Peristiwa pemaksaan pemakaian jilbab terhadap siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang tempo hari kembali memantik keprihatinan kita. Intoleransi memang masih menjadi ujian umum yang menggejala kuat di tengah pasar keragaman bangsa ini. Seturut dengan apa yang terjadi di Padang tersebut, ramai kemudian dibicarakan mengenai kasus pelarangan jilbab bagi Muslimah di sekolah-sekolah di Bali pada 2014. Apapun itu, baik pemaksaan ataupun pelarangan jilbab adalah tindak intoleran, tidak layak dibenarkan. Dan masih banyak lagi lanskap sosial negeri ini yang tak ramah akan keragaman.
Sikap intoleran adalah virus multiwajah yang terangkum dalam definisi keengganan menerima yang berbeda, serta merasa apa yang diyakininya sebagai kebenaran tanpa cela. Ihwal paling prinsipil dalam kehidupan bersama ialah sikap saling memahami dan menghormati. Memupuk tenggang rasa adalah amunisi untuk melanggengkan kerukunan.
Syekh Wahbah al-Zuhaili, seorang ulama terkemuka dari Syiria, menuturkan lima nilai dasar toleransi yang disaripatikan dari sumber-sumber Islam. Hal ini menunjukkan, bahwa sikap toleran memang amanat baku dari agama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang menyebut, bahwa Aku diutus dengan membawakan agama yang lurus dan toleran (HR. Ahmad). Dalam sabda lain, Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran (HR. Bukhari).
Pertama, kata “toleransi” mengandung makna persaudaraan atas dasar kemanusiaan (al-ikha’ al-insani). Kita semua adalah entitas sama yang terkait dalam satu identitas dasar, yaitu kemanusiaan. Sejak lahir mengantongi hak dasar yang sama pula. Untuk itu, bersikap intoleran sama dengan menolak kerangka persaudaraan universal.
Poin pertama ini dikukuhkan dengan firman Allah dalam surat an-Nisa [4]: 1 yang menekankan bahwa manusia hadir dari nenek moyang yang satu, yakni Nabi Adam dan Siti Hawa. Serta surat al-Hujurat [49] ayat 13 yang narasinya, Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa.
Ayat tersebut menyiratkan, bahwa perbedaan memang DNA dari penciptaan manusia. Tidak bisa ditawar. Diciptakan berbeda untuk belajar mengenal, bersaudara, dan membangun peradaban dari kombinasi keragaman. Jika tak sama secara keyakinan, semua manusia merupakan komunitas persaudaraan atas nama kemanusiaan. Demikian tutur Imam Ali bin Abi Thalib yang menjelaskan patron fitrah dari relasi kehidupan manusia.
Kedua, nilai pengakuan dan penghormatan terhadap yang lain (al-I’tiraf bi al-akhar wa ihtiramuh). Memutuskan bersikap toleran berarti bersedia mengolah sikap mental untuk tidak memaksakan kehendak terhadap orang yang tak sejalan sepemikiran. Dalam taraf yang lebih tinggi, toleransi adalah menyambut hangat sesuatu yang berlainan dengan diri kita. Tidak mengusik keyakinan orang lain, mengakui realitas akan eksistensi keyakinan yang heterogen.
Nabi Muhammad SAW pernah mencontohkan sikap toleran yang begitu adiluhung. Dikisahkan, ketika itu Nasrani Najran mendatangi beliau untuk mengajak beliau berdiskusi mengenai teologi. Waktu kebaktian tiba, mereka meminta izin Nabi untuk beribadah di masjid Nabawi. Para sahabat nampak keberatan, tetapi beliau dengan legowo memersilahkan mereka untuk melaksanakan kebaktian di situ. Demikian rujukan tak terbantahkan untuk menghormati siapapun yang berbeda.
Ketiga, toleransi mengandung nilai kesetaraan di antara semua manusia (al-musawah baina al-nas jami’an). Prinsip ini sepaket dengan poin pertama, surat al-Hujurat [49] ayat 13 juga menjadi pondasi doktrin kesetaraan ini. Semua manusia sama rendah, berbahan baku tanah. Tuhan mutlak Maha Adil. Standar manusia mulia adalah sesuatu yang terbuka bisa diusahakan manusia, yakni ketakwaan. Siapapun berhak meraih predikat tersebut dengan upaya ibadah seorang hamba. Allah SWT tidak sama sekali menjadikan keunggulan nasab, kelebihan fisik, ataupun hal-hal yang bersifat ketetapan sebagai tolok ukur takwa.
Doktrin persamaan ini memuat pemahaman bahwa secara sosial-politik manusia semua setara. Maka dari itu, konsep kasta ataupun hierarki sosial sama sekali tak relevan. Hal ini sejalan dengan misi profetik Nabi untuk mengangkat sama tinggi derajat manusia.
Keempat, yaitu prinsip keadilan sosial dan hukum (al-‘adl fi al-ta’amul) termuat dalam nomenklatur toleransi. Berlaku toleran berarti mengafirmasi tegaknya keadilan sosial-hukum dalam kontrak kehidupan. Islam menempatkan keadilan pada posisi yang begitu penting. Terhitung kurang lebih 56 ayat al-Quran membincang soal keadilan. Salah satu yang populer, ialah bahwa Allah menugaskan hambanya untuk bertindak adil, karena ia lebih dekat dengan takwa (al-Maidah [5]: 8).
Dalam konteks bernegara, Indonesia berstatus sebagai negara hukum. Dasar negara kita pun mencantumkan keadilan sosial sebagai puncak tujuan dalam tata hidup berbangsa bernegara. Jadi, apabila masih ditemui seseorang berlaku diskriminatif dan berat sebelah, sejatinya ia sedang menjamak laku pengkhianatan.
Kelima, toleransi berisi nilai penetapan kebebasan yang diatur oleh undang-undang (Iqrar al-hurriyyah al-munadzdzamah). Sejak kelahirannya, manusia telah mengantongi hak kodrati yang melekat padanya dan bersifat universal. Dalam perjalanan sejarah, harkat martabat manusia diakui dan dijamin melalui forum internasional. Islam sendiri adalah agama yang kompatibel dengan HAM. Sejak awal Islam mengakui perlindungan HAM, yang selanjutnya terumuskan dalam konsep maqashid syariah.
Dalam konteks kasus pemaksaan jilbab di Padang, kasus intoleransi tersebut telah menodai konstitusi kita yang berlaku. Tindakan otoritas sekolah itu telah menyelisihi Pasal 55 UU 39/1999 tentang HAM dan Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Menjadi makhluk sosial adalah fitrah dari entitas bernama manusia. Kita tidak bisa menafikan kebutuhan akan kemampuan untuk hidup bersama umat manusia yang beragam coraknya. Salah satu basis interaksi dalam keberagaman adalah toleransi. Toleransi menjadi wawasan universal yang berlaku bagi semua hal yang bersinggungan dengan relasi antarmakhluk.
Sikap kedewasaan kita senantiasa diuji. Pasang surut hubungan antarumat beragama atau atas dasar perbedaan apapun, membuat wacana toleransi akan selalu menemukan urgensinya. Toleransi adalah sebentuk akomodasi dalam interaksi sosial. Uraian panca nilai dasar toleransi yang diusung Syekh Wahbah al-Zuhaili ini amat penting untuk direnungi, agar kita tidak memaknai wawasan toleransi sekadar nasihat klise, atau bahkan proyek politis. Namun, toleransi semestinya dimaknai secara tulus sebagai sikap kedewasaan manusia dengan nalar serta akal budi. Wallahu a’lam. []