Tafsir Ayat Bencana Alam Ulah Manusia

KolomTafsir Ayat Bencana Alam Ulah Manusia

Pada awal Januari 2021 Indonesia dirundung pilu. Wabah Covid-19 yang tak kunjung reda, kini bencana alam gempa, banjir, dan gunung meletus datang menghampiri Tanah Air. Selain karena letak geografis Indonesia yang memang rentan bencana alam, ulah manusia juga tak terlewat di sorot. Oleh karena itu, bencana alam tidak sepenuhnya membawa dampak negatif, melainkan dampak positif untuk lebih ramah lingkungan dan merawat alam sudah seharusnya menjadi kesadaran manusia sepenuhnya.

Namun terjadinya bencana alam, bukan semata-mata karena azab sebagaimana yang dituduhkan orang awam pada umumnya yang merujuk, baik pada pemerintah, suatu kaum, maupun personal tanpa mencari tahu gejala penyebab bencana. Jika pemikiran kita hanya sampai di sini, maka yang kita temukan hanya perdebatan yang tak melahirkan solusi. Untuk itu, manusia harus saling introspeksi diri dengan mengkaji ilmu geografi salah satunya dan membenahi beberapa faktor lainnya, seperti penyumbatan air yang tidak bisa menyerap ke tanah dengan baik, sehingga mengakibatkan banjir.

Dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 41 disebutkan, Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Hal ini menunjukkan terjadinya bencana alam hakikatnya bersumber dari manusia, tanpa menafikan karena reaksi alamiah itu sendiri.

Jika ayat di atas dikorelasikan dengan surat al-Baqarah ayat 30, maka jelas manusia yang dipercayakan Allah SWT sebagai khalifah fil ardh (khalifah di muka bumi), yaitu manusia yang beri akal dan hati nurani agar ia dapat menjaga, mengelola alam dengan baik, hingga umat manusia dapat mengambil manfaat dan menghindar dari berbuat kerusakan dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya selama hidup di muka bumi.

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (2009), ketamakan manusia terhadap alam membuat kerusakan bagi manusia sendiri, hingga terjadinya longsor, banjir, bahkan memicu bencana alam lainnya yang bertumpuk. Berdasarkan kronologinya, bencana banjir merupakan faktor dari kelalaian manusia yang kurang disiplin membuang sampah sembarangan. Selain itu, padatnya penduduk dan tata letak rumah atau bangunan yang semula untuk aliran air kini tersumbat oleh proyek yang dibuat manusia.

Mestinya ketika mereka membangun sesuatu agar air dapat menyerap ke tanah demi menghindari banjir harus dipertimbangkan. Tanaman-tanaman yang menjadi bagian daya tampung air menjadi tak terserap dengan maksimal karena ulah manusia yang sembarangan menabang pohon atau membakar dahan-dahan liar. Hamparan jalan aspal disejumlah wilayah mengalirkan air pada tempat yang kian dipersempit dan dataran rendah. Hal-hal tersebut tentu hanya bisa dilakukan oleh manusia, sehingga masyarakat perlu duduk bersama berdiskusi, melakukan autokritik dan mencari jalan keluar atas apa yang terjadi.

Memang tidak salah untuk mengeruk dan memanfaatkan alam ini, akan tetapi harus ada efek minimal dari kerusakan alam. Hanya saja ada batasan agar alam dimanfaatkan secukupnya untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup. Jika kerusakan atau bencana terjadi itu pertanda sikap manusia yang mulai melampaui batas terhadap penyalahgunaan alam.

Baca Juga  Habib Luthfi: Menghancurkan NU, Menghancurkan Indonesia

Meminjam data dari tirto.id (19/1) daftar bencana di Indonesia yang kini terjadi selama Januari, yakni banjir menggenangi 19 wilayah. Gelombang tinggi di Natuna dan Manado berpotensi pada puting beliung dan banjir rob. Puting beliung dan cuaca ekstrem di sejumlah tempat, seperti Natuan, Cirebon, Sumatera Utara dan Aceh. Tanah longsor di Cianjur, Batam, Manado, Gayo Lues Aceh dan Sumedang. Bencana gunung meletus di Sinabung dan Semeru. Terakhir bencana gempa bumi di Mamuju dan Majene di Sulawesi Barat.

Meninjau lebih jauh supaya tidak terbatas pada perkara manusia. Indonesia merupakan negara kepulauan menunjukkan letak geografis garis khatulistiwa. Yaitu di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama di dunia, berimplikasi bahwa wilayah Indonesia sangat rawan bencana alam sekaligus menyebabkan dua musim yang sama panjang dan berpotensi pada kekeringan dan banjir (Sukandarrumidi, 2010).

Melalui pengkajian geografis, sedikit dapat diketahui Indonesia yang rentan terkena bencana alam paling tidak bisa diantisipasi, baik dalam pencegahannya atau mempersiapkan diri dengan prediksi bencana yang akan terjadi. Betapapun manusia berusaha menghindar dari bencana alam ia tidak akan mampu, tetapi situasi buruk bisa ditekan dengan ikhtiar baik manusia merawat bumi.

Di sisi lain, bencana alam sebagai ujian menguji keimanan apakah ia akan tetap dekat dengan Tuhan atau justru menjauhi, bahkan cenderung menyalahkan Allah SWT. Manusia kerap kali krisis multi dimensi yang mengaitkan musibah sebagai kemurkaan Tuhan. Sikap demikian secara tidak langsung menyalahkan Tuhan, terlebih yang bersangkutan orang-orang yang dianggap berdosa.

Lantas, mereka yang turut menjadi korban bencana, tetapi dikenal sebagai orang yang baik dan memberi manfaat apakah itu artinya Tuhan murka terhadap orang tersebut? Pertanyaan lain, mengapa Tuhan tidak menempatkan bencana pada orang yang dinilai berbuat kerusakan atau ditempat pusat-pusat maksiat? Memandang persolan tentu tidak sebaikya dengan perspektif demikian. Pernyataan kemurkaan seakan-akan menjustifikasi Tuhan yang bersalah dan berbuat tidak adil. Padahal, rahman dan rahim Allah SWT mengalahkan kemurkaannya.

Terlepas dari prasangka buruk siapa yang berbuat kerusakan, mari kita bertanya pada diri sendiri agar lebih disiplin menjaga dan merawat alam dengan baik. Menginsafkan diri lebih baik, ketimbang sibuk menyalahkan pihak lain. KH. Musthafa Bisri (Gus Mus) dalam bencana tsunami dan gunung merapi di Mentawai silam mengatakan, jadikan musibah sebagai pengingat solidaritas antar sesama (26/10/2010). Oleh karena itu, mari kita saling bahu-membahu membantu korban yang terdampak bencana sebagai ruang kemanusiaan.

Walakin, manusia tak dapat menentang takdir Tuhan dengan berupaya iktiar memperbaiki diri agar mengelola alam dengan cara yang terpuji dan ramah. Tak bisa dipungkiri, bencana alam mungkin akan tetap ada, karena itu sebagai bukti tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Karena itu, selain berusaha, sebagai hamba yang taat hendaknya kita berdoa semoga bencana alam dan wabah Covid-19 yang menimpa Tanah Air dapat segera teratasi dengan baik, serta kita semua dapat mengambil pelajaran atau hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.