Gus Baha Teladan Dai Moderat

KolomGus Baha Teladan Dai Moderat

KH. Bahaudin Nursalim alias Gus Baha dinobatkan sebagai dai moderat of the Year versi ADDAI (Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia). Pasalnya, dakwah Gus Baha dalam beberapa tahun belakangan, utamanya pada 2020 ditengarai berhasil memberi wacana moderasi Islam dan pengaruh bagi khalayak masyarakat. Oleh karena itu, menjadikan Gus Baha sebagai tokoh teladan dai moderat merupakan pilihan yang tepat untuk menambah wawasan keilmuan khususnya bidang keagamaan.

Siapa yang tak kenal dengan Gus Baha. Seorang dai kondang yang kehidupannya sangat bersahaja, akan tetapi bukan karena miskin. Sebab dilihat dari silsilah keluarganya, ibu Gus Baha merupakan juragan tanah di desanya. Ceramah Gus Baha yang serius, tapi jenaka dan tak pernah bersuara keras serta menggebu-gebu menjadi daya pikat sendiri untuk para jemaahnya. Itu sebabnya kajian Gus Baha tak pernah sepi dari para pengunjung. Terlebih di internet, konten media sosial yang membawakan ceramahnya selalui ramai, hingga mendapat banyak antusisme yang tinggi dari berbagai kalangan masyarakat.

Sebagaimana yang dilansir situs resmi addai.or.id, dari 133 nama-nama dai yang moderat dan terpilihnya Gus Baha selaku dai of the year (27/12). Tentu ada penilaian bagi para dai yang disurvei oleh ADDAI, baik aktivitas dakwah yang dilakukan secara daring maupun luring. Di antara kriteria menjadi dai moderat modal utamanya yakni wawasan keilmuan. Dakwah tanpa ilmu, seperti angin yang lewat. Selain ucapannya tak berfaedah karena seperti tong kosong, yang lebih mengkhawatirkan ceramahnya justru membawa kemafsadatan karena interpretasi yang salah.

Keteladanan Gus Baha dalam wawasan keilmuannya memang tidak diragukan. Meski tak ada jejak rekamnya menempuh pendidikan formal, tingkat keilmuan Gus Baha kerap disandingkan dengan para pakar atau profesor di bidang al-Quran, seperti Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Zaini Dahlan dan dewan tafsir nasional lainnya. Quraish Shihab mufassir Indonesia pemilik karya Tafsir al-Misbah memberikan testimoni, dalam kepribadian Gus Baha dikenali dengan dua keahlian. Yaitu sebagai mufassir, seperti anggota tim lajnah mushaf Quran lainnya dan faqihul Quran yang mempunyai tugas khusus menguraikan fiqh dalam ayat-ayat ahkam.

Kedua, mendakwahkan moderasi beragama merupakan bagian dari inti ajaran Islam berdasarkan fitrah manusia. Dalam hal ini al-Quran menyebutnya ummatan wasathan (umat yang seimbang). Tanpa kesadaran moderasi beragama, dakwah hanya akan dipolitisasi dan memberatkan pada pihak tertentu sebagai media kepentingan, baik untuk dipuji maupun dicela.

Alternatif untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak imbang, Gus Baha dalam ceramahnya acap kali menganalogikan sesuatu yang dianggap bertolak belakang dengan penjabaran perspektif positif dan negatifnya. Seperti contoh video ceramah Gus Baha di kanal Sahabat PTIQ (25/11/2019) yang mengisahkan seorang ekstremis dan Muslim moderat. Niatan seorang ekstremis yang mau mengebom tempat maksiat dicegah dan disanggah Muslim moderat. Sebab andaikan mereka yang terbunuh dalam keadaan maksiat tentu akan masuk ke neraka. Sementara, Rasulullah SAW tidak mengingkan umatnya demikian.

Lantaran sanggahan Muslim moderat, pada akhirnya sang ekstremis berpendapat agar kita tunggu ia sampai bertaubat, diperoses bersama dengan dibimbing sampai ia bertaubat karena masuk ke neraka bukan sesuatu yang di kehendaki Nabi SAW. Penjelasan ini menjadi penegaskan, bahwa mendakwahkan moderasi beragama itu penting untuk menyadarkan manusia menuju perbuatan yang lebih terpuji.

Baca Juga  Meneladani Keilmuan Imam Ali bin Abi Thalib

Ketiga, anti fanatisme. Bukan Gus Baha orangnya jika ia fanatik. Pasalnya, kepribadian Gus Baha yang supel, tetapi kritis dapat menjembatani permasalahan yang ada. Sebagaimana salah satu video ceramahnya di kanal Online Berbagi (13/12). Dalam penjelasannya Mbah Hasyim Asy’ari konon berdebat dengan Kiai Faqih Maskumambang. Mbah Hasyim yang konsisten mengharamkan kentongan (lonceng), karena ketika zaman Rasulullah SAW berembukan dengan para sahabat hal itu dilarang. Beliau menolak untuk memakai kentong karena identik panggilan ibadahnya umat Nasrani, terompet untuk umat Yahudi, api untuk orang Majusi dan terakhir menyetujui saran adzan sebagai penanda ketika waktu shalat tiba.

Harap dimaklumi, memang fungsi kentongan di Madinah dahulu mungkin identik orang Nasrani. Sedang di Indonesia berbeda, kentongan dijadikan penanda terjadi kebakaran, kemalingan dan sebagainya, lalu di mana letak keharamannya. Demikian Gus Baha memilih untuk mengikuti pendapat Mbah Hasyim untuk mengumandangkan adzan ketika shalat dengan tidak menghukumi haram kentongan, karena bagaimanapun ibadah itu sifatnya sakral.

Keempat, mengedukasi masyarakat untuk tidak memperuncing perbedaan. Muslim sejati tentu tidak asing dengan pernyataan perbedaan itu bagian dari sunnatullah. Bila Allah SWT menghendaki semua manusia itu identik sama, niscaya terjadi. Sayangnya, Tuhan tidak menginginkan demikian. Dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 terselip kata “lita’arafu” yang artinya agar kamu saling mengenal.

Ayat tersebut mestinya menjadi alasan yang tak bisa terbantahkan, persoalan perbedaan tidak semestinya memperkeruh situasi. Apalagi sampai memutus tali persaudaraan. Serupa bukan berarti sama. Kendati ada manusia yang terlahir kembar identik secara fisik, tetapi adakah sampai pada karakternya juga sama persis, perbedaan itu pasti ada. Masyarakat mesti diedukasi bagaimana cara menghadapi, bukan lagi mempermasalahkan perbedaan.

Dari beberapa kriteria di atas, semuanya saling berkaitan. Jika seorang dai yang berwawasan keilmuan, tetapi tidak memiliki sikap moderasi beragama, anti fanatisme, dan tidak bisa memberi edukasi pada masyarakat untuk menghargai perbedaan, maka ia belum disebut sebagai dai yang moderat. Menjadi dai yang moderat itu bukan pilihan, melainkan suatu keniscayaan.

Andai Gus Baha tidak bersikap moderat, yang dakwahnya kerap mencaci, berkata kasar, intoleran, berat sebelah, tekstual dan sebagainya. Sudah pasti kita akan kehilangan tokoh teladan yang melihat segala sesuatu dengan menimbang faedah dan kemufsadatannya sekaligus keramahan. Sebab salah satu ciri lain dai yang moderat ialah dai yang mampu mendakwahkan citra Islam yang ramah, bukan Islam marah.

Sejatinya, asalkan seorang dai mampu berperan memberikan pengaruh yang baik, siapapun bisa dijadikan teladan dalam berdakwah. Namun, sosok Gus Baha yang kompeten, baik dari segi kepribadian, keilmuan, sosial dan cara berpikirnya yang tidak mudah sentimen. Sudah sepatutnya Gus Baha menjadi contoh yang baik dalam berdakwah, teladan bagi dai moderat.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.