Moderasi Islam ala Gus Dur

KolomModerasi Islam ala Gus Dur

Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dikenal oleh internasional sebagai salah satu negara Islam moderat. Selama ini, kita selalu mengampanyekan Islam moderat sebagai bagian dari identitas kebijakan luar negeri, sehingga citra tersebut terkonstruksi di tatanan global. Namun, perbincangan mengenai goyahnya Islam moderat di Indonesia mulai meluas akhir-akhir ini, terutama setelah peristiwa protes massa di Jakarta pada akhir tahun 2016 yang tidak berkesdudahan. Pertanyaan kemudian muncul di kalangan publik internasional, apakah Islam moderat di Indonesia telah jatuh? Penting rasanya jika pertanyaa itu muncul, bagi kita untuk mengingat kembali pada satu sosok tersohor, Gus Dur. Bapak pluralisme yang tidak pernah mengenal kata lelah dalam membumikan misi dakwah moderasi Islam di atas keberagaman masyarakat Indonesia.

Kepergian Gus Dur akhir tahun 2009 yang lalu meninggalkan luka yang sangat dalam bagi kita. Sebelas tahun sudah kita kehilangan figur pemersatu, penyejuk yang selalu hadir di kala keadaan sedang carut-marut. Sekarang, di saat hegemoni beragama masyarakat sedang naik, tetapi cukup disayangkan sikap intoleran juga tidak jauh berbeda. Dan yang paling disayangkan sikap intoleran dan gonjang-ganjing sosial politik itu kerap kali dibungkus dengan jubah agama. Karena itu, hal yang wajar jika kita merindukan sosok Gus Dur dalam kehadirannya di tengah-tengah kita.

Demokrasi yang menjadi penopang atap sistem kenegaraan kita seakan rapuh berbarengan dengan maraknya praktik-praktik mobokrasi dari satu-dua kelompok radikal. Kelompok yang mementingkan realitas individual, tanpa sedikitpun melirik pada realitas masyarakat yang lebih luas. Menabrak sistem yang sudah terbentuk dengan cara-cara inkonstitusioal, demi kepentingan pribadi. Tentu, hal demikian sangat memprihatinkan.

Hal ini mendorong kita terbang kembali pada ingatan masa kelam. Ingatan, di mana saat-saat Gus Dur menyuarakan gagasan dan ide-idenya tentang demokrasi. Demokrasi yang dipahami sebagai pembebasan, keadilan, persamaan, dan persatuan yang merupakan nilai-nilai yang senantiasa diperjuangkan. Di samping nilai-nilai pluralisme, yaitu kebhinekaan suku, agama, ras, dan budaya yang menjadi bagian dari realitas kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bagi Gus Dur pembaruan dakwah moderasi Islam dengan menegaskan Islam harus menerima pluralitas situasi lokal, serta mengakomodasikannya sangatlah penting. Dalam konteks agenda-agendanya untuk mempertimbangkan situasi lokal tersebut, Gus Dur sebagaimana dalam Islam Menatap Masa Depan (1989) karya Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh menyuarakan gagasan tentang: Islam sebagai komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik Indonesia serta pribumisasi Islam. Dimensi pertama gagasan Gus Dur tersebut adalah seruan kepada rekan-rekannya sesama muslim untuk tidak menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif terhadap konstruk negara-bangsa Indonesia yang ada saat ini. Dalam pandangannya, sebagai satu komponen penting dari struktur sosial Indonesia, Islam tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi yang bersaing vis-a vis.

Sebaliknya, Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer dalam formasi tatanan sosial, kultural, dan masyarakat politik negeri ini. Dengan adanya corak sosial, kultural dan masyarakat politik kepulauan Nusantara yang beragam, menurut Gus Dur, maka upaya menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif atau “pemberi warna tunggal” hanya akan membawa perpecahan ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Pandangan Gus Dur tersebut, menurut Nor Huda dalam Wacana “Islamisme dan Komunisme” (2013) bukan berarti ia menentang peran Islam dalam negara. Yang menjadi fokusnya adalah bahwa seluruh komponen masyarakat sebenarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam negara kesatuan republik Indonesia. Dengan Pancasila sebagai kompromi ideologi bangsa ini, masing-masing kelompok sosial-keagamaan mempunyai hak yang sama untuk memberi sumbangan nilai-nilai mereka kepada negara-bangsa Indonesia.

Baca Juga  Manfaat Travelling Upaya Tadabbur Alam

Gagasan Gus Dur menarik untuk kita cermati dan diskusikan bersama. Pada akhirnya, keragaman aktualisasi Islam di Indonesia meniscayakan adanya suatu sikap saling menghargai dan menghormati. Terkait sikap toleransi beragama, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dadang Kahmad (2020) menyebutkan bahwa potensi suatu konflik dalam beragama sangatlah besar dan harus dihadapi dengan dialog atau forum-forum komunikasi keagamaan, bukan dengan cara-cara kekerasan. Ia mengatakan bahwa antar pemeluk agama yang berbeda sangat berpotensi akan terjadinya suatu gesekan yang berujung pada konflik tersebut.

Adanya fenomena truth claim atau klaim kebenaran yang merupakan watak dasar umat beragama dapat menyebabkan suatu kristalisasi iman dan cenderung untuk meyakini bahwa ajaran agamanya saja yang benar. Di luar ajaran agama tersebut adalah salah dan tidak bisa diterima. Namun bila kita perhatikan, truth claim tidak saja dimiliki oleh pemeluk agama yang berbeda. Namun, antar pemeluk agama yang sama pun banyak yang mengklaim bahwa kelompoknya sebagai kelompok yang benar dalam memahami dan mepraktikan Islam. Klaim kebenaran yang selalu dipaksakan dan ditampilkan oleh kelompok Islam di sekitar kita, misalnya. Yang menganggap bahwa hanya ia dan kelompoknya yang benar dan memegang kebenaran.

Melihat itu, teringat Gus Dur dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita (2006). Gus Dur mengakui sulitnya untuk mempersatukan umat Islam dalam bingkai “Islam Kita”. Yaitu suatu kelompok keislaman yang memfokuskan diri dan selalu memikirkan akan nasib Islam di masa depan. Pangkal kesulitan tersebut yaitu karena pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”. Ia menuturkan bahwa terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipak­sakan oleh segelintir orang, dengan wewenang menafsirkan se­gala sesuatu berada di tangan mereka saja, sebagai “Islam Kita.”

Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh agar semua umat Islam bersatu dan terhimpun dalam bingkai ukhuwwah Islamiyyah adalah dengan upaya pendekatan dialogis. Tanpa memaksakan siapa yang paling benar dengan menjunjung semangat toleransi yang tinggi. Semangat kebangsaan dan beragama mesti disadari betul oleh semua kelompok. Dengan adanya kesadaran yang tulus tersebut, maka dipastikan cita-cita menuju “Islam Kita” akan mudah diwujudkan. Maka dari itu, konsep Islam Kita ala Gus Dur penting untuk kita renungkan dewasa ini, dalam melerai berbagai konflik yang terjadi, khusunya konflik yang dibalut dengan jubah agama.

Pendek kata, demikianlah Gus Dur, figur yang sangat khas dan dirindukan kehadirannya di tengah-tengah kita. Tokoh yang tidak mengenal kata lelah dalam membumikan dakwah moderasi Islam di atas keberagaman kita. Gagasannya dalam membumikan Islam yang moderat dan ramah tak akan dan jangan sampai pudar ditelan jaman dan keadaan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.