Penyegelan Gereja Bentuk Intoleransi

KolomPenyegelan Gereja Bentuk Intoleransi

Terjadi lagi, penyegelan rumah ibadah di nusantara. Kali ini peristiwa tersebut berlangsung di Tebing Tinggi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Penyegelan itu dilakukan oleh pemerintahan setempat. Tentu, hal ini adalah pelanggaran kebebasan beragama di tengah keberagaman. Seharusnya pemerintah dan warga setempat, bekerja sama agar hal seperti itu tidak terjadi, karena ini adalah masalah serius bagi bangsa. Apapun alasannya, peristiwa tersebut tidak bisa dibenarkan. Sebab, penyegelan tempat ibadah adalah salah satu bentuk dari sikap intoleransi.

Entah apa yang melandasi kejadian tersebut. Penyegelan yang tidak ada solusi, akan menyebabkan penelantaran jamaah yang ingin beribadah. Jangan sampai kasus yang sama terulang kembali. Seharusnya, jika tempat tersebut belum ada izin atau pada saat pembangunan kurang persyaratan, maka seharusnya pemerintah setempat membantu dan mempermudah perizinan, bukannya malah mempersulit bahkan menyegel. Peristiwa seperti itu akan mencoreng keutuhan dan kemurnian nilai-nilai Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Kementerian Agama atau pemerintahan terkait harus secepatnya bertanggung jawab dalam mengambil keputusan dan membela kepentingan rakyat yang tertindas. Karena hak-hak beragama dan berkeyakinan telah dijamin oleh konstitusi kita. Dalam Pasal 29 ayat 2 UUD Tahun 1945 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Maka dari itu, jika ada oknum yang semena-mena dalam mengambil keputusan, maka pemerintah pusat harus turun tangan dan negara wajib menindaknya dengan tegas.

Dalam Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 The Wahid Institute mengatakan, ada pola pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh negara. Beberapa bentuk pelanggaran kebebasan beragama, seperti pelarangan rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan, hingga pembiaran oleh aparat selalu diawali oleh tindakan-tindakan intoleran dari sebagian masyarakat.

Misalnya bentuk pelanggaran yang paling tinggi adalah pembiaran tindakan intoleran dan pelarangan rumah ibadah. Keduanya muncul, karena di satu sisi aparat pemerintah tidak mampu menegakkan hukum. Dan di sisi lain, pemerintah mengikuti selera mayoritas. Dalam kedua kasus ini, aparat hukum bahkan sering berada dibawah kendali kelompok intoleran. Fakta ini sejalan dengan temuan, bahwa pelaku utama pelanggaran kebebasan beragama adalah polisi dan pemerintah daerah.

Baca Juga  Kiai Said Aqil Siroj: Di Bulan Ramadhan Buang Rasa Permusuhan

Mereka cenderung bercorak membatasi, ketimbang menjamin dan melindungi. Ketika terjadi konflik antara agama misalnya, kedua institusi ini sering membatasi hak kelompok minoritas dengan alasan menghindari konflik yang lebih besar. Pendekatan menghindari konflik ini, jelas bertentangan dengan kewajiban negara dalam menjamin hak setiap warga negara untuk beragama dan beribadah menurut keyakinannya masing-masing.

Perlu kita ketahui, rumah ibadah adalah tempat yang paling berharga bagi umat beragama. Setiap agama pasti memiliki tempat untuk beribadah. Masing-masing agama mempunyai tempat ibadah yang berbeda-beda. Jika salah satu agama dilarang atau dipersulit dalam mendirikan tempat ibadah, maka nantinya akan berdampak luas. Hal itu akan menyebabkan sikap intoleransi menyebar ke berbagai wilayah. Apabila ada pelarangan atau penyegelan rumah ibadah di salah satu daerah yang mayoritasnya agama Islam, maka tak bisa dipungkiri seandainya ada wilayah dengan mayoritas agama tertentu, yang akan melakukan hal serupa. Maka itu, dampaknya akan luas jika kejadian tersebut dibiarkan.

Sementara itu, kita hidup di nusantara yang di mana negara ini adalah negeri untuk semua agama. Bagi sebagian kalangan, keragaman merupakan ancaman. Namun, sebagian orang juga menyebutkan, keragaman adalah keharmonisan yang menimbulkan kesempurnaan. Di sinilah, toleransi harus kita hidupkan. Karena, sikap toleransi akan menjadikan negara kita damai dan penduduknya akan saling menghargai. Maka itu, marilah kita hidupkan toleransi di tengah keragaman makhluk Tuhan. Dengan toleransi, kita akan rukun dan damai di tengah kemajemukan.

Dengan demikian, penyegelan atau pelarangan pendirian tempat ibadah termasuk Gereja adalah bentuk dari sikap intoleransi. Apapun alasannya, peristiwa tersebut tidak dapat dibenarkan. Sikap penyegelan tempat ibadah, seharusnya sudah tidak ada lagi. Semua masyarakat harus sadar, karena pelanggaran beragama dan intoleransi adalah masalah serius bagi kita. Maka dari itu, kita sebagai warga negara patut menjaga sekaligus memahami Pancasila, UUD Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI agar dijauhi dari sikap intoleransi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.