Jangan Sepelekan Sikap Intoleran!

KolomJangan Sepelekan Sikap Intoleran!

Karena saking maraknya, intoleransi seolah telah membudaya. Berkembang kemudian, satu kecenderungan pemakluman atas tindakan intoleran di masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan, seseorang kini sangat ringan melempar hinaan maupun stigma kepada pihak yang berbeda. Perilaku kekerasan serta diskriminasi kepada minoritas atau lain kepercayaan pun berkembang liar dan pesat. Celakanya, hal demikian dianggap wajar, bahkan diklaim mengantongi legitimasi agama. Meremehkan perilaku intoleran, walaupun sederhana, akan menimbulkan ekses yang destruktif bagi kebhinekaan bangsa kita serta menghambat misi perdamaian dunia.

Budaya intoleran setidaknya terdapat dalam tiga konteks, yakni etika, norma, dan tindakan, yang kesemuanya tidak bisa disepelekan. Pasalnya, intoleransi merupakan anak tangga pertama yang bisa mengantarkan pada konflik level kritis, yaitu radikalisme hingga terorisme. Memang, sikap intoleran tak selalu berakhir dengan tindak teror. Namun hampir bisa dipastikan, bahwa tiap bentuk terorisme memiliki latar belakang intoleransi.

Riset yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019 lalu memperlihatkan gejala meningkatnya intoleransi beragama dan berpolitik. Sebanyak 53 persen warga Muslim keberatan jika non-Muslim membangun tempat ibadah di lingkungan mereka. Tren intoleransi politik yang kaitannya dengan penolakan pemimpin pemerintahan non-Muslim pun menanjak. Radikalisme serta terorisme sendiri masih menjadi pe-er besar kita semua, mengingat kasusnya yang juga masif.

Ketika seseorang menganggap asumsi pribadi sebagai kebenaran mutlak, dari situ akan muncul kehendak untuk menyingkirkan pihak yang berbeda keyakinan atau dianggap keliru. Dalil-dalil agama kemudian akan diatasnamakan untuk menjustifikasi sebentuk perilaku atau ucapan intoleran. Bisa dibilang, cara berpikir dogmatis dan fundamentalis menjadi akar dari intoleransi.

Di bulan Desember ini misalnya. Rutinitas sosial yang akan mengemuka ialah perdebatan usang mengenai boleh tidaknya seorang Muslim mengucapkan selamat natal. Akidah seorang Muslim tak akan cacat hanya karena menguluk ucapan selamat natal. Hal ini semata-mata etika sosial antarumat beragama. Gagal paham antara dimensi sosial dan akidah, membuat saling silang seputar natal seolah tak pernah usai. Sebenarnya tidak melulu soal agama. Intoleransi minimalnya paling marak terjadi karena perbedaan suku, ras, dan golongan.

Dalam banyak hal, baik kalangan Muslim atau non-Muslim memiliki kecenderungan intoleran. Bergantung pada kuantitas pihak mana yang lebih dominan. Dari sini didapati satu tesis, bahwa intoleransi juga dilatari oleh sentimen tirani mayoritanisme, yakni tendensi untuk bersikap superior atas kalangan minoritas. Kesadaran komunal mayoritas, membuatnya merasa harus diistimewakan, mendominasi, dan memaksakan cara pandang. Seturut dengan itu, survey LSI menyebut, bahwa 67,4 persen responden Muslim setuju pemerintah seharusnya mengutamakan Islam dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara karena Islam adalah kepercayaan mayoritas di sini.

Baca Juga  Lindungi Ibu dari Beban Ganda

Secara psikologis, intoleransi muncul dari seseorang yang merasa tidak percaya diri, sehingga merasa terancam oleh eksistensi orang lain yang berbeda. Perasaan tak aman tersebut kemudian dilampiaskan dalam bentuk kebencian, intimidasi atau sikap merendahkan untuk merobohkan posisi tawar pihak yang dianggap lawan.

Seperti virus, sikap intoleran bisa menular (intolerance breeds intolerance). Dalam artian, kala seseorang berlaku intoleran, akan memicu keinginan balas dendam dengan hal serupa atau bahkan lebih. Apalagi jika dicontohkan oleh tokoh yang berpengaruh, maka penyebaran virus intoleransi akan semakin sulit terkendali.

Perilaku intoleran menyimpan marabahaya laten bagi kerukunan hidup masyarakat bangsa, utamanya bagi corak kehidupan yang beragam seperti negeri kita. Pandangan mata kebencian merupakan bibit intoleransi, yang jika tidak diatasi akan berkembang menjadi tindak kekerasan dan terorisme. Yang sayangnya kerap mengatasnamakan ajaran agama. Dari sini, mengasuh pemahaman moderat dalam beragama menjadi mutlak diperlukan.

Dalam konteks Indonesia yang serbamulti ini, relasi sosial-keagamaan idealnya bertumpu pada rasa simpati, empati, serta mengedepankan sikap inklusif-dialogis dalam menghadapi perbedaan. Adapun melepaskan diri dari kondisi realitas plural tersebut, lalu masuk ke dalam ide-ide dogmatis adalah sebuah kemunduran dalam bentuk delusi berskala besar. Hanya toleransi yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan yang heterogen. Pluralitas bukan berbicara tentang kumpulan aneka perbedaan, tetapi entitas baru yang dijanjikan, yaitu persatuan di tengah keragaman.

Sebagai manusia yang berbudi, tidak seharusnya kita ngotot mengklaim kebenaran sepihak. Sikap fanatik demikian adalah bentuk penolakan terhadap orang lain. Menjadi pihak yang tersisih, tidak diakui, dan diintimidasi adalah mimpi buruk bagi semua orang. Maka dari itu, budaya toleransi harus dihidupkan agar dialog peradaban dapat benar terwujud. Tak perlu menunggu mendapati pengalaman pahit dengan intoleransi untuk mulai menumbuhkan kultur tenggang rasa dan penghormatan atas perbedaan.

Melihat realita yang tidak pernah habis menyuguhkan keragaman serta memahami bahaya dari sikap intoleran, sama halnya kita telah membendung ancaman praktik destruktif terorisme. Apapun itu, kita tidak boleh menyederhanakan perilaku intoleran. Karena intoleransi adalah patologi sosial-kemasyarakatan yang akan mengusik cita-cita besar kedamaian kolektif. Perdamaian bukan sekadar tiadanya konflik bersenjata, melainkan terciptanya situasi saat akhirnya kebenaran akan kemanusiaan dihargai dan diwujudkan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.