Intoleransi dan Ekstremisme Bermotif Politik

KolomIntoleransi dan Ekstremisme Bermotif Politik

Seperti banyak diketahui, intoleransi dan ekstremisme yang mengarah pada terorisme merupakan penyakit kronis negara dan musuh global. Banyak negara terjerumus perang saudara yang didasari sikap fanatisme berlebihan yang berimplikasi sikap intoleransi—meyakini kebenaran identitas tunggal dan anti liyan—kemudian dipraktekkan ke dalam sebuah tindakan berupa aksi-aksi destruktif—seperti intimidasi, persekusi, dan menyelisihi—yang mengarah pada sikap esktrem. Bahkan berupa ancaman teror.

Sejarah berdirinya Arab Saudi atas kendali Inggris, telah memberikan contoh dengan menggunakan ideologi Salafisme-Wahabisme. Ideologi puritanis yang menganggap dirinya sebagai golongan Salafi (pengikut generasi Sahabat) sekaligus sumber kritik dan penolakan berbagai tradisi yang dibangun para ulama. Paham Wahabisme ini menyebarkan paham yang cenderung intoleran dan ekstrem ke seluruh dunia Islam, dengan sokongan minyak Kerajaan Arab Saudi yang kaya.

Apa yang dilakukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Al-Qaeda, Jabhat Al-Nusra, dan seluruh kelompok ekstrem yang menghancurkan bangunan bersejarah di Irak dan Suriah, mengingatkan kita pada penghancuran situs-situs bersejarah oleh Wahabi Arab Saudi pada abad ke-19 dan 20-an awal. Termasuk menghancurkan makam-makam para sahabat Nabi yang dikeramatkan.

Begitu juga dengan Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat yang berakhir pada Tahun 1991. Pertempuran itu menandakan kekalahan ideologi Sosialisme dan kemenangan ideologi liberalisme dalam pengaruh dunia global. Keterlibatan Osama bin Laden dengan Al-Qaeda sebagai kendaraan AS untuk memerangi Uni Soviet di Afghanistan menjadi awal mula paham jihadis-Salafisme ekstrem dengan mengatasnamakan agama.

Satu dekade kemudian keadaan berbalik, Al-Qaeda yang dulu disokong Arab Saudi dan AS, justru menentang AS dalam serangan gedung World Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001. Konfrontasi itu juga yang menandakan bangkitnya paham Islamisme yang condong bersikap intoleran dan ekstrem, menggantikan ideologi sosialisme dan komunisme dalam pertentangannya melawan kafir liberal sekuler.

Maka dengan melihat fenomena merebaknya kelompok-kelompok ekstrem radikal dengan mengatasnamakan agama sekarang ini, sudah ada pijakan langkah politik ekstrem sebelumnya. Dengan Inggris yang memanfaatkan paham Wahabisme untuk mengendalikan Arab Saudi dan AS yang menunggangi kelompok-kelompok jihadis teroris bersenjata atas nama Islam seperti Al-Qaeda dan ISIS, menunjukkan bahwa aksi kekerasan dengan mengatasnamakan Islam, memiliki motif pengaruh politik dengan cara-cara ekstrem.

Para ulama dan Muslim yang mencintai Islam sangat menentang perilaku kekerasan, radikal, dan ekstrem dengan simbolistik suci agama sebagai tameng. Begitupun tidak sepenuhnya benar misalnya ada yang beranggapan para ulama, syekh, dan sufistik yang senantiasa berkhutbah damai tentang Islam, selalu lunak, halus, dan ramah. Para ulama dan sufistik itu tentu saja dalam rangka jihad mempertahankan diri, membela ketertindasan keluarga, harta, rumah, dan Tanah Air, juga menggunakan cara kekerasan.

Pengertian jihad itu sangat berbeda antara kelompok-kelompok radikal ekstrem dengan para ulama yang mempertahankan kedaulatan nasional. Beberapa tokoh anti-kolonial seperti Abdul-Qadir bin Muhyiddin di Aljazair melawan Prancis, Omar Mukhtar di Libya melawan Italia, Muhammad al-Mahdi di Sudan melawan Inggris, dan Syekh Syamil di Kaukasus Utara melawan Rusia (Ahmet T. Kuru, 2020, 28). Di Indonesia, KH. Hasyim Asyari sebagai pemberi legitimasi fatwa resolusi jihad Nahdlatul Ulama yang terkenal dalam pertempuran ulama-santri—dalam rangka mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban agama melawan Belanda—yang diperingati hingga saat ini pada 10 November setiap tahunnya.

Baca Juga  Mengikis Mitos Gender dengan Tafsir

Hal itu terbukti setelah merdeka, para kiai, ulama, dan syekh terdahulu kembali pada profesinya masing-masing. Yang berdagang kembali berdagang, yang petani kembali bercocok tanam, yang nelayan kembali berlayar mencari ikan, dan seterusnya. Kemaslahatan bagi seluruh umat manusia lebih dikedepankan ketimbang politik hasrat kekuasaan. Konfrontasi para ulama, jelas memiliki misi suci, yakni memerangi imperialisme asing, dan bukan mempersekusi sesama anak bangsa.

Berarti sudah benar gagasan seorang filsuf Muslim kenamaan, Ibnu Rusyd atau Averroes (1126-1198), bahwa yang paling berhak berkuasa ialah para moralis yaitu filsuf, intelektual, dan pemimpin agama, namun tanpa sistem dan perundangan yang rasional dan sistemik, mereka akan lebih jahat dari binatang karena tahu bagaimana “memanipulasi Tuhan, kitab suci dan ilmu” seperti kritik Imam al-Ghazali (Abdul Munir Mulkhan, 2003: 57). Maka seringkali kita temukan pengkhutbah agama yang cerdik, berusaha mengotak-atik ayat dalam kitab suci untuk melegalkan kepentingan tertentu.

Beberapa ayat yang berbicara toleransi, pengampunan, perdamaian, mengedepankan kebebasan hati nurani jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat pedang. Gagasan klaim jihadis-Salafisme mengenai tafsir ayat kitab suci yang parsial, melahirkan tindakan anarkisme dengan motif kekuasaan. Padahal, semua ayat perang dalam al-Quran adalah sebuah upaya pertahanan. Sebagaimana Nabi mempertahankan Negara Madinah.

Daulah Islamiyyah (negara Islam) yang dicita-citakan kelompok ekstrem jihadis, memiliki kecenderungan dan keinginan berkuasa. Padahal Nabi sama sekali tidak membangun negara Islam. Nabi membangun negara Madinah yang di dalamnya terdiri dari berbagai suku dan agama. Kemajemukan Madinah dalam upayanya mempertahankan diri dari serangan Quraisy dan Baduy yang nomaden, dituangkan dalam satu kesepakatan yang dinamakan Piagam Madinah.

Piagam Madinah sebagai tanda kesepakatan di antara penduduk Madinah untuk saling melindungi, saling menghargai satu sama lain, saling mengasihi, dan tingkat toleransi yang tinggi. Piagam Madinah juga seharusnya dapat menjadi sebuah rujukan nomenklatur klasik dalam membangun peradaban negara di era modern sekarang ini.

Tapi bagi beberapa pihak yang ingin berkuasa dan kepentingannya tidak terakomodir dengan baik oleh negara Pancasila yang didasarkan dari saripati Piagam Madinah, merasa perlu untuk membangun sebuah gerakan represif politik baru yang berdasarkan syariat dan bermimpi terjebak nostalgia era keemasan dinasti kekhalifahan.

Tidak aneh jika sebagian pemuka agama konservatif kita, selalu berbicara mengenai politik. Mereka lebih senang memanfaatkan populisme Islam untuk menertibkan masyarakat yang dianggap menyimpang dari garis-garis syariat. Mereka juga lebih senang memprovokasi dalam ujaran kebencian (hate speech). Mereka telah lupa ajaran Nabi yang sesungguhnya, yakni akhlak, atau bahkan tema etika dan akhlak tidak begitu menarik simpati kelompok hijrah era kekinian. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian ditunggangi para politisi demagog untuk meraih tahta kuasa.

Dengan kata lain, sikap intoleransi dan ekstremis yang mengarah pada aksi-aksi anarkisme dan terorisme, sarat akan motif ekonomi, motif politik, kursi, dan berebut pengaruh. Untuk itu, penguatan identitas nasional lebih diutamakan dibandingkan identitas agama. Karena biasanya minoritas lebih banyak menjadi korban tindakan intoleransi dan intimidasi, serta kekerasan.

Saling percaya, saling menghormati, dan saling tenggang rasa menjadi kunci kuatnya persatuan dari serangan orang-orang demagog yang memanfaatkan intoleransi dan ekstremisme agama dengan motif politik. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.