bersekolah, bekerja, atau tinggal dalam lingkungan Muslim, berhak atas akhlak baik Muslim di sekitarnya. Akhlak terhadap non-Muslim itu meliputi perbuatan baik, amal, kasih sayang, perlindungan, dan penghormatan kepada non-Muslim dan eksistensi agamanya. Sekali lagi, apa yang harus direalisasikan Muslim dari agama Islam secara luas kepada seluruh umat manusia ialah akhlak.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.