Intoleransi Di Sekolah Melanggar Hak Anak

KolomIntoleransi Di Sekolah Melanggar Hak Anak

Belakangan, kasus intoleransi kembali terjadi di Tanah Air. Sebuah kebijakan dari SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, yang mewajibkan siswinya mengenakan jilbab, meskipun tidak semua peserta didiknya beragama non-Muslim. Hal ini yang kemudian kasus intoleransi di dunia pendidikan semakin bertambah. Pasalnya, peristiwa tersebut bukan hanya sebagai akumulasi pembiaran negara terhadap persoalan intoleransi secara terstruktur di sekolah, akan tetapi juga sebagai bentuk melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap anak yang tidak berprinsip pada nilai-nilai kebangsaan.

Memang, pada awalnya polemik ini terjadi pada sebuah video yang memperlihatkan percakapan antara orangtua murid dengan pihak SMKN 2 Padang, Sumatera Barat terkait adanya kewajiban memakai jilbab bagi non-Muslim di lingkungan sekolah yang viral di media sosial, pada Jumat, (23/1/2021).  Dalam video itu, terdengar orangtua murid sedang menjelaskan bahwa ia dan anaknya merupakan non-muslim, sehingga ia meminta toleransi kepada pihak sekolah untuk tidak menggunakan jilbab.

Sayangnya, pihak sekolah menyebut, penggunaan jilbab merupakan kewajiban dan sudah menjadi aturan sekolah, sehingga menjadi janggal bagi guru-guru dan pihak sekolah, apabila ada anak yang tidak mematuhi peraturan sekolah. Bahkan sebelumnya, pihak sekolah, pada awal penerimaan masuk, baik antara orangtua dan anak sudah sepakat untuk mematuhi peraturan sekolah, termasuk mengenakan jilbab tersebut. Meskipun demikian, hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM bagi anak.

Jika melihat pada kasus intoleransi yang terjadi di sekolah. Hal ini tidak jauh beda dengan kasus yang sempat viral, yakni seorang oknum guru Islam dan Budi Pekerti di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 58 Jakarta yang mengirimkan pesan broadcast kepada muridnya untuk tidak memilih pasangan calon ketua OSIS yang non-Muslim. Lagi-lagi terjadi di sekolah negeri dengan memprovokasi muridnya melalui identitas keagamaan. Atas kejadian tersebut oknum guru mengaku menyesal dan sempat dipolisikan.

Sementara, di sisi lain catatan P2G, peristiwa serupa terkait intoleransi yang terjadi di sekolah  memang banyak terjadi. Pada 2017 misalnya, terdapat kasus pelanggaran jilbab di SMAN 1 Maumere dan pada 2019 di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. Pada 2014 kasus serupa terjadi pada sekolah-sekolah di Bali, dan masih banyak lagi kasus pemaksaan maupun pelanggaran jilbab yang terjadi di Tanah Air.

Baca Juga  Belajar Agama di Dunia Maya

Memang, isu SARA dilembagakan melalui pendidikan dengan corak intoleran sedang marak terjadi. Praktek penanaman nilai intoleransi dan pemaksaan terhadap identitas tertentu sangat memalukan institusi pendidikan. Padahal semestinya, pendidikan menjadi penanaman nilai siswa dalam membentuk wawasan kebangsaan yang kuat dan nilai toleransi dalam perbedaan. Akan tetapi justru sebaliknya, menanamkan nilai intoleransi  secara struktur melalui peraturan dan kebijakan yang seharusnya tidak dilakukan.

Jelas, mewajibkan siswa beragama non-Muslim mengenakan jilbab merupakan bentuk intoleransi dan melanggar HAM. Hal ini sesuai dengan aturan sekolah yang seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan, apalagi sekolah negeri. Maka dari itu, melarang dan memaksa peserta didik berjilbabd  jelas melanggar HAM.

Sementara, persoalan intoleransi di sekolah, khususnya di daerah mengandung problematika dari aspek regulasi, struktural, sistematik, dan birokrasi. Faktor-faktor penyebab utamanya adalah Peraturan Daerah (Perda) yang bermuat intoleransi. Kewajiban jilbab misalnya yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang merujuk pada Intruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005. Artinya, ada peran pemerintah pusat, seperti Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan (Kemendikbud), yang mendiamkan dan melakukan pembiaran adanya regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini.

Selain itu, berpakaian kegamaan atau memilih tidak memakainya, serta tetap diberikan pelayanan pendidikan (atas sikap anak tersebut) sebetulnya merupakan hak dasar yang dijamin dalam UUD 1945, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan Permendikbud No. 45/2014. Hal ini tentunya apapun ekspresi dan cara berpakaian semestinya tidak menjadi penghalang dalam mendapatkan hak atas pendidikan, seperti diamanatkan Pasal 31 UUD 1945.

Dengan demikian, mewajibkan penggunaaan jilbab bagi non-Muslim merupakan bentuk intoleransi yang terjadi di sekolah. Hal ini jelas melanggar HAM pada anak dalam mendapatkan hak untuk berekspresi dengan cara berpakaian dan hak anak atas pendidikannya yang sama dan setara, karena sejatinya pendidikan bukan hanya sebagai bentuk kewajiban saja, akan tetapi juga hak setiap warna negara untuk memperoleh pendidikan dengan tidak memandang apapun agamanya.  

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.